Sanksi Pidana UU Sisdiknas Dihapus, Praktik Jual Beli Ijazah Bisa Marak
loading...
A
A
A
BANDUNG - Penghapusan pasal pidana dalam Undang-Undang (UU) Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menyusul masuknya undang-undang pendidikan tersebut ke dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja menuai kekhawatiran.
Anggota Komisi X DPR RI dari daerah pemilihan (dapil) Kota Bandung dan Kota Cimahi, Ledia Hanifa Amaliah menilai, penghapusan pasal pidana dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 itu bakal memunculkan ketidakpastian hukum, khususnya terhadap penyelenggaraan pendidikan.
Dia menyebutkan, beberapa pasal dari UU Sisdiknas yang dihapus di dalam RUU Cipta Kerja adalah pasal 67-69 terkait sanksi pidana. Padahal, kata Ledia, pasal 2 RUU Cipta Kerja sendiri menjelaskan bahwa asas RUU tersebut salah satunya adalah kepastian hukum. (Baca juga: Insentif Tenaga Medis Belum Cair, DPR Kritik Lambannya Verifikasi Menkeu )
"Penghapusan pasal-pasal terkait sanksi pidana dari UU Sisdiknas justru telah memunculkan ketidakpastian hukum," tegas Ledia di Bandung, Kamis (23/7/2020).
Pasal 67-69 UU Sidiknas yang dihapus dalam RUU Cipta Kerja itu, lanjut Ledia, meliputi sanksi pidana bagi lembaga pendidikan yang mengeluarkan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi tanpa hak.
Selain itu, memberikan sebutan guru besar atau profesor tanpa kesesuaian ketentuan, lembaga pendidikan yang berjalan ilegal hingga perseorangan yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi serta gelar tanpa memenuhi ketentuan persyaratan. (Baca juga: Reses, DPR Ngebut Rapat Bahas RUU Cipta Kerja )
"Kita patut khawatir, dengan adanya penghapusan pasal sanksi pidana ini, praktik jual beli ijazah, jual beli gelar, penggunaan ijazah palsu dan penyelenggaraan kampus ilegal akan semakin marak," katanya.
Apalagi, tambah Ledia, tidak lama lagi, ajang pemilihan kepala daerah (pilkada) akan digelar yang disusul pemilihan legislatif (pileg).
"Beberapa kali kita berhadapan dengan kasus ijazah palsu atau ilegal. Karenanya, menjadi rawan terulang temuan-temuan kasus seperti ini," imbuhnya.
Pasalnya, lanjut Ledia, sertifikat dan gelar akademik memang menjadi salah satu syarat dalam kontestasi calon kepala daerah, termasuk calon anggota legislatif. Selain itu, juga menjadi syarat dalam penerimaan kepegawaian baik pegawai negeri, BUMN maupun swasta.
Meski praktik-praktik bodong semacam itu bisa jadi tidak bisa sepenuhnya hilang, Namun Ledia meyakini bahwa adanya sanksi pidana telah memberikan kepastian hukum pada masyarakat bahwa hal tersebut tertolak dan melanggar hukum.
"Kepastian hukum terkait pelanggaran dalam soal pemberian maupun penggunaan ijazah, sertifikat akademik, serta gelar ilegar juga berguna untuk meningkatkan kualitas SDM (sumber daya manusia) bangsa kita yang tengah diusung menuju SDM Unggul berkarakter Pancasila. Karenanya, menjadi tidak masuk akal pasal terkait sanksi pidana ini justru yang dibidik oleh pemerintah untuk dihapuskan," tandasnya.
Anggota Komisi X DPR RI dari daerah pemilihan (dapil) Kota Bandung dan Kota Cimahi, Ledia Hanifa Amaliah menilai, penghapusan pasal pidana dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 itu bakal memunculkan ketidakpastian hukum, khususnya terhadap penyelenggaraan pendidikan.
Dia menyebutkan, beberapa pasal dari UU Sisdiknas yang dihapus di dalam RUU Cipta Kerja adalah pasal 67-69 terkait sanksi pidana. Padahal, kata Ledia, pasal 2 RUU Cipta Kerja sendiri menjelaskan bahwa asas RUU tersebut salah satunya adalah kepastian hukum. (Baca juga: Insentif Tenaga Medis Belum Cair, DPR Kritik Lambannya Verifikasi Menkeu )
"Penghapusan pasal-pasal terkait sanksi pidana dari UU Sisdiknas justru telah memunculkan ketidakpastian hukum," tegas Ledia di Bandung, Kamis (23/7/2020).
Pasal 67-69 UU Sidiknas yang dihapus dalam RUU Cipta Kerja itu, lanjut Ledia, meliputi sanksi pidana bagi lembaga pendidikan yang mengeluarkan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi tanpa hak.
Selain itu, memberikan sebutan guru besar atau profesor tanpa kesesuaian ketentuan, lembaga pendidikan yang berjalan ilegal hingga perseorangan yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi serta gelar tanpa memenuhi ketentuan persyaratan. (Baca juga: Reses, DPR Ngebut Rapat Bahas RUU Cipta Kerja )
"Kita patut khawatir, dengan adanya penghapusan pasal sanksi pidana ini, praktik jual beli ijazah, jual beli gelar, penggunaan ijazah palsu dan penyelenggaraan kampus ilegal akan semakin marak," katanya.
Apalagi, tambah Ledia, tidak lama lagi, ajang pemilihan kepala daerah (pilkada) akan digelar yang disusul pemilihan legislatif (pileg).
"Beberapa kali kita berhadapan dengan kasus ijazah palsu atau ilegal. Karenanya, menjadi rawan terulang temuan-temuan kasus seperti ini," imbuhnya.
Pasalnya, lanjut Ledia, sertifikat dan gelar akademik memang menjadi salah satu syarat dalam kontestasi calon kepala daerah, termasuk calon anggota legislatif. Selain itu, juga menjadi syarat dalam penerimaan kepegawaian baik pegawai negeri, BUMN maupun swasta.
Meski praktik-praktik bodong semacam itu bisa jadi tidak bisa sepenuhnya hilang, Namun Ledia meyakini bahwa adanya sanksi pidana telah memberikan kepastian hukum pada masyarakat bahwa hal tersebut tertolak dan melanggar hukum.
"Kepastian hukum terkait pelanggaran dalam soal pemberian maupun penggunaan ijazah, sertifikat akademik, serta gelar ilegar juga berguna untuk meningkatkan kualitas SDM (sumber daya manusia) bangsa kita yang tengah diusung menuju SDM Unggul berkarakter Pancasila. Karenanya, menjadi tidak masuk akal pasal terkait sanksi pidana ini justru yang dibidik oleh pemerintah untuk dihapuskan," tandasnya.
(mpw)