Catatan Kritis untuk Pengelolaan Guru dan Tata Kelola Pendidikan Nasional
Kamis, 21 Januari 2021 - 09:09 WIB
JAKARTA - Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat menyampaikan catatan kritis terkait masalah tata kelola pendidikan nasional dan polemik guru honorer.
Wakil Ketua MPR yang akrab disapa Rerie ini menerangkan, periode belakangan ini diskusi dan perdebatan mengenai guru honorer dan revisi UU Sisdiknas masih terus berlangsung. Sementara ketetapan dari pemerintah sendiri dan kebijakan apa yang akan diambil juga masih sedang diproses.
"Ada beberapa catatan kritis yang rasanya harus dicermati bersama. Dalam rangka memperkaya dan untuk melengkapi masukan kita mesti mendengar dari berbagai pihak," katanya saat membuka diskusi Polemik Guru Honorer dan Tata Kelola Pendidikan Nasional secara daring pada Rabu (20/1).
Diskusi virtual ini menghadirkan para pakar dan pengambil kebijakan seperti Ketua Umum PB PGRI Prof Unifah Rosyidi, Pendiri Surya Institute dan Guru Besar Univ Satya Wacana serta Pendiri Matematika GASING Prof. Yohannes Surya, Rektor Universitas Negeri Gorontalo Eduart Wolok dan Direktur Eksekutif Sekolah Sukma Bangsa Ahmad Baedowi.
Dia menyampaikan, Bank Dunia telah melakukan survey bahwa saat ini sekolah menghadapi berbagai macam tantangan apalagi kita sekarang juga berhadapan dengan pandemi. Dunia pendidikan juga menemui tantangan dengan kondisi kualitas layanan pendidikan, kualifikasi guru dan tuntutan mengajarnya di kelas.
Bank Dunia juga melakukan survey yang mengukur kinerja kualitas layanan pendidikan dan ini menjadi catatan yang harus dipelajari dan menjadi pekerjaan semua pihak. "Temuan utama saat ini ada krisis pembelajaran siswa dan tingkat ketidakhadiran guru yang mencapai 23 %. Kemudian pengetahuan guru, materi pembelajaran termasuk infrastruktur sekolah," ujarnya.
Dia mempertanyakan apakah semua masalah ini berdiri sendiri atau ada benang merahnya dengan kondisi guru. Lalu jika ada benang merahnya, jelasnya, apa yang harus dilakukan. Dia melihat saat ini kita berhadapan dengan banyak tuntutan yang harus didengarkan dan secara objektif harus dicari jalan keluarnya untuk dapat diakomodir.
Ririe menjelaskan, visi pendidikan Indonesia 2035 adalah membangun rakyat menjadi pembelajar seumur hidup, pembelajar yang unggul, terus berkembang, sejahtera dan berakhak mulia dengan menumbuhkan nilai budaya dan Pancasila. Visi ini, nilainya, sangat mulia namun juga sangat berat sehingga memerlukan guru yang memiliki kemampuan maksimal untuk membawa anak didik mencapai apa yang dicita-citakan.
"Pertanyaannya jika kita membebankan ini kepada guru apakah kita juga sudah memiliki tata kelola yang membuat para guru tersebut mampu mengemban misi ini. Saya kira inilah catatan-catatan yang menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua," katanya yang berharap dari diskusi ini dapat memberi bahan masukan dan akan diteruskan ke pemangku kepentingan.
Wakil Ketua MPR yang akrab disapa Rerie ini menerangkan, periode belakangan ini diskusi dan perdebatan mengenai guru honorer dan revisi UU Sisdiknas masih terus berlangsung. Sementara ketetapan dari pemerintah sendiri dan kebijakan apa yang akan diambil juga masih sedang diproses.
"Ada beberapa catatan kritis yang rasanya harus dicermati bersama. Dalam rangka memperkaya dan untuk melengkapi masukan kita mesti mendengar dari berbagai pihak," katanya saat membuka diskusi Polemik Guru Honorer dan Tata Kelola Pendidikan Nasional secara daring pada Rabu (20/1).
Diskusi virtual ini menghadirkan para pakar dan pengambil kebijakan seperti Ketua Umum PB PGRI Prof Unifah Rosyidi, Pendiri Surya Institute dan Guru Besar Univ Satya Wacana serta Pendiri Matematika GASING Prof. Yohannes Surya, Rektor Universitas Negeri Gorontalo Eduart Wolok dan Direktur Eksekutif Sekolah Sukma Bangsa Ahmad Baedowi.
Dia menyampaikan, Bank Dunia telah melakukan survey bahwa saat ini sekolah menghadapi berbagai macam tantangan apalagi kita sekarang juga berhadapan dengan pandemi. Dunia pendidikan juga menemui tantangan dengan kondisi kualitas layanan pendidikan, kualifikasi guru dan tuntutan mengajarnya di kelas.
Bank Dunia juga melakukan survey yang mengukur kinerja kualitas layanan pendidikan dan ini menjadi catatan yang harus dipelajari dan menjadi pekerjaan semua pihak. "Temuan utama saat ini ada krisis pembelajaran siswa dan tingkat ketidakhadiran guru yang mencapai 23 %. Kemudian pengetahuan guru, materi pembelajaran termasuk infrastruktur sekolah," ujarnya.
Dia mempertanyakan apakah semua masalah ini berdiri sendiri atau ada benang merahnya dengan kondisi guru. Lalu jika ada benang merahnya, jelasnya, apa yang harus dilakukan. Dia melihat saat ini kita berhadapan dengan banyak tuntutan yang harus didengarkan dan secara objektif harus dicari jalan keluarnya untuk dapat diakomodir.
Ririe menjelaskan, visi pendidikan Indonesia 2035 adalah membangun rakyat menjadi pembelajar seumur hidup, pembelajar yang unggul, terus berkembang, sejahtera dan berakhak mulia dengan menumbuhkan nilai budaya dan Pancasila. Visi ini, nilainya, sangat mulia namun juga sangat berat sehingga memerlukan guru yang memiliki kemampuan maksimal untuk membawa anak didik mencapai apa yang dicita-citakan.
"Pertanyaannya jika kita membebankan ini kepada guru apakah kita juga sudah memiliki tata kelola yang membuat para guru tersebut mampu mengemban misi ini. Saya kira inilah catatan-catatan yang menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua," katanya yang berharap dari diskusi ini dapat memberi bahan masukan dan akan diteruskan ke pemangku kepentingan.
(mpw)
Lihat Juga :
tulis komentar anda