Ini Tujuh Pokok Pikiran Naskah Akademik RUU Sisbuddiknas

Jum'at, 17 Juli 2020 - 22:21 WIB
loading...
Ini Tujuh Pokok Pikiran Naskah Akademik RUU Sisbuddiknas
Sejumlah tokoh Aliansi Kebangsaan menyerahkan naskah akademik ke Komisi X DPR sebagai masukan dalam merumuskan kembali UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
A A A
JAKARTA - Sejumlah tokoh Aliansi Kebangsaan menyerahkan naskah akademik ke Komisi X DPR sebagai masukan dalam merumuskan kembali UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) . Para tokoh mengusulkan perubahan nama Sisdiknas menjadi Sistem Kebudayaan dan Pendidikan Nasional (Sisbuddiknas).

Pembina Yayasan Suluh Nuswantoro Bhaktj Pontjo Sutowo menuturkan tujuh pokok pikiran penting dalam naskah akademik (Nasmik) Sistem Kebudayaan dan Pendidikan Nasional. Pertama, menghadirkan kembali kebudayaan sebagai ontologi pendidikan. Pendidikan adalah bagian dari kebudayaan, bukan sebaliknya, dan bersumber dari budaya besar Indonesia yang terus tumbuh serta berkembang. Pendidikan adalah alat untuk membentuk kebudayaan karena pada dasarnya kebudayaan dapat dibentuk. Untuk itu pendidikan nasional harus memiliki kekuatan spiritual (agama, ke-Indonesiaan, nilai-nilai Pancasila), ilmu pengetahuan yang tinggi, dan kerja kemanusiaan. (Baca juga: UU Sisdiknas Masuk Omnibus Law, Pemerintah Dinilai Tak Konsisten)

Kedua, kerangka dasar kurikulum nasional menjadi Trimatra Pendidikan yaitu kebangsaan, etika dan logika. Kebangsaan terkait nasionalisme dan kebhinekaan. Sebagai warga negara dia wajib bisa mempertahankan Tanah Air nya. Baik tanah air fisik, tanah air formal, dan tanah air mental. Etika terkait erat dengan sikap pergaulan sosial. Logika terkait pembangunan nalar dan akal. Logika dibagi menjadi tiga rumpun yaitu Literasi Bahasa, Matematika, dan Sains. Semua mata pelajaran bermuara dari ketiganya.

“Jadi desain struktur kurikulum inti pendidikan nasional pada dasarnya ada empat yaitu, Agama-Kebangsaan-Etika-Logika”. Berbeda dengan negara lain yang tidak menempatkan Agama di dalam kurikulumnya, Indonesia harus menempatkan Agama di dalam kurikulumnya karena selain berhubungan dengan etika maka Agama juga berhubungan dengan kebangsaan/nasionalisme,” ungkap Pontjo. (Baca juga: YSNB Minta Sisdiknas Jadi RUU Sistem Kebudayaan dan Pendidikan Nasional)

Ketiga, mensentralkan urusan pendidikan nasional dan tidak dibagi-bagi menjadi urusan pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Pendidikan harus dilihat sebagai the battle of sovereignty (pertempuran kedaulatan) guna mendapatkan security and prosperity (keamanan dan kemakmuran). Ini sejalan dengan organisasi tertua pendidikan di Indonesia yaitu Taman Siswa bahwa pendidikan sebagai alat perlawanan terhadap semua kolonialisme. Demikian juga Budi Oetomo, menyebut pendidikan sebagai alat memerdekakan.

Keempat, menghasilkan warga negara unggul via metoda meta science yang berenergi mental Pancasila. Tujuan pendidikan nasional harus bisa menghasilkan manusia unggul yaitu, sebagai patriot sejati Indonesia yang bertakwa, cerdas, ikhlas, berperikemanusiaan, adil, beradab, jujur, bertanggung jawab, mumpuni, ulet dan tangguh. Manusia Indonesia harus memiliki knowledge (know what), attitude (know why) and skills (know how).

Kelima, menempatkan UU Sisbuddiknas sebagai UU Payung. UU Sisbuddiknas dalam ruang lingkupnya diharapkan sudah menyentuh semua hal dari pendidikan formal, informal, dan nonformal. Juga sudah mencakup dari pendidikan PAUD, dasar, menengah, dan tinggi. Dengan demikian hanya ada satu UU tentang kebudayaan dan pendidikan nasional dengan turunan yang lebih rinci berupa Peraturan Pemerintah.

Keenam, pemberdayaan Iptek melalui Quarto Helix. Satu komponen elementer penggerak sistem inovasi teknologi adalah sinergi dan kolaborasi yang kuat dalam empat pihak (Quarto Helix)” antara lembaga riset/perguruan tinggi, industri, pemerintah, dan masyarakat. Haus diakui, riset dan pengembangan teknologi (risbangtek) yang dihasilkan oleh perguruan tinggi belum ter-hilirisasi dengan baik ke dunia usaha/industri maupun ke masyarakat, karena tugas pemerintah yang seharusnya menghubungkan perguruan tinggi/lembaga riset dengan dunia usaha/industri dan masyarakat belum berjalan maksimal. Akibatnya, hasil risbangtek yang dilakukan oleh perguruan tinggi saat ini seringkali sebatas mengejar publikasi ilmiah.

Ketujuh, pendidikan inklusi. Pendidikan inklusi adalah pendidikan yang menggabungkan anak-anak yang berkebutuhan khusus dengan anak-anak regular dalam kelas yang sama dengan ratio tertentu. Secara filosofis, pendidikan inklusif hampir sama dengan falsafah bangsa ini, yaitu Bhineka Tunggal Ika yang berarti meniadakan perbedaan dan menjadikan satu kesatuan dalam berbagai keberagaman.

Usulan perubahan nama UU Sisdiknas menjadi RUU Sistem Kebudayaan dan Pendidikan Nasional (RUU sisbudiknas) melibatkan sejumlah tokoh penting. Di antaranya, Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo, Sekjen Aliansi Kebangsaan Zacky Siradj, Wisnu Broto Ketua Yayasan Suluh Nuswantara Bhakti, Ketua NU Circle R. Gatot Pruo Utomo, (can) Johan Marbun (Nusantara Center/dosen UGM), Ketua Yayasan Budaya Cerdas Bambang Pharma, Wakil Sekjen FKPPI Susetya Herawati.

Sementara itu, hadir secara virtual antara lain Muchlas Samani (mantan Rektor Unesa), Ketua Presidium Gernas Tastaka Ahmad Rizali, Mauliate Simorangkir (pengamat pendidikan asal Sumut), Sururi Azis (Pergerakan Literasi Indonesia), Dwi Puji Lestari (mahasiswa program doktoral UNJ), Wiwiet Kurniawan (dosen Unpam) dan HB Arifin (Direktur Sekolah Virtual Nusantara).
(cip)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.6090 seconds (0.1#10.140)