Epidemologi UGM, PTM Januari 2021 Kurang Tepat
Rabu, 02 Desember 2020 - 18:47 WIB
SLEMAN - Kementerian pendidikan dan kebudayaan (Kemendikbud) pada Januari 2021 membolehkan sekolah menggelar kegiatan belajar mengajar secara tatap muka.
Mengenai hal ini, epidemiolog UGM, Bayu Satria Wiratama, mengatakan jika melihat data COVID-19 di Indonesia secara umum keputusan pemerintah memperbolehkan pembelajaran tatap muka (PTM) pada Januari 2021 dinilai belum tepat. Namun untuk dapat menakar kesiapan hal ini perlu dilihat dari kondisi di setiap provinsi, kabupaten, atau kota. (Baca juga: Perkuliahan Tahun Depan Terapkan Campuran Tatap Muka dan Daring )
“Karena ada daerah yang memang kasusnya dari awal sedikit dan tergolong bagus, mungkin di situ bisa dipertimbangkan,” kata Bayu dalam keterangan tertulisnya, Rabu (2/12/2020).
Bayu menjelaskan, selain penerapan protokol kesehatan COVID-19 seperti menjaga jarak, mengenakan masker, dan mencuci tangan, dalam konteks kegiatan belajar mengajar di sekolah juga diperlukan sejumlah protokol tambahan.
Protokol ini berupa pengawasan harian kondisi murid, guru dan orang tua murid, pengaturan jam kelas menjadi lebih pendek, pengaturan posisi duduk di kelas dan ruang guru, serta bagaimana memastikan setiap kelas memiliki ventilasi yang baik. (Baca juga: Infrastruktur Sekolah Jadi Kunci Belajar Tatap Muka )
Termasuk adanya asesmen yang lebih detil untuk pembukaan sekolah pada jenjang SD dan jenjang pendidikan di bawahnya, karena lebih sulit untuk memastikan setiap siswa dapat tetap menerapkan protokol kesehatan.
“Karena itu perlu upaya lebih, mulai dari kesiapan guru, edukasi ke anak-anak untuk persiapan mengikuti pembelajaran tatap muka, pengawasan saat belajar, hingga pengaturan jam belajar,” paparnya.
Menurut Bayu anak usia SD ke bawah yang paling susah untuk menggunakan masker. Jadi tingkat kesulitannya memang lebih tinggi dibandingkan dengan SMP dan SMA. Sedangka PTM di jenjang pendidikan tinggi, perlu koordinasi antara perguruan tinggi dengan pemerintah daerah dalam melakukan pengawasan terhadap mahasiswa yang akan memasuki daerah tersebut.
“Semua mahasiswa yang akan datang ke suatu daerah menurutnya wajib melakukan karantina mandiri selama 14 hari. Jika memastikan akan melakukan perkuliahan, perlu mempersiapkan kondisi ruang kuliah, pengawasan mahasiswa terkait dengan gejala, komunikasi dengan Dinas Kesehatan, dan lain sebagainya,” jelasnya.
Selain itu, untuk memutuskan PTM di sekolah juga harus melibatkan sejumlah pihak, mulai dari Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, dan juga pakar epidemiologi. Terutama untuk membantu merumuskan langkah-langkah yang perlu diambil di masing-masing daerah, mulai dari asesmen kesiapan hingga manipulasi infrastruktur.
“Ini penting karena pengambilan keputusan ini tidak cukup didasarkan pada zonasi risiko COVID-19. Sebab zonasi kurang bagus akurasinya, sehingga perlu ditambah dengan parameter lain seperti positivity rate,” terangnya
Positivity rate sendiri, diharapkan berada di bawah angka 5%. Namun indikator ini perlu dilihat dari masing-masing daerah, bukan indikator secara nasional. “Dan ini salah satunya selain jumlah yang di-tracing, juga jumlah kasus aktif, jumlah kasus baru, ketersediaan tempat tidur di rumah sakit, dan lainnya,” tandasnya.
Mengenai hal ini, epidemiolog UGM, Bayu Satria Wiratama, mengatakan jika melihat data COVID-19 di Indonesia secara umum keputusan pemerintah memperbolehkan pembelajaran tatap muka (PTM) pada Januari 2021 dinilai belum tepat. Namun untuk dapat menakar kesiapan hal ini perlu dilihat dari kondisi di setiap provinsi, kabupaten, atau kota. (Baca juga: Perkuliahan Tahun Depan Terapkan Campuran Tatap Muka dan Daring )
“Karena ada daerah yang memang kasusnya dari awal sedikit dan tergolong bagus, mungkin di situ bisa dipertimbangkan,” kata Bayu dalam keterangan tertulisnya, Rabu (2/12/2020).
Bayu menjelaskan, selain penerapan protokol kesehatan COVID-19 seperti menjaga jarak, mengenakan masker, dan mencuci tangan, dalam konteks kegiatan belajar mengajar di sekolah juga diperlukan sejumlah protokol tambahan.
Protokol ini berupa pengawasan harian kondisi murid, guru dan orang tua murid, pengaturan jam kelas menjadi lebih pendek, pengaturan posisi duduk di kelas dan ruang guru, serta bagaimana memastikan setiap kelas memiliki ventilasi yang baik. (Baca juga: Infrastruktur Sekolah Jadi Kunci Belajar Tatap Muka )
Termasuk adanya asesmen yang lebih detil untuk pembukaan sekolah pada jenjang SD dan jenjang pendidikan di bawahnya, karena lebih sulit untuk memastikan setiap siswa dapat tetap menerapkan protokol kesehatan.
“Karena itu perlu upaya lebih, mulai dari kesiapan guru, edukasi ke anak-anak untuk persiapan mengikuti pembelajaran tatap muka, pengawasan saat belajar, hingga pengaturan jam belajar,” paparnya.
Menurut Bayu anak usia SD ke bawah yang paling susah untuk menggunakan masker. Jadi tingkat kesulitannya memang lebih tinggi dibandingkan dengan SMP dan SMA. Sedangka PTM di jenjang pendidikan tinggi, perlu koordinasi antara perguruan tinggi dengan pemerintah daerah dalam melakukan pengawasan terhadap mahasiswa yang akan memasuki daerah tersebut.
“Semua mahasiswa yang akan datang ke suatu daerah menurutnya wajib melakukan karantina mandiri selama 14 hari. Jika memastikan akan melakukan perkuliahan, perlu mempersiapkan kondisi ruang kuliah, pengawasan mahasiswa terkait dengan gejala, komunikasi dengan Dinas Kesehatan, dan lain sebagainya,” jelasnya.
Selain itu, untuk memutuskan PTM di sekolah juga harus melibatkan sejumlah pihak, mulai dari Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, dan juga pakar epidemiologi. Terutama untuk membantu merumuskan langkah-langkah yang perlu diambil di masing-masing daerah, mulai dari asesmen kesiapan hingga manipulasi infrastruktur.
“Ini penting karena pengambilan keputusan ini tidak cukup didasarkan pada zonasi risiko COVID-19. Sebab zonasi kurang bagus akurasinya, sehingga perlu ditambah dengan parameter lain seperti positivity rate,” terangnya
Positivity rate sendiri, diharapkan berada di bawah angka 5%. Namun indikator ini perlu dilihat dari masing-masing daerah, bukan indikator secara nasional. “Dan ini salah satunya selain jumlah yang di-tracing, juga jumlah kasus aktif, jumlah kasus baru, ketersediaan tempat tidur di rumah sakit, dan lainnya,” tandasnya.
(mpw)
Lihat Juga :
tulis komentar anda