Begini Penjelasan Ilmiah Bahayanya Pemeliharaan Satwa Liar oleh Perseorangan dari Profesor IPB
loading...
A
A
A
JAKARTA - Guru Besar IPB University Prof Ronny Rachman menyampaikan pendapatnya mengenai apa dampak pemeliharaan satwa liar oleh perseorangan. Ada efek mengerikan bagi hewan yang dipelihara di luar habitatnya itu.
Prof Ronny menjelaskan, dari segi psikologi maupun fisiologi, pada umumnya satwa liar yang ditangkap dan dipindahkan ke lingkungan baru yang bukan merupakan habitat aslinya dapat dipastikan akan mengalami stres.
Stres yang terjadi pada satwa, menurut Guru Besar IPB University dari Fakultas Peternakan, dapat menyebabkan fenomena perubahan ekstrim metabolisme dan fisiologi di dalam tubuhnya.
“Bagi orang awam, satwa liar yang dipelihara oleh perorangan maupun oleh lembaga seperti kebun binatang maupun taman safari dinilai sebagai bentuk perlindungan terhadap satwa liar. Namun, pada kenyataanya pembatasan gerak menjadi salah satu faktor pemicu stres dan kematian,” ujarnya, melalui siaran pers, Jumat (4/8/2023).
Baca juga: Unair Pertahankan Posisi Top 5 Kampus Terbaik di Indonesia Versi Webometrics 2023
Menurutnya, konsep konservasi melalui pemeliharaan satwa langka di kebun binatang, termasuk pemeliharaan yang dilakukan oleh perorangan, sudah banyak ditinggalkan dalam ilmu konservasi modern, terlebih yang menerapkan sistem pengandangan, karena pembatasan ruang gerak akan memicu stres.
Dia menggarisbawahi, konsep konservasi in situ seperti pemeliharaan satwa langka di suaka margasatwa dan taman konservasi dinilai yang paling tepat, walaupun memerlukan biaya yang tinggi.
Pakar Genetika Ekologi IPB University memberi gambaran, harimau Sumatera di alam memiliki daya jelajah yang cukup luas (puluhan dan bahkan ratusan kilometer persegi untuk setiap ekornya). Dengan demikian, paling tidak memerlukan tempat pemeliharaan yang cukup luas pula di tempat penampungan barunya.
Menurutnya, setiap hewan termasuk satwa langka memiliki zona homeostasis (zona ideal di mana hewan dapat tumbuh dan bereproduksi) untuk setiap kondisi fisiologi tubuhnya.
Baca juga: Ini Dokumen yang Dibutuhkan untuk Daftar Beasiswa Unggulan 2023, Catat Ya
"Jika terjadi perubahan lingkungan yang drastis, maka satwa langka akan berusaha mengembalikan dirinya dari kondisi fisiologis ke kondisi yang mendekati zona homeostasisnya dengan cara mengalokasikan energi dan berbagai sumber daya lain di dalam tubuhnya,” ucapnya.
Akibatnya, lanjut dia, pengalihan energi dan sumber daya pada tubuh satwa liar berefek terhadap defisitnya energi dan sumber daya untuk kebutuhan lain, seperti untuk kebutuhan hidup pokok (basal/fasting metabolic rate). Biasanya hal itu juga akan mengorbankan pertumbuhan dan perkembangan tubuhnya.
Jika stres ini tetap berlanjut, maka satwa langka akan mengorbankan alokasi energi dan sumber daya lainnya lebih banyak untuk mengatasi stres. Kondisi itu akan berakibat satwa langka tidak dapat bereproduksi.
"Bahkan, pada tahap satwa liar tidak dapat mengatasi stres yang lebih besar lagi, maka satwa langka akan mati,” pungkas Prof Ronny.
Lihat Juga: IPB Peringkat 1 ASEAN Kriteria Environmental Education di QS Sustainability Ranking 2025
Prof Ronny menjelaskan, dari segi psikologi maupun fisiologi, pada umumnya satwa liar yang ditangkap dan dipindahkan ke lingkungan baru yang bukan merupakan habitat aslinya dapat dipastikan akan mengalami stres.
Stres yang terjadi pada satwa, menurut Guru Besar IPB University dari Fakultas Peternakan, dapat menyebabkan fenomena perubahan ekstrim metabolisme dan fisiologi di dalam tubuhnya.
“Bagi orang awam, satwa liar yang dipelihara oleh perorangan maupun oleh lembaga seperti kebun binatang maupun taman safari dinilai sebagai bentuk perlindungan terhadap satwa liar. Namun, pada kenyataanya pembatasan gerak menjadi salah satu faktor pemicu stres dan kematian,” ujarnya, melalui siaran pers, Jumat (4/8/2023).
Baca juga: Unair Pertahankan Posisi Top 5 Kampus Terbaik di Indonesia Versi Webometrics 2023
Menurutnya, konsep konservasi melalui pemeliharaan satwa langka di kebun binatang, termasuk pemeliharaan yang dilakukan oleh perorangan, sudah banyak ditinggalkan dalam ilmu konservasi modern, terlebih yang menerapkan sistem pengandangan, karena pembatasan ruang gerak akan memicu stres.
Dia menggarisbawahi, konsep konservasi in situ seperti pemeliharaan satwa langka di suaka margasatwa dan taman konservasi dinilai yang paling tepat, walaupun memerlukan biaya yang tinggi.
Pakar Genetika Ekologi IPB University memberi gambaran, harimau Sumatera di alam memiliki daya jelajah yang cukup luas (puluhan dan bahkan ratusan kilometer persegi untuk setiap ekornya). Dengan demikian, paling tidak memerlukan tempat pemeliharaan yang cukup luas pula di tempat penampungan barunya.
Menurutnya, setiap hewan termasuk satwa langka memiliki zona homeostasis (zona ideal di mana hewan dapat tumbuh dan bereproduksi) untuk setiap kondisi fisiologi tubuhnya.
Baca juga: Ini Dokumen yang Dibutuhkan untuk Daftar Beasiswa Unggulan 2023, Catat Ya
"Jika terjadi perubahan lingkungan yang drastis, maka satwa langka akan berusaha mengembalikan dirinya dari kondisi fisiologis ke kondisi yang mendekati zona homeostasisnya dengan cara mengalokasikan energi dan berbagai sumber daya lain di dalam tubuhnya,” ucapnya.
Akibatnya, lanjut dia, pengalihan energi dan sumber daya pada tubuh satwa liar berefek terhadap defisitnya energi dan sumber daya untuk kebutuhan lain, seperti untuk kebutuhan hidup pokok (basal/fasting metabolic rate). Biasanya hal itu juga akan mengorbankan pertumbuhan dan perkembangan tubuhnya.
Jika stres ini tetap berlanjut, maka satwa langka akan mengorbankan alokasi energi dan sumber daya lainnya lebih banyak untuk mengatasi stres. Kondisi itu akan berakibat satwa langka tidak dapat bereproduksi.
"Bahkan, pada tahap satwa liar tidak dapat mengatasi stres yang lebih besar lagi, maka satwa langka akan mati,” pungkas Prof Ronny.
Lihat Juga: IPB Peringkat 1 ASEAN Kriteria Environmental Education di QS Sustainability Ranking 2025
(nnz)