Pendidikan Tinggi Disebut Pendidikan Tersier, DPR: Apa Orang Miskin Dilarang Kuliah?
Sabtu, 18 Mei 2024 - 10:58 WIB
JAKARTA - Pernyataan Sekretaris Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi ( Kemendikbudristek) Tjitjik Sri Tjahjani yang menganggap pendidikan tinggi sebagai pendidikan tersier mendapat tanggapan banyak kalangan. Pernyataan tersebut dinilai kian menebalkan persepsi jika pendidikan tinggi bersifat elitis dan hanya untuk kalangan tertentu saja.
“Kami prihatin dengan pernyataan Prof Tjitjik bahwa perguruan tinggi merupakan pendidikan tersier yang bersifat opsional atau pilihan. Bagi kami pernyataan itu kian menebalkan persepsi jika orang miskin dilarang kuliah. Bahwa kampus itu elit dan hanya untuk mereka yang punya duit untuk bayar Uang Kuliah Tunggal,” ujar Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda, dalam keterangan resminya, Sabtu (18/5/2024).
Huda mengatakan pernyataan bahwa Pendidikan Tinggi adalah pendidikan tersier itu benar tapi kurang tepat. Apalagi ini disampaikan oleh pejabat publik yang mengurusi pendidikan tinggi yang disampaikan dalam forum resmi temu media untuk menanggapi protes kenaikan UKT di sejumlah perguruan tinggi negeri. “Kalau protes kenaikan UKT direspons begini ya tentu sangat menyedihkan,” tukasnya.
Huda menegaskan pernyataan pendidikan tinggi bersifat tersier oleh pejabat tinggi Kemendikburistek bisa dimaknai jika pemerintah lepas tangan terhadap nasib mereka yang tidak punya biaya tapi ingin kuliah.
Padahal di sisi lain pemerintah selama ini selalu mengembar-gemborkan ingin mewujudkan Indonesia Emas 2045. Ingin memanfaatkan bonus demografi agar tidak menjadi bencana demografi. “Tapi saat ada keluhan biaya kuliah yang tinggi dari mahasiswa dan masyarakat seolah ingin lepas tangan,” katanya.
Politikus PKB ini mengungkapkan kesempatan mengenyam pendidikan tinggi di Indonesia bagi peserta memang relatif rendah. Berdasarkan data BPS tahun 2023 Angka Partisipasi Kasar Pendidikan Tinggi Indonesia itu masih 31,45%.
Angka ini tertinggal dari Malaysia 43%, Thailand 49%, dan Singapura 91%. “Salah satu kendala faktor pemicu rendahnya angka partisipasi kasar pendidikan tinggi di Indonesia adalah karena persoalan biaya,” katanya.
Di sisi lain, kata Huda, anggaran pendidikan di Indonesia setiap tahun relatif cukup besar dengan adanya mandatory spending 20% dari APBN. Tahun ini saja ada alokasi APBN sebesar Rp665 triliun untuk anggaran pendidikan.
“Kami prihatin dengan pernyataan Prof Tjitjik bahwa perguruan tinggi merupakan pendidikan tersier yang bersifat opsional atau pilihan. Bagi kami pernyataan itu kian menebalkan persepsi jika orang miskin dilarang kuliah. Bahwa kampus itu elit dan hanya untuk mereka yang punya duit untuk bayar Uang Kuliah Tunggal,” ujar Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda, dalam keterangan resminya, Sabtu (18/5/2024).
Huda mengatakan pernyataan bahwa Pendidikan Tinggi adalah pendidikan tersier itu benar tapi kurang tepat. Apalagi ini disampaikan oleh pejabat publik yang mengurusi pendidikan tinggi yang disampaikan dalam forum resmi temu media untuk menanggapi protes kenaikan UKT di sejumlah perguruan tinggi negeri. “Kalau protes kenaikan UKT direspons begini ya tentu sangat menyedihkan,” tukasnya.
Huda menegaskan pernyataan pendidikan tinggi bersifat tersier oleh pejabat tinggi Kemendikburistek bisa dimaknai jika pemerintah lepas tangan terhadap nasib mereka yang tidak punya biaya tapi ingin kuliah.
Padahal di sisi lain pemerintah selama ini selalu mengembar-gemborkan ingin mewujudkan Indonesia Emas 2045. Ingin memanfaatkan bonus demografi agar tidak menjadi bencana demografi. “Tapi saat ada keluhan biaya kuliah yang tinggi dari mahasiswa dan masyarakat seolah ingin lepas tangan,” katanya.
Politikus PKB ini mengungkapkan kesempatan mengenyam pendidikan tinggi di Indonesia bagi peserta memang relatif rendah. Berdasarkan data BPS tahun 2023 Angka Partisipasi Kasar Pendidikan Tinggi Indonesia itu masih 31,45%.
Angka ini tertinggal dari Malaysia 43%, Thailand 49%, dan Singapura 91%. “Salah satu kendala faktor pemicu rendahnya angka partisipasi kasar pendidikan tinggi di Indonesia adalah karena persoalan biaya,” katanya.
Di sisi lain, kata Huda, anggaran pendidikan di Indonesia setiap tahun relatif cukup besar dengan adanya mandatory spending 20% dari APBN. Tahun ini saja ada alokasi APBN sebesar Rp665 triliun untuk anggaran pendidikan.
Lihat Juga :
tulis komentar anda