FSGI Sebut Masalah PJJ hingga Kini Tak Bisa Diatasi
Senin, 02 November 2020 - 16:29 WIB
JAKARTA - Pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang sudah berlangsung sekitar delapan bulan masih memiliki masalah. Bahkan, ada dua siswa yang bunuh diri di Kabupaten Gowa dan Kota Tarakan yang diduga depresi karena menumpuknya tugas saat PJJ.
Para orang tua pun mengalami kesulitan dalam mendampingi anaknya belajar dari rumah baik secara daring maupun luring. Di Kota Tangerang, seorang anak Sekolah Dasar (SD) meninggal karena disiksa orang tuanya. Keduanya orang tua korban diduga kesal karena almarhumah sulit untuk belajar. (Baca juga: 4.800 Siswa Ikut Tapak Tilas Sejarah Pergerakan Kemerdekaan Indonesia )
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyatakan pelaksanaan PJJ pada masa awal menimbulkan kegamangan dalam implementasi di lapangan. Sebab, pandemi Covid-19 membuat situasi menjadi darurat dan belum pernah dihadapi sebelumnya.
Wasekjen FSGI Fahriza Marta Tanjung menjelaskan beberapa masalah pada PJJ fase I (periode Maret-Juli 2020), seperti belum ada aturan teknis yang jelas, masih menggunakan kurikulum normal, tugas menumpuk, kompetensi guru dan orang tua rendah, dan bongkar pasang model PJJ. Selain itu, PJJ dianggap membosankan, supervisi dari dinas pendidikan tidak maksimal, kepemilikan gawai dari siswa dan guru minim, dan kuota internet yang terbatas.
Sejumlah masalah itu direspon oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dengan mengeluarkan sejumlah regulasi dan pemberian materi PJJ. Nadiem Makarim, misalnya, menerbitkan Surat Edaran Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan Dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19, meluncurkan program belajar melalui TVRI, dan relaksasi dana bantuan operasional sekolah (BOS). (Baca juga: Ribuan Formasi CPNS Guru Kosong, Ini Langkah Kemendikbud )
Kemendikbud juga memberikan bantuan kuota internet untuk pendidik dan peserta didik pada PJJ fase II ini. Fahriza menilai kebijakan-kebijakan Kemendikbud sedikit membantu pelaksanaan PJJ.
“Namun realita yang dirasakan di lapangan, terlihat bahwa tidak ada perbaikan yang berarti dalam pelaksanaan PJJ pada fase II, Semester Ganjil Tahun Pelajaran 2020-2021,” ungkar Fahriza Marta Tanjung, Wakil Sekjen FSGI, Minggu (1/11/2020).
Dia menerangkan masalah pada fase I masih muncul pada semester ganjil tahun pelajaran 2020-2021. Masalah itu, antara lain, aturan Kemendikbud tidak ditaati dinas pendidikan dan sekolah, masih menggunakan kurikulum normal, tugas menumpuk, model PJJ disamaratakan di semua tempat, dan sekolah tidak memiliki pedoman PJJ.
Seorang guru di Kabupaten Bima, Eka Ilham mengungkapkan semangat belajar dan mengajar di salah satu sekolah menengah atas negeri (SMAN) di sana secara psikologis menurun. Para guru dan peserta didik mulai mengalami kejenuhan menjalankan PJJ.
“Masih ada pendidik dan peserta didik yang belum menerima bantuan kuota. Bahkan ada Wakil Kepala Sekolah yang belum menerima bantuan kuota internet. Oleh karena itu, Kebijakan sekolah adalah tidak membebani anak-anak dengan tugas-tugas yang berat,” ujarnya.
Lihat Juga: Wahyudi, Guru Inspirator: Melampaui Keterbatasan, Menembus Segala Hambatan Menjadi Kemungkinan
Para orang tua pun mengalami kesulitan dalam mendampingi anaknya belajar dari rumah baik secara daring maupun luring. Di Kota Tangerang, seorang anak Sekolah Dasar (SD) meninggal karena disiksa orang tuanya. Keduanya orang tua korban diduga kesal karena almarhumah sulit untuk belajar. (Baca juga: 4.800 Siswa Ikut Tapak Tilas Sejarah Pergerakan Kemerdekaan Indonesia )
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyatakan pelaksanaan PJJ pada masa awal menimbulkan kegamangan dalam implementasi di lapangan. Sebab, pandemi Covid-19 membuat situasi menjadi darurat dan belum pernah dihadapi sebelumnya.
Wasekjen FSGI Fahriza Marta Tanjung menjelaskan beberapa masalah pada PJJ fase I (periode Maret-Juli 2020), seperti belum ada aturan teknis yang jelas, masih menggunakan kurikulum normal, tugas menumpuk, kompetensi guru dan orang tua rendah, dan bongkar pasang model PJJ. Selain itu, PJJ dianggap membosankan, supervisi dari dinas pendidikan tidak maksimal, kepemilikan gawai dari siswa dan guru minim, dan kuota internet yang terbatas.
Sejumlah masalah itu direspon oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dengan mengeluarkan sejumlah regulasi dan pemberian materi PJJ. Nadiem Makarim, misalnya, menerbitkan Surat Edaran Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan Dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19, meluncurkan program belajar melalui TVRI, dan relaksasi dana bantuan operasional sekolah (BOS). (Baca juga: Ribuan Formasi CPNS Guru Kosong, Ini Langkah Kemendikbud )
Kemendikbud juga memberikan bantuan kuota internet untuk pendidik dan peserta didik pada PJJ fase II ini. Fahriza menilai kebijakan-kebijakan Kemendikbud sedikit membantu pelaksanaan PJJ.
“Namun realita yang dirasakan di lapangan, terlihat bahwa tidak ada perbaikan yang berarti dalam pelaksanaan PJJ pada fase II, Semester Ganjil Tahun Pelajaran 2020-2021,” ungkar Fahriza Marta Tanjung, Wakil Sekjen FSGI, Minggu (1/11/2020).
Dia menerangkan masalah pada fase I masih muncul pada semester ganjil tahun pelajaran 2020-2021. Masalah itu, antara lain, aturan Kemendikbud tidak ditaati dinas pendidikan dan sekolah, masih menggunakan kurikulum normal, tugas menumpuk, model PJJ disamaratakan di semua tempat, dan sekolah tidak memiliki pedoman PJJ.
Seorang guru di Kabupaten Bima, Eka Ilham mengungkapkan semangat belajar dan mengajar di salah satu sekolah menengah atas negeri (SMAN) di sana secara psikologis menurun. Para guru dan peserta didik mulai mengalami kejenuhan menjalankan PJJ.
“Masih ada pendidik dan peserta didik yang belum menerima bantuan kuota. Bahkan ada Wakil Kepala Sekolah yang belum menerima bantuan kuota internet. Oleh karena itu, Kebijakan sekolah adalah tidak membebani anak-anak dengan tugas-tugas yang berat,” ujarnya.
Lihat Juga: Wahyudi, Guru Inspirator: Melampaui Keterbatasan, Menembus Segala Hambatan Menjadi Kemungkinan
(mpw)
tulis komentar anda