Rektor UIN Jakarta Prof Asep Saepudin Jahar Ingin Wujudkan Integrasi Islam, Sains, dan Teknologi
loading...
A
A
A
Wawancara Khusus Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Asep Saepudin Jahar, M.A., Ph.D
UNIVERSITAS Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta akan memasuki usia ke-66 pada 1 Juni mendatang. Perguruan tinggi keagamaan Islam negeri yang berdiri dengan nama awal Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) itu memiliki sejarah dan rekam jejak panjang dalam khazanah dunia pendidikan Indonesia.
Alumninya pun memiliki peran dan kontribusi signifikan di berbagai sektor dan bidang. Pun ada banyak tokoh dan intelegensia dari UIN Jakarta berkaliber nasional hingga memiliki nama mendunia.
Reputasi UIN Jakarta pun diakui oleh berbagai kalangan baik di level nasional maupun di kancah internasional. Karena itu, setiap Rektor yang memimpin UIN Jakarta memikul “tugas akbar”, yakni haruslah tetap mempertahankan rekognisi nasional dan global, serta terus mengembangkan dan memperkokoh kualitas, peran, dan kontribusi civitas akademika dan alumni UIN Jakarta.
Jumat (17/3) sore, tim KORAN SINDO berkesempatan mewawancarai Prof. Asep Saepudin Jahar, M.A. Ph.D., Rektor UIN Jakarta masa bakti 2023-2027 (Rektor ke-14). Alumnus Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo itu resmi menjabat per 1 Maret 2023 setelah dilantik oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Asep yang juga lulusan Universitas McGill, Kanada dan Universitas Leipzig, Jerman.
Ihwal utama yang menjadi penekanan mantan Dekan Fakultas Syariah dan Hukum serta Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta itu adalah mengintegrasikan Islam, sains, dan teknologi sehingga mampu memperkokoh kiprah civitas akademika dan lulusan UIN Jakarta.
Sorot mata Asep tajam, penuturannya penuh optimisme, dan disertai pula tamsil, canda, dan tawa. Berikut petikan wawancara khusus KORAN SINDO dengan Rektor UIN Syarif Hidayatullah yang baru saja terpilih.
Apa visi-misi Bapak sebagai Rektor UIN Jakarta periode 2023-2027 agar UIN Jakarta menjadi barometer pendidikan Islam?
Tentu saya tetap menghadirkan UIN Jakarta sebagai poros keilmuan dari sebagaimana telah dihadirkan oleh Harun Nasution, kemudian Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, dan seterusnya. Dan, dalam konteks ini UIN Jakarta adalah kiblat keilmuan, bagaimana positioning UIN dalam kajian Islam ini adalah sebagai core values dan core academic. Itu poin besar.
Tentu dua core ini yang ingin kita unggulkan di dalam konteks percaturan akademik, perhelatan global, yang akan kita kembangkan adalah bagaimana studi Islam yang bisa merespon perubahan-perubahan modern dalam konteks di dunia muslim dan internasional. Sehingga, inilah yang disebut integrasi.
Jadi, integrasi Islam, sains, dan teknologi. Dan, bagaimana itu menjadi perhatian besar dunia. Poin saya, bagaimana kajian-kajian studi itu di Timur Tengah dan di mana, di sinilah menjadi tempatnya. Yang kedua, kalau untuk merespon modernitas, ini bagaimana di dalam merespon isu-isu sosial, politik, dan ekonomi Islam yang memang diramu di UIN Jakarta.
Yang sudah dirintis tapi belum selesai (oleh rektor-rektor sebelumnya), formulasinya seperti apa di dalam konteks kurikulum, kajian, dan teaching. Ibaratnya dalam kaidah usul fikih “maa laa yudraku kulluhu laa yutraku kulluhu”. Karena itulah bagaimana kita melakukan integrasi Islam, sains, dan teknologi.
Maka, kalau dinarasikan secara singkat adalah kita ingin menghadirkan UIN Jakarta ini sebagai suatu universitas yang unggul di dunia global dalam kajian Islam, sains, dan teknologi atau integrasi Islam, sains, dan teknologi. Itu secara core academic-nya.
Namun, tetap di dalamnya ya itu tadi dia menjadi poros, menjadi kiblat, menjadi pusat kajian, yang memang dari Asia, Eropa, dan Timur Tengah. Sehingga, kalau ingin melihat potret Islam, ingin melihat potret masyarakat untuk bagaimana mensinergikan dan bagaimana mendialogkan Islam dengan perubahan-perubahan ya ke UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Memang harus kerja keras. Karena, budaya yang sudah ada harus kita rombak lagi dan itulah tantangannya. Tapi harus kita ubah dan itu butuh keberanian. Insya Allah kita bersinergi dengan para pimpinan (fakultas dan sekolah pascasarjana) untuk melakukan itu. Kita juga ubah bagian-bagian di biro yang men-support-nya. Karena, untuk perubahan itu butuh pemahaman.
Apakah sinergi yang Bapak maksud tadi karena selama ini belum maksimal upaya memajukan potret Islam dan masyarakat maupun dalam mensinergikan Islam dengan perubahan-perubahan?
Artinya, kita mereaktualisasikan dan aktualisasikan pemikiran, supaya ini bisa menjadi kebutuhan dunia. Itu salah satunya ya. Nah, seperti itulah UIN Jakarta, ingin menghadirkan harmoni. Maka itulah, untuk kajian-kajian yang sains, kemudian sosial, kemudian islamic studies kita tekankan, tentu core islamic studies harus dijaga walaupun secara kapitalisasi dalam konteks payment itu kan tidak sama dengan kedokteran dan sebagainya.
Tetapi dia (islamic studies) adalah menjadi tradisi UIN yang harus kita subsidi karena ini (islamic studies) yang menjadi distingtif-nya, menjadi nilai tambahnya. Ya kita melanjutkan apa yang sudah dirintis oleh Harun Nasution, oleh Azyumardi Azra, oleh seluruh yang lain, oleh para pemimpin (rektor) sebelumnya. Kira-kira itu poin besarnya.
Bagaimana cara mewujudkan visi-misi tersebut?
Untuk implementasinya, paling mendasar adalah tentu kita melakukan restrukturisasi di dalam sistem. Supaya dikenal tentu teknologi informasi harus bagus. Tentu semuanya harus diisi di website dan jaringan supaya bisa terdeteksi oleh orang.
Itu yang kita benahi. Kemudian juga bagaimana peningkatan kapasitas dan kualitas sumber daya manusia (SDM) tenaga kependidikan, dosen, mahasiswa/i, riset, dan lain sebagainya. Jadi, dalam konteks inilah memang ini proyek kelanjutan tetapi memang ikhtiar besar.
Apa saja pesan dan amanah Menteri Agama untuk pengembangan, kemajuan, dan kontribusi UIN Jakarta baik di tingkat nasional maupun global?
Ada dua yang diamanatkan Menteri Agama, Gus Yaqut Cholil Qoumas secara konkret.
Pertama, secara insititusional supaya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi perguruan tinggi keagamaan Islam negeri berbadan hukum. Ini supaya kita punya kemampuan dan kemandirian karena itu akan menopang yang tadi saya jelaskan.
Yang kedua, supaya UIN Jakarta ini menjadi world class university, supaya recognize secara global. Nah, supaya di-recognize secara global tadi itulah yang tadi saya jelaskan bahwa keunikan-keunikan apa yang harus terus dikembangkan.
Integrasi Islam, sains, dan teknologi itulah yang harus terus, bukan islamisasi sains. Harus diingat ya, bukan islamisasi sains tapi mendialogkan berbagai pendekatan, berbagai disiplin ilmu diramu, sehingga ada suatu kesepahaman, ada suatu pemahaman, sehingga kita tidak totaly exclusive.
Mengapa UIN Jakarta di bawah kepemimpinan Bapak mendorong ke arah mewujudkan integrasi Islam, sains, dan teknologi?
Karena kan sebenarnya kita belum tergali ya dalam konteks apa sih khazanah Islam itu yang begitu dalam dan juga ini (Islam) menjadi spirit dan menjadi karakter. Kemudian, kita juga perlu memberikan nilai-nilai ilahiah kepada dunia ini, kepada alam ini.
Sekarang kan tidak sekadar emotional quotients dan intelligence quotient tapi juga harus ada spritual quotient. Nah, yang lebih penting, kita bagaimana membumikan Islam sehingga tidak dianggap bahwa Islam ini menjadi problem atau menjadi “biang kerok” kehidupan sosial.
Seberapa efektif lembaga pendidikan seperti UIN Jakarta menjadi jalan solusi tersebut karena di sisi lain tentu ada organisasi kemasyarakatan, dan lain-lain?
Betul, karena UIN ini kan menyiapkan intelektual, menyiapkan aktivis, menyiapkan juga enterpreneur, menyiapkan juga birokrat, menyiapkan juga politisi, dan lain-lain. Kalau mereka keluar dengan pemahaman terhadap Islam sangat kaku ataupun ekstrem, itu bahaya.
Nah, kalau ini kita tidak kelola dengan baik, berarti kita menyiapkan generasi yang akan menggerogoti Pancasila, menggerogoti Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Karena itulah, hadirnya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dari dulu, dari zamannya Harun Nasution, itu terkait dengan rasionalisme. Nah, UIN Jakarta menghadirkan perspektif yang bisa lebih komprehensif.
Sehingga, walaupun kita melihat dari depan dan belakang atau samping, maka punya kesimpulan yang sama. Apa itu? Islam for harmony, Islam for peace, Islam for freedom. Itulah konteksnya, arahnya ke sana.
Bagaimana Bapak menilai posisi Rektor yang memiliki otoritas “besar” dengan nilai-nilai latar belakang Bapak dari keluarga guru?
Kebahagiaan saya dalam saya menjabat sebagai Rektor ini, ada imajinasinya saya, ada obsesi, kemudian punya otoritas. Alhamdulillah. Saya ingin terbuka dan transparan. Tapi yang lebih penting, saya punya otoritas kebijakan. Saya pengen maju UIN Jakarta ini. Ya Allah semoga diridhoi, saya ingin memperbaiki ini.
Wakaf saya sebagai Rektor adalah membuat kebijakan untuk kepentingan kemajuan UIN Jakarta. Setiap wakaf itu akan dicatat kebaikannya. Semua yang kita miliki nisbi semua. Maksud saya, kebaikan yang terbaik adalah membahagiakan orang, menyenangkan orang. Itulah yang saya bangun sebagai Rektor. Dalam arti, jabatan sebagai Rektor kan enggak lama. Hidup kan juga sementara, apalah arti hidup ini. Hidup ini kan “mazro’atul akhiroh”, hidup ini sebagai ladang berbuat baik untuk akhirat.
Pengalaman hidup saya yang guru, orang tua saya ya guru. Jadi, dedikasinya mengajar kepada masyarakat, kehidupannya juga tidak ada yang bergaya dan berlebihan seperti yang lain. Mungkin juga itu sebagai doa dari mereka ya untuk saya. Artinya, bagi saya ya mudah-mudahan diberikan umur panjang, kesehatan, dan kemampuan untuk berdedikasi melakukan perbaikan dan pengembangan untuk kemajuan UIN Jakarta.
Bagaimana cara UIN Jakarta untuk menyelaraskan Islam, sains, dan teknologi?
Yang memang harus selalu ditekankan adalah dalam sistem kurikulum kita. Contoh, apa sih basic knowledge yang harus dikuasai mahasiswa/i? Misalnya mahasiswa/i Fakultas Kedokteran di dalam konteks integrasi tadi? Tentu bukan berarti Islam itu nyuntik pasien itu beda, kan sama saja nyuntiknya.
Ketika dia nyuntik, bahwa ini (pasien) adalah human, tujuan kita adalah menyelamatkan nyawa manusia, dan itu adalah ibadah, itu adalah perintah Tuhan, maka inilah sebagai sebuah humanity. Sehingga, dia paham bahwa dasar-dasar tentang kedokteran itu dan natural science jalan, tetapi kita memperlakukan dia (pasien) dalam konteks humanity.
Di ekonomi juga sama kan. Ketika kita menyebut korupsi, dia korupsi itu kan bukan karena dia tidak paham, padahal itu kan sudah ada (larangan) dalam Islam. Di dalam Islam kan disebutkan bahwa ini harus ada kestabilan dalam harta, harus ada distribusi.
Maka itu, harus ada transparansi dan sebagainya. Islam mengajarkan itu. Bukan berarti secara tekstual disebutkan begini, enggak lagi begitu. Jadi, tidak secara doktrinal tetapi sudah menyatu. Tetapi itu menjadi tindakan yang sudah membaur dan menjadi nilai-nilai.
Selain integrasi Islam, sains, dan teknologi melalui kurikulum, apa cara lain yang ditempuh UIN Jakarta?
Tentu kalau kita menyebutkan kurikulum kan itu terkait dengan semua aktivitas ya, apakah itu di dalam dan di luar kelas.
Kemudian juga tentu risetnya kita kembangkan dan tingkatan, misalnya bagaimana mendialogkan ke kampus-kampus di dalam dan di luar negeri untuk itu. Sehingga, ada program yang alumni doktor ini kita postdoctoral-kan. Misalnya, yang doktor dari Barat itu postdoctoral-kan di Mesir dan yang dari Mesir, kita postdoctoral-kan di Barat. Itu supaya balancing, integrasi.
Bagaimana upaya UIN Jakarta mengembangkan dan meningkatkan kualitas mahasiswi/i maupun untuk peningkatan mutu lulusan UIN Jakarta agar semakin berdaya saing dan perannya menguat di level nasional dan global?
Tentu secara terprogram, tentu kurikulum untuk penyiapan skill-nya. Selain itu ada lagi dua hal yang harus kita siapkan, yaitu pengetahuan bagaimana dia merespon pasar kerja dan juga kita menyiapkan mentality atau karakter. Itulah kerja sama-kerja sama yang sudah kita bangun dan akan kita perkuat lagi.
Selain itu, dia harus juga mengenal organisasi kemasyarakatan dong, apakah itu Muhammadiyah, apakah itu Nahdlatul Ulama, Al Washliyah, dan lain sebagainya. Kemudian, dia juga harus mengenal bagaimana penanganan lingkungan, bagaimana penanganan terhadap sosial, bagaimana penanganan terhadap kemiskinan, dan lain sebagainya.
Itulah yang secara karakter yang harus kita dekatkan mahasiswa dalam konteks itu. Bukan hanya menyiapkan dia untuk kerja. Kemudian tentu juga kita mendekatkan mereka terhadap Sustainable Deveopment Goals (SDGs), kepekaan untuk misalnya tentang kesehatan walaupun itu orang (mahasiswa/i) Fakultas Syariah dan Hukum. Jadi, mereka harus mengenal. Sehingga yang saya katakan tadi, kita itu sinergi sudah lintas ilmu. Lintas ilmu sinerginya.
Kita harus menyiapkan segalanya, bukan hanya sekadar keilmuan. Kita siapkan skill, kepekaan lingkungan, karakter. Tentu untuk itu kita berinteraksi dan bekerja sama dengan lembaga-lembaga di dalam negeri dan luar negeri. Maka itu, kita lakukan kuliah kerja nyata (KKN) luar negeri, KKN di BUMN, KKN di berbagai lembaga hukum, KKN di DPR, dan sebagainya.
Mahasiswa/i yang generasi Z dan generasi milenial kan punya passion yang beragam, namun kita harus menyajikannya atau harus kita menyiapkan “menu”-nya. Nah, untuk itu, kita melakukan survei. Kita survei apa sih sebenarnya kebutuhan mahasiswa, misalnya apa sih yang di Fakultas Sains dan Teknologi, apa sih yang Fakultas Syariah dan Hukum, dan fakultas-fakultas lainnya.
Banyak pihak menyebutkan bahwa lulusan perguruan tinggi di Indonesia tidak siap pakai dan ini berbeda dengan lulusan perguruan tinggi luar negeri yang siap pakai. Bagaimana Bapak melihat hal tersebut dan akan seperti apa UIN Jakarta nantinya?
Nah, kami sekarang mengembangkan dan mensinergikan apa yang ada di UIN Jakarta ini yaitu Career Center. Jadi, kita punya lembaga untuk itu tadi. Kita "shoping" dulu, shoping job, shoping opportunity ke berbagai pihak, apakah itu ke lembaga internasional, perusahaan-perusahaan, dan lain sebagainya.
Career Center sudah ada dua tahun tapi akan kita kembangkan lagi. Kita akan perkuat kembali. Sekarang Career Center ini ada gedungnya yang ada di sekitar Kampus 2, sebelumnya itu enggak ada. Career Center ini punya kerja sama dan punya channeling untuk apa yang dibutuhkan. Sehingga, ini akan kita akan memolakan untuk bagaimana mendinamisasikan di dalam kurikulum. Kurikulum yang memang dibutuhkan.
Di samping, Career Center juga menyediakan job fair kan. Jadi, kita kerja sama dengan lembaga-lembaga, perusahaan-perusahaan termasuk BUMN, maupun lembaga dan perusahaan luar negeri, untuk mahasiswa. Karena, mahasiswa kan juga mau kerja bukan hanya di dunia lembaga yang kaku, kadang juga dia mau jadi volunteer kan, senang aktif di lembaga non-government, dan lain-lain.
Bagaimana tindakan UIN Jakarta untuk meningkatkan kualitas para dosen dan guru besar serta hak paten dan kekayaan intelektual dosen, guru besar, maupun peneliti UIN Jakarta?
Betul, itu juga kita akan lakukan. Ada beberapa varian dalam memperkuat dosen sehingga dia tidak lagi eksklusif, dia harus berkreasi. Nah, untuk di dosen juga memang yang harus kita sadarkan dari budaya akademik dulu.
Dosen ini kan merasa eksklusif sebagai akademisi elit dan dia kurang berinteraksi dengan mahasiswa. Padahal resources atau sumber publikasi keilmuan itu mahasiswa. Nah, itu tidak terbangun selama ini. Makanya kita ingin sadarkan dulu bagaimana dosen berkolaborasi dengan mahasiswa.
Akhirnya kemudian kita akan wajibkan dosen menulis suatu publikasi di dalam riset, wajib harus ada co-partner dari mahasiswa. Kita paksa tetapi juga kita pantau bukan hanya mempekerjakan mahasiswa. Saya sebagai Rektor ingin mengingatkan. Nah, itu academic culture ya dari sisi harus kolaborasi dosen dan mahasiswa.
Yang kedua, academic culture itu integritas. Dalam arti integritas akademik, ini karya dia yang dia baca dari sumber utama atau copy-paste, atau seperti apa. Ini kan enggak gampang. Jadi, ini untuk menghindari plagiat. Kalau plagiat kan itu salah satu bentuk dari korupsi juga kan yakni korupsi akademik. Jadi, kita perkuat integritas akademik.
Yang selanjutnya, tentu kita ada reward untuk menyemangati bagi siapa yang dapat paten atau hak cipta ataupun publikasi. Kita kasih reward misalnya ada postdoctoral, ada berupa uang, dan sebagainya untuk membangun kelanjutan dosennya.
Untuk yang itu tentu ada kolaborasi dan kerja sama guru besar, dosen, dan sebagainya dengan dunia internasional, sehingga dia terhubungkan dengan keilmuan, misalnya apakah nanti dia visit ke sana, konferensi, seminar, dan lain sebagainya.
Berikutnya masalah sitasi, untuk sitasi ini kita akan hubungkan supaya ada rekognisi internasional. Selain reward, tentu punishment juga ada kalau dia tidak mencapai dan mengerjakan apa-apa, serta kami melakukan pendampingan terhadap dosen dan bukan dibiarkan. Untuk pendamping itu kita hadirkan expert lain.
Apakah ada program penataaan ruang untuk UIN Jakarta?
Nah, UIN Jakarta ini akan saya buat green campus nih, sehingga ini bebas asap lah. Meskipun saya Rektor, saya akan parkir di sana (di tempat lain) dan bukan di sini. Kalau ada yang mau parkir di dalam kampus, boleh, tapi mobil listrik lho. Tentu agenda saya pertama, saya rapihkan dulu bagian muka kampus ini, make up bagian muka diperbaiki.
Kenapa saya ingin membuat UIN Jakarta sebagai green campus? Kampus kita kan kecil, ya suasananya harus nyaman dan make up-nya harus diperbaiki. Sudah saya undang itu ahli landscape dan tata ruang untuk bagaimana mewujudkan. Belum lagi terkait lingkungannya kan, misalnya pembuangan airnya. Kemudian, nanti ada videotron, jadi jangan pakai spanduk lagi. Nah, karena kita ingin mewujudkan world class university maka ya kita harus berubah.
UNIVERSITAS Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta akan memasuki usia ke-66 pada 1 Juni mendatang. Perguruan tinggi keagamaan Islam negeri yang berdiri dengan nama awal Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) itu memiliki sejarah dan rekam jejak panjang dalam khazanah dunia pendidikan Indonesia.
Alumninya pun memiliki peran dan kontribusi signifikan di berbagai sektor dan bidang. Pun ada banyak tokoh dan intelegensia dari UIN Jakarta berkaliber nasional hingga memiliki nama mendunia.
Reputasi UIN Jakarta pun diakui oleh berbagai kalangan baik di level nasional maupun di kancah internasional. Karena itu, setiap Rektor yang memimpin UIN Jakarta memikul “tugas akbar”, yakni haruslah tetap mempertahankan rekognisi nasional dan global, serta terus mengembangkan dan memperkokoh kualitas, peran, dan kontribusi civitas akademika dan alumni UIN Jakarta.
Jumat (17/3) sore, tim KORAN SINDO berkesempatan mewawancarai Prof. Asep Saepudin Jahar, M.A. Ph.D., Rektor UIN Jakarta masa bakti 2023-2027 (Rektor ke-14). Alumnus Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo itu resmi menjabat per 1 Maret 2023 setelah dilantik oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Asep yang juga lulusan Universitas McGill, Kanada dan Universitas Leipzig, Jerman.
Ihwal utama yang menjadi penekanan mantan Dekan Fakultas Syariah dan Hukum serta Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta itu adalah mengintegrasikan Islam, sains, dan teknologi sehingga mampu memperkokoh kiprah civitas akademika dan lulusan UIN Jakarta.
Sorot mata Asep tajam, penuturannya penuh optimisme, dan disertai pula tamsil, canda, dan tawa. Berikut petikan wawancara khusus KORAN SINDO dengan Rektor UIN Syarif Hidayatullah yang baru saja terpilih.
Apa visi-misi Bapak sebagai Rektor UIN Jakarta periode 2023-2027 agar UIN Jakarta menjadi barometer pendidikan Islam?
Tentu saya tetap menghadirkan UIN Jakarta sebagai poros keilmuan dari sebagaimana telah dihadirkan oleh Harun Nasution, kemudian Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, dan seterusnya. Dan, dalam konteks ini UIN Jakarta adalah kiblat keilmuan, bagaimana positioning UIN dalam kajian Islam ini adalah sebagai core values dan core academic. Itu poin besar.
Tentu dua core ini yang ingin kita unggulkan di dalam konteks percaturan akademik, perhelatan global, yang akan kita kembangkan adalah bagaimana studi Islam yang bisa merespon perubahan-perubahan modern dalam konteks di dunia muslim dan internasional. Sehingga, inilah yang disebut integrasi.
Jadi, integrasi Islam, sains, dan teknologi. Dan, bagaimana itu menjadi perhatian besar dunia. Poin saya, bagaimana kajian-kajian studi itu di Timur Tengah dan di mana, di sinilah menjadi tempatnya. Yang kedua, kalau untuk merespon modernitas, ini bagaimana di dalam merespon isu-isu sosial, politik, dan ekonomi Islam yang memang diramu di UIN Jakarta.
Yang sudah dirintis tapi belum selesai (oleh rektor-rektor sebelumnya), formulasinya seperti apa di dalam konteks kurikulum, kajian, dan teaching. Ibaratnya dalam kaidah usul fikih “maa laa yudraku kulluhu laa yutraku kulluhu”. Karena itulah bagaimana kita melakukan integrasi Islam, sains, dan teknologi.
Maka, kalau dinarasikan secara singkat adalah kita ingin menghadirkan UIN Jakarta ini sebagai suatu universitas yang unggul di dunia global dalam kajian Islam, sains, dan teknologi atau integrasi Islam, sains, dan teknologi. Itu secara core academic-nya.
Namun, tetap di dalamnya ya itu tadi dia menjadi poros, menjadi kiblat, menjadi pusat kajian, yang memang dari Asia, Eropa, dan Timur Tengah. Sehingga, kalau ingin melihat potret Islam, ingin melihat potret masyarakat untuk bagaimana mensinergikan dan bagaimana mendialogkan Islam dengan perubahan-perubahan ya ke UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Memang harus kerja keras. Karena, budaya yang sudah ada harus kita rombak lagi dan itulah tantangannya. Tapi harus kita ubah dan itu butuh keberanian. Insya Allah kita bersinergi dengan para pimpinan (fakultas dan sekolah pascasarjana) untuk melakukan itu. Kita juga ubah bagian-bagian di biro yang men-support-nya. Karena, untuk perubahan itu butuh pemahaman.
Apakah sinergi yang Bapak maksud tadi karena selama ini belum maksimal upaya memajukan potret Islam dan masyarakat maupun dalam mensinergikan Islam dengan perubahan-perubahan?
Artinya, kita mereaktualisasikan dan aktualisasikan pemikiran, supaya ini bisa menjadi kebutuhan dunia. Itu salah satunya ya. Nah, seperti itulah UIN Jakarta, ingin menghadirkan harmoni. Maka itulah, untuk kajian-kajian yang sains, kemudian sosial, kemudian islamic studies kita tekankan, tentu core islamic studies harus dijaga walaupun secara kapitalisasi dalam konteks payment itu kan tidak sama dengan kedokteran dan sebagainya.
Tetapi dia (islamic studies) adalah menjadi tradisi UIN yang harus kita subsidi karena ini (islamic studies) yang menjadi distingtif-nya, menjadi nilai tambahnya. Ya kita melanjutkan apa yang sudah dirintis oleh Harun Nasution, oleh Azyumardi Azra, oleh seluruh yang lain, oleh para pemimpin (rektor) sebelumnya. Kira-kira itu poin besarnya.
Bagaimana cara mewujudkan visi-misi tersebut?
Untuk implementasinya, paling mendasar adalah tentu kita melakukan restrukturisasi di dalam sistem. Supaya dikenal tentu teknologi informasi harus bagus. Tentu semuanya harus diisi di website dan jaringan supaya bisa terdeteksi oleh orang.
Itu yang kita benahi. Kemudian juga bagaimana peningkatan kapasitas dan kualitas sumber daya manusia (SDM) tenaga kependidikan, dosen, mahasiswa/i, riset, dan lain sebagainya. Jadi, dalam konteks inilah memang ini proyek kelanjutan tetapi memang ikhtiar besar.
Apa saja pesan dan amanah Menteri Agama untuk pengembangan, kemajuan, dan kontribusi UIN Jakarta baik di tingkat nasional maupun global?
Ada dua yang diamanatkan Menteri Agama, Gus Yaqut Cholil Qoumas secara konkret.
Pertama, secara insititusional supaya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi perguruan tinggi keagamaan Islam negeri berbadan hukum. Ini supaya kita punya kemampuan dan kemandirian karena itu akan menopang yang tadi saya jelaskan.
Yang kedua, supaya UIN Jakarta ini menjadi world class university, supaya recognize secara global. Nah, supaya di-recognize secara global tadi itulah yang tadi saya jelaskan bahwa keunikan-keunikan apa yang harus terus dikembangkan.
Integrasi Islam, sains, dan teknologi itulah yang harus terus, bukan islamisasi sains. Harus diingat ya, bukan islamisasi sains tapi mendialogkan berbagai pendekatan, berbagai disiplin ilmu diramu, sehingga ada suatu kesepahaman, ada suatu pemahaman, sehingga kita tidak totaly exclusive.
Mengapa UIN Jakarta di bawah kepemimpinan Bapak mendorong ke arah mewujudkan integrasi Islam, sains, dan teknologi?
Karena kan sebenarnya kita belum tergali ya dalam konteks apa sih khazanah Islam itu yang begitu dalam dan juga ini (Islam) menjadi spirit dan menjadi karakter. Kemudian, kita juga perlu memberikan nilai-nilai ilahiah kepada dunia ini, kepada alam ini.
Sekarang kan tidak sekadar emotional quotients dan intelligence quotient tapi juga harus ada spritual quotient. Nah, yang lebih penting, kita bagaimana membumikan Islam sehingga tidak dianggap bahwa Islam ini menjadi problem atau menjadi “biang kerok” kehidupan sosial.
Seberapa efektif lembaga pendidikan seperti UIN Jakarta menjadi jalan solusi tersebut karena di sisi lain tentu ada organisasi kemasyarakatan, dan lain-lain?
Betul, karena UIN ini kan menyiapkan intelektual, menyiapkan aktivis, menyiapkan juga enterpreneur, menyiapkan juga birokrat, menyiapkan juga politisi, dan lain-lain. Kalau mereka keluar dengan pemahaman terhadap Islam sangat kaku ataupun ekstrem, itu bahaya.
Nah, kalau ini kita tidak kelola dengan baik, berarti kita menyiapkan generasi yang akan menggerogoti Pancasila, menggerogoti Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Karena itulah, hadirnya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dari dulu, dari zamannya Harun Nasution, itu terkait dengan rasionalisme. Nah, UIN Jakarta menghadirkan perspektif yang bisa lebih komprehensif.
Sehingga, walaupun kita melihat dari depan dan belakang atau samping, maka punya kesimpulan yang sama. Apa itu? Islam for harmony, Islam for peace, Islam for freedom. Itulah konteksnya, arahnya ke sana.
Bagaimana Bapak menilai posisi Rektor yang memiliki otoritas “besar” dengan nilai-nilai latar belakang Bapak dari keluarga guru?
Kebahagiaan saya dalam saya menjabat sebagai Rektor ini, ada imajinasinya saya, ada obsesi, kemudian punya otoritas. Alhamdulillah. Saya ingin terbuka dan transparan. Tapi yang lebih penting, saya punya otoritas kebijakan. Saya pengen maju UIN Jakarta ini. Ya Allah semoga diridhoi, saya ingin memperbaiki ini.
Wakaf saya sebagai Rektor adalah membuat kebijakan untuk kepentingan kemajuan UIN Jakarta. Setiap wakaf itu akan dicatat kebaikannya. Semua yang kita miliki nisbi semua. Maksud saya, kebaikan yang terbaik adalah membahagiakan orang, menyenangkan orang. Itulah yang saya bangun sebagai Rektor. Dalam arti, jabatan sebagai Rektor kan enggak lama. Hidup kan juga sementara, apalah arti hidup ini. Hidup ini kan “mazro’atul akhiroh”, hidup ini sebagai ladang berbuat baik untuk akhirat.
Pengalaman hidup saya yang guru, orang tua saya ya guru. Jadi, dedikasinya mengajar kepada masyarakat, kehidupannya juga tidak ada yang bergaya dan berlebihan seperti yang lain. Mungkin juga itu sebagai doa dari mereka ya untuk saya. Artinya, bagi saya ya mudah-mudahan diberikan umur panjang, kesehatan, dan kemampuan untuk berdedikasi melakukan perbaikan dan pengembangan untuk kemajuan UIN Jakarta.
Bagaimana cara UIN Jakarta untuk menyelaraskan Islam, sains, dan teknologi?
Yang memang harus selalu ditekankan adalah dalam sistem kurikulum kita. Contoh, apa sih basic knowledge yang harus dikuasai mahasiswa/i? Misalnya mahasiswa/i Fakultas Kedokteran di dalam konteks integrasi tadi? Tentu bukan berarti Islam itu nyuntik pasien itu beda, kan sama saja nyuntiknya.
Ketika dia nyuntik, bahwa ini (pasien) adalah human, tujuan kita adalah menyelamatkan nyawa manusia, dan itu adalah ibadah, itu adalah perintah Tuhan, maka inilah sebagai sebuah humanity. Sehingga, dia paham bahwa dasar-dasar tentang kedokteran itu dan natural science jalan, tetapi kita memperlakukan dia (pasien) dalam konteks humanity.
Di ekonomi juga sama kan. Ketika kita menyebut korupsi, dia korupsi itu kan bukan karena dia tidak paham, padahal itu kan sudah ada (larangan) dalam Islam. Di dalam Islam kan disebutkan bahwa ini harus ada kestabilan dalam harta, harus ada distribusi.
Maka itu, harus ada transparansi dan sebagainya. Islam mengajarkan itu. Bukan berarti secara tekstual disebutkan begini, enggak lagi begitu. Jadi, tidak secara doktrinal tetapi sudah menyatu. Tetapi itu menjadi tindakan yang sudah membaur dan menjadi nilai-nilai.
Selain integrasi Islam, sains, dan teknologi melalui kurikulum, apa cara lain yang ditempuh UIN Jakarta?
Tentu kalau kita menyebutkan kurikulum kan itu terkait dengan semua aktivitas ya, apakah itu di dalam dan di luar kelas.
Kemudian juga tentu risetnya kita kembangkan dan tingkatan, misalnya bagaimana mendialogkan ke kampus-kampus di dalam dan di luar negeri untuk itu. Sehingga, ada program yang alumni doktor ini kita postdoctoral-kan. Misalnya, yang doktor dari Barat itu postdoctoral-kan di Mesir dan yang dari Mesir, kita postdoctoral-kan di Barat. Itu supaya balancing, integrasi.
Bagaimana upaya UIN Jakarta mengembangkan dan meningkatkan kualitas mahasiswi/i maupun untuk peningkatan mutu lulusan UIN Jakarta agar semakin berdaya saing dan perannya menguat di level nasional dan global?
Tentu secara terprogram, tentu kurikulum untuk penyiapan skill-nya. Selain itu ada lagi dua hal yang harus kita siapkan, yaitu pengetahuan bagaimana dia merespon pasar kerja dan juga kita menyiapkan mentality atau karakter. Itulah kerja sama-kerja sama yang sudah kita bangun dan akan kita perkuat lagi.
Selain itu, dia harus juga mengenal organisasi kemasyarakatan dong, apakah itu Muhammadiyah, apakah itu Nahdlatul Ulama, Al Washliyah, dan lain sebagainya. Kemudian, dia juga harus mengenal bagaimana penanganan lingkungan, bagaimana penanganan terhadap sosial, bagaimana penanganan terhadap kemiskinan, dan lain sebagainya.
Itulah yang secara karakter yang harus kita dekatkan mahasiswa dalam konteks itu. Bukan hanya menyiapkan dia untuk kerja. Kemudian tentu juga kita mendekatkan mereka terhadap Sustainable Deveopment Goals (SDGs), kepekaan untuk misalnya tentang kesehatan walaupun itu orang (mahasiswa/i) Fakultas Syariah dan Hukum. Jadi, mereka harus mengenal. Sehingga yang saya katakan tadi, kita itu sinergi sudah lintas ilmu. Lintas ilmu sinerginya.
Kita harus menyiapkan segalanya, bukan hanya sekadar keilmuan. Kita siapkan skill, kepekaan lingkungan, karakter. Tentu untuk itu kita berinteraksi dan bekerja sama dengan lembaga-lembaga di dalam negeri dan luar negeri. Maka itu, kita lakukan kuliah kerja nyata (KKN) luar negeri, KKN di BUMN, KKN di berbagai lembaga hukum, KKN di DPR, dan sebagainya.
Mahasiswa/i yang generasi Z dan generasi milenial kan punya passion yang beragam, namun kita harus menyajikannya atau harus kita menyiapkan “menu”-nya. Nah, untuk itu, kita melakukan survei. Kita survei apa sih sebenarnya kebutuhan mahasiswa, misalnya apa sih yang di Fakultas Sains dan Teknologi, apa sih yang Fakultas Syariah dan Hukum, dan fakultas-fakultas lainnya.
Banyak pihak menyebutkan bahwa lulusan perguruan tinggi di Indonesia tidak siap pakai dan ini berbeda dengan lulusan perguruan tinggi luar negeri yang siap pakai. Bagaimana Bapak melihat hal tersebut dan akan seperti apa UIN Jakarta nantinya?
Nah, kami sekarang mengembangkan dan mensinergikan apa yang ada di UIN Jakarta ini yaitu Career Center. Jadi, kita punya lembaga untuk itu tadi. Kita "shoping" dulu, shoping job, shoping opportunity ke berbagai pihak, apakah itu ke lembaga internasional, perusahaan-perusahaan, dan lain sebagainya.
Career Center sudah ada dua tahun tapi akan kita kembangkan lagi. Kita akan perkuat kembali. Sekarang Career Center ini ada gedungnya yang ada di sekitar Kampus 2, sebelumnya itu enggak ada. Career Center ini punya kerja sama dan punya channeling untuk apa yang dibutuhkan. Sehingga, ini akan kita akan memolakan untuk bagaimana mendinamisasikan di dalam kurikulum. Kurikulum yang memang dibutuhkan.
Di samping, Career Center juga menyediakan job fair kan. Jadi, kita kerja sama dengan lembaga-lembaga, perusahaan-perusahaan termasuk BUMN, maupun lembaga dan perusahaan luar negeri, untuk mahasiswa. Karena, mahasiswa kan juga mau kerja bukan hanya di dunia lembaga yang kaku, kadang juga dia mau jadi volunteer kan, senang aktif di lembaga non-government, dan lain-lain.
Bagaimana tindakan UIN Jakarta untuk meningkatkan kualitas para dosen dan guru besar serta hak paten dan kekayaan intelektual dosen, guru besar, maupun peneliti UIN Jakarta?
Betul, itu juga kita akan lakukan. Ada beberapa varian dalam memperkuat dosen sehingga dia tidak lagi eksklusif, dia harus berkreasi. Nah, untuk di dosen juga memang yang harus kita sadarkan dari budaya akademik dulu.
Dosen ini kan merasa eksklusif sebagai akademisi elit dan dia kurang berinteraksi dengan mahasiswa. Padahal resources atau sumber publikasi keilmuan itu mahasiswa. Nah, itu tidak terbangun selama ini. Makanya kita ingin sadarkan dulu bagaimana dosen berkolaborasi dengan mahasiswa.
Akhirnya kemudian kita akan wajibkan dosen menulis suatu publikasi di dalam riset, wajib harus ada co-partner dari mahasiswa. Kita paksa tetapi juga kita pantau bukan hanya mempekerjakan mahasiswa. Saya sebagai Rektor ingin mengingatkan. Nah, itu academic culture ya dari sisi harus kolaborasi dosen dan mahasiswa.
Yang kedua, academic culture itu integritas. Dalam arti integritas akademik, ini karya dia yang dia baca dari sumber utama atau copy-paste, atau seperti apa. Ini kan enggak gampang. Jadi, ini untuk menghindari plagiat. Kalau plagiat kan itu salah satu bentuk dari korupsi juga kan yakni korupsi akademik. Jadi, kita perkuat integritas akademik.
Yang selanjutnya, tentu kita ada reward untuk menyemangati bagi siapa yang dapat paten atau hak cipta ataupun publikasi. Kita kasih reward misalnya ada postdoctoral, ada berupa uang, dan sebagainya untuk membangun kelanjutan dosennya.
Untuk yang itu tentu ada kolaborasi dan kerja sama guru besar, dosen, dan sebagainya dengan dunia internasional, sehingga dia terhubungkan dengan keilmuan, misalnya apakah nanti dia visit ke sana, konferensi, seminar, dan lain sebagainya.
Berikutnya masalah sitasi, untuk sitasi ini kita akan hubungkan supaya ada rekognisi internasional. Selain reward, tentu punishment juga ada kalau dia tidak mencapai dan mengerjakan apa-apa, serta kami melakukan pendampingan terhadap dosen dan bukan dibiarkan. Untuk pendamping itu kita hadirkan expert lain.
Apakah ada program penataaan ruang untuk UIN Jakarta?
Nah, UIN Jakarta ini akan saya buat green campus nih, sehingga ini bebas asap lah. Meskipun saya Rektor, saya akan parkir di sana (di tempat lain) dan bukan di sini. Kalau ada yang mau parkir di dalam kampus, boleh, tapi mobil listrik lho. Tentu agenda saya pertama, saya rapihkan dulu bagian muka kampus ini, make up bagian muka diperbaiki.
Kenapa saya ingin membuat UIN Jakarta sebagai green campus? Kampus kita kan kecil, ya suasananya harus nyaman dan make up-nya harus diperbaiki. Sudah saya undang itu ahli landscape dan tata ruang untuk bagaimana mewujudkan. Belum lagi terkait lingkungannya kan, misalnya pembuangan airnya. Kemudian, nanti ada videotron, jadi jangan pakai spanduk lagi. Nah, karena kita ingin mewujudkan world class university maka ya kita harus berubah.
(mpw)