Kemenkes: 32% Siswa Tak Punya Akses Belajar di Rumah Selama PSBB
loading...
A
A
A
JAKARTA - Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dr Fidiansjah mengatakan, sebanyak 32% siswa tidak punya akses untuk proses belajar di rumah selama masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam rangka mencegah penyebaran virus Corona (Covid-19) .
(Baca juga: Update, 795 WNI di Luar Negeri Sembuh dari Covid-19)
"Kita dapatkan dari salah satu lembaga masyarakat, Wahana Visi Indonesia menggambarkan, selama proses belajar yang ada di dalam masa PSBB ini, itu hanya sekitar 68% punya akses terhadap jaringan dari itu sendiri. Berarti 32% tidak mendapatkan sarana tersebut," kata Fidiansjah dalam diskusi di Media Center Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Graha BNPB, Jakarta, Senin (20/7/2020).
Fidiansjah mengatakan, dampaknya apa? "Dia harus mengalami proses belajar sendiri. Dan itu menimbulkan sesuatu dampak 37% anak tidak bisa mengetahui waktu belajar, karena tadinya rutin belajar lalu dia harus belajar mandiri," ucapnya.
Lalu kata Fidiansjah, sebanyak 30% anak kesulitan memahami pelajaran yang diberikan oleh guru. "Bahkan 20% anak tidak memahami instruksi guru berdasarkan proses belajar daring," tuturnya. (Baca juga: DPR Minta Kemlu Maksimalkan Diplomasi dalam Penanggulangan Covid-19)
Dari data ini kata Fidiansjah, PSBB mempengaruhi psikologis anak. "Nah dampak psikososial juga sesuatu yang mengkhawatirkan ada 47% anak bosan tinggal di rumah tadi dan kemudian 35% anak khawatir akan ketinggalan pelajaran karena tidak seperti biasa dia mengikuti pelajarannya," jelasnya.
Bahkan menurut dia, sebanyak 34% anak merasa takut terkena Covid-19 walaupun sudah berada di rumah. "Dan 2% merindukan ketemu dengan teman-temannya. Dan 10% anak merasa khawatir tentang penghasilan orang tua. Jadi dia juga ikut berpikir," ujarnya.
Selain itu Fidiansjah menyebutkan, data-data menyebutkan 11% anak mengalami keresahan fisik. "Karena tadi proses belajar mengajar yang tentu tidak lazim. Dan 60% anak mengalami kekerasan verbal. Jadi itu menggambarkan betapa tinggi persoalan kesehatan jiwa pada anak remaja pada periode ini kalau tidak diantisipasi dengan cepat," jelasnya.
(Baca juga: Update, 795 WNI di Luar Negeri Sembuh dari Covid-19)
"Kita dapatkan dari salah satu lembaga masyarakat, Wahana Visi Indonesia menggambarkan, selama proses belajar yang ada di dalam masa PSBB ini, itu hanya sekitar 68% punya akses terhadap jaringan dari itu sendiri. Berarti 32% tidak mendapatkan sarana tersebut," kata Fidiansjah dalam diskusi di Media Center Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Graha BNPB, Jakarta, Senin (20/7/2020).
Fidiansjah mengatakan, dampaknya apa? "Dia harus mengalami proses belajar sendiri. Dan itu menimbulkan sesuatu dampak 37% anak tidak bisa mengetahui waktu belajar, karena tadinya rutin belajar lalu dia harus belajar mandiri," ucapnya.
Lalu kata Fidiansjah, sebanyak 30% anak kesulitan memahami pelajaran yang diberikan oleh guru. "Bahkan 20% anak tidak memahami instruksi guru berdasarkan proses belajar daring," tuturnya. (Baca juga: DPR Minta Kemlu Maksimalkan Diplomasi dalam Penanggulangan Covid-19)
Dari data ini kata Fidiansjah, PSBB mempengaruhi psikologis anak. "Nah dampak psikososial juga sesuatu yang mengkhawatirkan ada 47% anak bosan tinggal di rumah tadi dan kemudian 35% anak khawatir akan ketinggalan pelajaran karena tidak seperti biasa dia mengikuti pelajarannya," jelasnya.
Bahkan menurut dia, sebanyak 34% anak merasa takut terkena Covid-19 walaupun sudah berada di rumah. "Dan 2% merindukan ketemu dengan teman-temannya. Dan 10% anak merasa khawatir tentang penghasilan orang tua. Jadi dia juga ikut berpikir," ujarnya.
Selain itu Fidiansjah menyebutkan, data-data menyebutkan 11% anak mengalami keresahan fisik. "Karena tadi proses belajar mengajar yang tentu tidak lazim. Dan 60% anak mengalami kekerasan verbal. Jadi itu menggambarkan betapa tinggi persoalan kesehatan jiwa pada anak remaja pada periode ini kalau tidak diantisipasi dengan cepat," jelasnya.
(maf)