Adopsi Jepang, ITB: Indonesia Perlu Kembangkan Program Satu Desa 1 Produk
Senin, 24 Januari 2022 - 19:31 WIB
JAKARTA - Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat ( LPPM ) ITB menilai, provinsi di Indonesia perlu mengembangkan konsep One Village One Product (OVOP) untuk mendorong potensi suatu daerah. Konsep yang pertama muncul dari Jepang ini telah diakui di banyak negara dunia.
Sekretaris Bidang Pengabdian Masyarakat LPPM ITB Deny Willy Junaidy mengatakan, kegiatan pengabdian masyarakat yang dilakukan di daerah-daerah Indonesia harus berfokus pada upaya pengembangan potensi yang dimiliki oleh daerahnya masing-masing.
“One Village One Product (OVOP) ini sebenarnya merupakan konsep pengembangan desa yang diinisiasi oleh seorang Gubernur di Kota Oita, Jepang bernama Morihiko Hiramatsu. Saat itu, sang gubernur kota ini mampu mengubah kondisi Provinsi Oita yang sebelumnya ditetapkan sebagai wilayah provinsi paling miskin menjadi daerah provinsi percontohan di Jepang,” jelasnya dalam Kuliah Umum Studium Generale ITB dalam siaran persnya, Rabu (19/01/02022).
Pada dasarnya, istilah OVOP ini mulai dikenalkan oleh Hiramatsu saat Provinsi Oita terancam mati akibat peristiwa eksodus besar-besaran yang dilakukan penduduknya pada 1979. Upaya ini diawali dengan keputusan Hiramatsu untuk mengundang para champion masing-masing desa ke dalam suatu pertemuan. Dalam rapat tersebut, ia mendapatkan informasi bahwa setiap daerah di Provinsi Oita memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan.
Akibatnya, Hiramatsu pun memutuskan untuk melakukan dukungan dan pelatihan kepada para champion tersebut untuk mulai melakukan berbagai usaha meningkatkan kondisi perekonomiannya. Selang beberapa tahun, usaha Hiramatsu ini berhasil dan Provinsi Oita pun tidak lagi ditetapkan sebagai kategori daerah termiskin di Jepang. Salah satu buktinya adalah mereka berhasil mengembangkan banyak desa untuk berkreasi sesuai potensi, seperti Yuzu dan Taketa Village yang memanfaatkan pertanian jeruk limun sebagai pusat perekonomian mereka.
“Saat eksodus di Oita itu terjadi, Gubernur Hiramatsu tidak langsung mengundang investor. Namun, yang ia lakukan adalah mengadakan pertemuan dengan para champion dan kemudian melakukan dukungan kepercayaan diri kepada mereka agar mampu memanfaatkan potensi daerahnya masing-masing,” ungkapnya.
Berdasarkan fenomena ini, Denny berpendapat bahwa prinsip OVOP ini juga bisa diterapkan dengan baik di Indonesia. Ia yakin, setiap daerah di negara ini pasti memiliki ciri khas dan keunikannya masing-masing. Oleh karena itu, sebagai salah satu perguruan tinggi yang selalu berperan aktif dalam upaya pengembangan daerah-daerah terpencil di Indonesia, ITB telah menerapkan konsep OVOP ini. Dari sekitar 270 program pengabdian masyarakat yang dilakukan setiap tahunnya, ITB selalu memastikan bahwa kegiatan tersebut selalu berfokus kepada potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah binaannya.
Ia menyebutkan, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) ITB selalu mendesain program pengabdian masyarakat dengan berfokus pada potensi daerah binaan dengan 4 kategori, yaitu (1) pemberdayaan desa, (2) pemulihan ekonomi, (3) mitigasi dan adaptasi bencana, serta (4) industri kreatif dan pariwisata. Dengan membagi wilayah Indonesia ke dalam pola lima lingkar bagian, ia yakin mampu mendeteksi daerah-daerah mana saja yang memang membutuhkan kegiatan pengabdian masyarakat ini.
“Kami membagi wilayah pengabdian masyarakat ini ke dalam lima lingkar, yaitu: wilayah di sekitar lingkungan kampus ITB, Provinsi Jawa Barat, Pulau Jawa, Daerah yang berlokasi di luar pulau Jawa, dan wilayah perbatasan serta wilayah 3T (Terluar, Tertinggal dan Terjauh). Harapannya pembagian pola lima lingkar ini akan memberikan persebaran yang merata dalam kegiatan pengabdiannya nanti,” jelasnya.
Di akhir sesi pemaparannya, ia menyebutkan beberapa contoh bentuk pengabdian masyarakat ITB yang berhasil mengubah kondisi suatu desa di wilayah perbatasan. Salah satunya adalah dengan didirikannya SMK di Provinsi Kalimantan Utara yang berhasil mengubah pendidikan anak-anak remaja di sana. Ia berharap, kondisi semacam ini dapat juga diberikan di wilayah lain sehingga segala permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat di daerah tersebut dapat teratasi.
Sekretaris Bidang Pengabdian Masyarakat LPPM ITB Deny Willy Junaidy mengatakan, kegiatan pengabdian masyarakat yang dilakukan di daerah-daerah Indonesia harus berfokus pada upaya pengembangan potensi yang dimiliki oleh daerahnya masing-masing.
“One Village One Product (OVOP) ini sebenarnya merupakan konsep pengembangan desa yang diinisiasi oleh seorang Gubernur di Kota Oita, Jepang bernama Morihiko Hiramatsu. Saat itu, sang gubernur kota ini mampu mengubah kondisi Provinsi Oita yang sebelumnya ditetapkan sebagai wilayah provinsi paling miskin menjadi daerah provinsi percontohan di Jepang,” jelasnya dalam Kuliah Umum Studium Generale ITB dalam siaran persnya, Rabu (19/01/02022).
Pada dasarnya, istilah OVOP ini mulai dikenalkan oleh Hiramatsu saat Provinsi Oita terancam mati akibat peristiwa eksodus besar-besaran yang dilakukan penduduknya pada 1979. Upaya ini diawali dengan keputusan Hiramatsu untuk mengundang para champion masing-masing desa ke dalam suatu pertemuan. Dalam rapat tersebut, ia mendapatkan informasi bahwa setiap daerah di Provinsi Oita memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan.
Akibatnya, Hiramatsu pun memutuskan untuk melakukan dukungan dan pelatihan kepada para champion tersebut untuk mulai melakukan berbagai usaha meningkatkan kondisi perekonomiannya. Selang beberapa tahun, usaha Hiramatsu ini berhasil dan Provinsi Oita pun tidak lagi ditetapkan sebagai kategori daerah termiskin di Jepang. Salah satu buktinya adalah mereka berhasil mengembangkan banyak desa untuk berkreasi sesuai potensi, seperti Yuzu dan Taketa Village yang memanfaatkan pertanian jeruk limun sebagai pusat perekonomian mereka.
“Saat eksodus di Oita itu terjadi, Gubernur Hiramatsu tidak langsung mengundang investor. Namun, yang ia lakukan adalah mengadakan pertemuan dengan para champion dan kemudian melakukan dukungan kepercayaan diri kepada mereka agar mampu memanfaatkan potensi daerahnya masing-masing,” ungkapnya.
Berdasarkan fenomena ini, Denny berpendapat bahwa prinsip OVOP ini juga bisa diterapkan dengan baik di Indonesia. Ia yakin, setiap daerah di negara ini pasti memiliki ciri khas dan keunikannya masing-masing. Oleh karena itu, sebagai salah satu perguruan tinggi yang selalu berperan aktif dalam upaya pengembangan daerah-daerah terpencil di Indonesia, ITB telah menerapkan konsep OVOP ini. Dari sekitar 270 program pengabdian masyarakat yang dilakukan setiap tahunnya, ITB selalu memastikan bahwa kegiatan tersebut selalu berfokus kepada potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah binaannya.
Ia menyebutkan, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) ITB selalu mendesain program pengabdian masyarakat dengan berfokus pada potensi daerah binaan dengan 4 kategori, yaitu (1) pemberdayaan desa, (2) pemulihan ekonomi, (3) mitigasi dan adaptasi bencana, serta (4) industri kreatif dan pariwisata. Dengan membagi wilayah Indonesia ke dalam pola lima lingkar bagian, ia yakin mampu mendeteksi daerah-daerah mana saja yang memang membutuhkan kegiatan pengabdian masyarakat ini.
“Kami membagi wilayah pengabdian masyarakat ini ke dalam lima lingkar, yaitu: wilayah di sekitar lingkungan kampus ITB, Provinsi Jawa Barat, Pulau Jawa, Daerah yang berlokasi di luar pulau Jawa, dan wilayah perbatasan serta wilayah 3T (Terluar, Tertinggal dan Terjauh). Harapannya pembagian pola lima lingkar ini akan memberikan persebaran yang merata dalam kegiatan pengabdiannya nanti,” jelasnya.
Di akhir sesi pemaparannya, ia menyebutkan beberapa contoh bentuk pengabdian masyarakat ITB yang berhasil mengubah kondisi suatu desa di wilayah perbatasan. Salah satunya adalah dengan didirikannya SMK di Provinsi Kalimantan Utara yang berhasil mengubah pendidikan anak-anak remaja di sana. Ia berharap, kondisi semacam ini dapat juga diberikan di wilayah lain sehingga segala permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat di daerah tersebut dapat teratasi.
(mpw)
tulis komentar anda