Rifky, Dosen Muda UGM yang Pernah Gagal UN tapi Lulus dari Oxford dan Harvard

Jum'at, 11 Juni 2021 - 16:33 WIB
Selain itu, bersama dengan tim mahasiswa FH UGM ia berhasil menjadi juara nasional dan kemudian mewakili Indonesia pada lomba peradilan semu Phillip C Jessup International Law Moot Court Competition. Ia pun berhasil lulus dari FH UGM pada tahun 2014 dengan IPK yang nyaris sempurna yaitu 3,95.

Usai lulus ia diterima bekerja di firma hukum ternama di tanah air yakni Assegaf Hamzah and Partners. Setelah bekerja selama satu tahun, Rifky memutuskan untuk kembali mengabdikan diri di almamater tercinta menjadi asisten dosen karena ia ingin berkontribusi dalam mendidik generasi masa depan FH UGM yang cemerlang dan berintegritas.

Lalu, di 2016 ia mencoba peruntungan mengikuti seleksi beasiswa Jardine Foundation yang berhasil menghantarkannya menamatkan studi S2 di Oxford pada 2017.

Selepas lulus dari Oxford ia menjadi dosen tetap di FH UGM dan pada 2020 memutuskan untuk kembali memperdalam ilmu dengan mendaftar S2 ke Harvard. Jalan untuk menembus Harvard tidaklah mudah begitupun memperoleh beasiswa, terlebih baginya yang sudah pernah S2.

Umumnya bantuan beasiswa hanya diberikan bagi mereka yang belum pernah mengambil studi S2. Namun, kondisi tersebut tidak mematahkan asa Rifky untuk terus berusaha.

Hasil tak pernah mengkhianati usaha. Belajar dari kegagalannya dulu, ia dengan gigih mengejar mimpinya. Akhirnya, ia pun berhasil memperoleh beasiswa pendidikan dari Harvard.

“Akhirnya saya bisa kuliah dan lulus dari Harvard, tapi belum pernah menginjakkan kaki disana. Gelarnya dari Harvard, tetapi kuliah dari rumah di Maguwoharjo Sleman,” tuturnya sembari tertawa.

Situasi saat itu memang dunia dihadapkan dengan pandemi Covid-19. Kondisi tersebut memaksa sebagian besar kampus di dunia menutup kuliah tatap muka dan diganti secara daring, termasuk Harvard.

Suami dr. Intan Aisha Humairah Rizquha dan ayah dari M. Rashid Salahuddin Wicaksono ini mengaku ada tantangan tersendiri melakukan perkuliahan secara daring.

Hal terberat yang dirasakannya adalah adanya perbedaan waktu yang cukup besar antara Indonesia dengan Amerika sekitar 11-12 jam. Oleh sebab itu, mau tidak mau ia harus menyesuaikan diri mengikuti waktu perkuliahan di Amerika.

“Misal kalau ada jadwal kuliah pagi jam 10, disini waktunya jam 9 malam dan kalau kuliah sore jam 5 ya di sini jam 4 pagi. Ini tantangan yang luar biasa karena harus bergelut dengan perbedaan waktu yang mengubah drastis pola kerja dan tidur,” papar penghobi tenis ini.

Selain itu, ia mengatakan beban kuliah di Harvard juga cukup tinggi. Ia mencontohkan, untuk bacaan wajib mahasiswa setiap minggunya sekitar 300-400 halaman. Namun, dengan pengalaman sebelumnya yang diperoleh saat menempuh studi di Oxford sangatlah membantu.

“Menantangnya kalau sekarang adalah bagaimana menyeimbangkan dengan peran sebagai suami dan ayah, berbeda saat dulu di Oxford masih single,” katanya.

Kisah Rifky dalam menggapai impian untuk mewujdukan mimpi masa kecilnya bisa kuliah di kampus top dunia memang tidak mudah. Namun, nyatanya ia yang sempat gagal UN SMA bisa mewujudkannya.

Bahkan, kini ia telah menyimpan surat penerimaan di program S3 Hukum di University of Oxford untuk meneliti lebih jauh tentang penerapan hukum persaingan usaha di era ekonomi digital dan dampak ekosistem digital terhadap persaingan.

Jika tidak ada kendala, ia akan memulai perkuliahan pada bulan September 2021 mendatang. Setelah menyelesaikan pendidikan doktoralnya, ia berharap dapat berkontribusi terhadap pembaruan hukum persaingan usaha di Indonesia.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More