Pertama di Indonesia, Doktor ITS Gagas Algoritma Deteksi Lokasi Epilepsi pada Otak
loading...
A
A
A
Dwi menerangkan, proses yang dinamakan Image Segmentation itu berlanjut pada Mesh Generation guna mendistribusikan sinyal EEG menjadi ribuan titik. Hal itu dilakukan untuk lebih memastikan posisi dan koordinat otak. Setelah itu dilakukan penyesuaian kembali titik dengan volume otak pada proses yang dinamakan Boundary Element Model (BEM). “Jadilah titik tersebut akan membentuk otak manusia sesuai dengan posisi dan ukurannya,” ungkapnya.
Selanjutnya, imbuh alumnus Teknik Komputer ITS ini, titik yang merupakan representasi dari sinyal frekuensi pada otak itu kemudian dihitung channel average untuk mendapatkan nilai frekuensi yang tepat dalam membuktikan keberadaan sinyal IED. Segmentasi otak dari MRI dan titik keberadaan IED dari data EEG lalu diintegrasikan pada aplikasi topography map untuk menggambarkan pergerakan energi tiap detiknya atau yang disebut dengan Source Time Courses (STCS).
Lelaki asal Surabaya itu menjelaskan, proses beranjak ke parselisasi, yaitu pemetaan pada area otak. Apabila pemetaan sudah teridentifikasi, maka dilakukan transformasi STCS ke volume space untuk menentukan koordinat titik IED yang lebih tepat. Penelitian yang dikemas dalam algoritma otomatis EEG ini pun menunjukkan hasil yang sesuai dengan diagnosa lokasi epilepsi oleh dokter neurologi dan ahli bedah dari RSUD dr Soetomo, Surabaya.
Hal itu pun membuat lelaki berusia 52 tahun ini dapat menyelesaikan studi S3-nya tepat waktu dan menciptakan inovasi yang sebelumnya belum pernah ada di Indonesia. Melalui penelitian disertasinya ini, Dwi berharap agar algoritma yang diciptakan dapat diimplementasikan lebih lanjut pada bidang kedokteran. Sebab nyawa manusia merupakan taruhan apabila terjadi sedikit kesalahan pada diagnosa titik koordinat IED yang menyebabkan epilepsi.
Selanjutnya, imbuh alumnus Teknik Komputer ITS ini, titik yang merupakan representasi dari sinyal frekuensi pada otak itu kemudian dihitung channel average untuk mendapatkan nilai frekuensi yang tepat dalam membuktikan keberadaan sinyal IED. Segmentasi otak dari MRI dan titik keberadaan IED dari data EEG lalu diintegrasikan pada aplikasi topography map untuk menggambarkan pergerakan energi tiap detiknya atau yang disebut dengan Source Time Courses (STCS).
Lelaki asal Surabaya itu menjelaskan, proses beranjak ke parselisasi, yaitu pemetaan pada area otak. Apabila pemetaan sudah teridentifikasi, maka dilakukan transformasi STCS ke volume space untuk menentukan koordinat titik IED yang lebih tepat. Penelitian yang dikemas dalam algoritma otomatis EEG ini pun menunjukkan hasil yang sesuai dengan diagnosa lokasi epilepsi oleh dokter neurologi dan ahli bedah dari RSUD dr Soetomo, Surabaya.
Hal itu pun membuat lelaki berusia 52 tahun ini dapat menyelesaikan studi S3-nya tepat waktu dan menciptakan inovasi yang sebelumnya belum pernah ada di Indonesia. Melalui penelitian disertasinya ini, Dwi berharap agar algoritma yang diciptakan dapat diimplementasikan lebih lanjut pada bidang kedokteran. Sebab nyawa manusia merupakan taruhan apabila terjadi sedikit kesalahan pada diagnosa titik koordinat IED yang menyebabkan epilepsi.
(nnz)