Angka Putus Sekolah Kian Tinggi, Evaluasi Pendidikan Harus Segera Dilakukan
Kamis, 03 November 2022 - 20:54 WIB
Misalnya, pola pikir orang tua yang beranggapan lebih baik bekerja daripada belajar. Pola pikir ini hadir karena mereka hidup dalam lingkup kemiskinan. Sehingga, diperlukan mekanisme untuk mengidentifikasi sebab anak putus sekolah, sosialisasi kepada keluarga, hingga bimbingan konseling kepada anak putus sekolah.
Perwakilan Kemendikbudristek RI yang menghadiri The SDGs National Seminar, Catur Budi Santosa juga menjelaskan bahwa ada faktor supply dan demand dalam mengidentifikasi masih adanya anak yang putus sekolah di Indonesia. Sehingga, kemiskinan bukan menjadi satu-satunya faktor penyebab putus sekolah.
Faktor penyebab anak tidak sekolah jika dilihat dari supplynya dikarenakan layanan pendidikan dan pelatihan yang terjangkau belum tersedia di beberapa daerah, kualitas dan relevansi pendidikan dan pelatihan masih rendah, belum dapat memenuhi kebutuhan individu, keluarga, dan masyarakat.
Kemudian untuk faktor demandnya adalah adanya hambatan ekonomi dan kemiskinan yang menjadi faktor utama, sehingga ini juga berpengaruh bagi anak-anak penyandang disabilitas, serta faktor sosial-budaya yakni adanya persepsi keliru tentang pendidikan seperti sebagian masyarakat berpandangan pendidikan tidak terlalu penting, pandangan bias gender berbasis norma sosial, kesulitan ekonomi membuat anak memilih bekerja ketimbang sekolah, serta pernikahan anak yang acapkali dianggap hal yang lazim,” jelas Catur.
Selain itu, Anggi Afriansyah, peneliti pendidikan BRIN menyampaikan bahwa saat ini terdapat tantangan baru dalam dunia pendidikan di mana adanya kondisi-kondisi yang membuat seseorang enggan bersekolah dan memutuskan untuk putus sekolah.
“Orang-orang yang sudah bersekolah juga kemudian tidak mendapatkan kesejahteraan yang baik, sekolah tinggi-tinggi, namun setelah lulus gaji kecil atau adanya fenomena anak-anak muda jika kita mencari terminologi putus sekolah, banyak sekali video-video yang menunjukkan kenapa mereka putus sekolah," tutur Anggi.
Sebetulkan secara kuantitatif ada peningkatan, meskipun ada sisi-sisi stagnan seperti yang disebutkan oleh narasumber sebelumnya, tapi jika diamati secara kualitatif terdapat varian-varian yang menarik untuk diamati seperti dalam penelitian rekan saya yang menyebutkan bahwa aspirasi putus sekolah dikarenakan gaya hidup yang terpenuhi,” tambahnya.
Masih belum menemui titik terang, situasi putus sekolah di Indonesia dengan faktor penyebab yang bervariasi menurut Ketua PSW-KKN LP2M, Dr. Agung Winarno, M.M, menjadi pertanda perlunya evaluasi pendidikan di Indonesia. Pelibatan para pihak yang relative rendah serta tidak terkoordinasi dengan baik juga menjadi penyebab fenomena putus sekolah di Indonesia masih menjadi tugas besar bagi semua.
“Kurangnya penekanan pada pendekatan budaya, tidak adanya program berkesinambungan untuk mengevaluasi hak belajar anak. Kesepahaman guru dan kepala sekolah dalam menangani siswa juga merupakan asal muasal adanya putus sekolah ini. Namun selain daripada itu, terdapat riset atau temuan bahwa pertumbuhan ekonomi pedesaan berbanding terbalik dengan minat anak melanjutkan studi," jelas Agung.
"Jadi apabila ada sektor ekonomi yang dapat digali untuk mendapatkan penghasilan, di situ minat anak untuk studi menjadi lebih rendah, kemudian ada pula persepsi jika sekolah dibangun agar dapat bekerja (mencari uang) maka potensi anak melanjutkan studi akan gagal, sehingga branding sekolah membuat anak mudah bekerja saat ini gagal,” tambahnya.
Perwakilan Kemendikbudristek RI yang menghadiri The SDGs National Seminar, Catur Budi Santosa juga menjelaskan bahwa ada faktor supply dan demand dalam mengidentifikasi masih adanya anak yang putus sekolah di Indonesia. Sehingga, kemiskinan bukan menjadi satu-satunya faktor penyebab putus sekolah.
Faktor penyebab anak tidak sekolah jika dilihat dari supplynya dikarenakan layanan pendidikan dan pelatihan yang terjangkau belum tersedia di beberapa daerah, kualitas dan relevansi pendidikan dan pelatihan masih rendah, belum dapat memenuhi kebutuhan individu, keluarga, dan masyarakat.
Kemudian untuk faktor demandnya adalah adanya hambatan ekonomi dan kemiskinan yang menjadi faktor utama, sehingga ini juga berpengaruh bagi anak-anak penyandang disabilitas, serta faktor sosial-budaya yakni adanya persepsi keliru tentang pendidikan seperti sebagian masyarakat berpandangan pendidikan tidak terlalu penting, pandangan bias gender berbasis norma sosial, kesulitan ekonomi membuat anak memilih bekerja ketimbang sekolah, serta pernikahan anak yang acapkali dianggap hal yang lazim,” jelas Catur.
Selain itu, Anggi Afriansyah, peneliti pendidikan BRIN menyampaikan bahwa saat ini terdapat tantangan baru dalam dunia pendidikan di mana adanya kondisi-kondisi yang membuat seseorang enggan bersekolah dan memutuskan untuk putus sekolah.
“Orang-orang yang sudah bersekolah juga kemudian tidak mendapatkan kesejahteraan yang baik, sekolah tinggi-tinggi, namun setelah lulus gaji kecil atau adanya fenomena anak-anak muda jika kita mencari terminologi putus sekolah, banyak sekali video-video yang menunjukkan kenapa mereka putus sekolah," tutur Anggi.
Sebetulkan secara kuantitatif ada peningkatan, meskipun ada sisi-sisi stagnan seperti yang disebutkan oleh narasumber sebelumnya, tapi jika diamati secara kualitatif terdapat varian-varian yang menarik untuk diamati seperti dalam penelitian rekan saya yang menyebutkan bahwa aspirasi putus sekolah dikarenakan gaya hidup yang terpenuhi,” tambahnya.
Masih belum menemui titik terang, situasi putus sekolah di Indonesia dengan faktor penyebab yang bervariasi menurut Ketua PSW-KKN LP2M, Dr. Agung Winarno, M.M, menjadi pertanda perlunya evaluasi pendidikan di Indonesia. Pelibatan para pihak yang relative rendah serta tidak terkoordinasi dengan baik juga menjadi penyebab fenomena putus sekolah di Indonesia masih menjadi tugas besar bagi semua.
“Kurangnya penekanan pada pendekatan budaya, tidak adanya program berkesinambungan untuk mengevaluasi hak belajar anak. Kesepahaman guru dan kepala sekolah dalam menangani siswa juga merupakan asal muasal adanya putus sekolah ini. Namun selain daripada itu, terdapat riset atau temuan bahwa pertumbuhan ekonomi pedesaan berbanding terbalik dengan minat anak melanjutkan studi," jelas Agung.
"Jadi apabila ada sektor ekonomi yang dapat digali untuk mendapatkan penghasilan, di situ minat anak untuk studi menjadi lebih rendah, kemudian ada pula persepsi jika sekolah dibangun agar dapat bekerja (mencari uang) maka potensi anak melanjutkan studi akan gagal, sehingga branding sekolah membuat anak mudah bekerja saat ini gagal,” tambahnya.
tulis komentar anda