Lulusan Perkuliahan Masih Mendominasi Lapangan Pekerjaan di Perkotaan

Selasa, 26 September 2023 - 14:55 WIB
loading...
Lulusan Perkuliahan...
Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut 75,63 persen lulusan perguruan tinggi lebih memilih bekerja di perkotaan. Foto/Shutterstock.
A A A
JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut 75,63 persen lulusan perguruan tinggi lebih memilih bekerja di perkotaan daripada perdesaan. Sedangkan sektor pertanian malah mengalami penurunan.

Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Prof. Drs. Anwar Sanusi mengatakan, perguruan tinggi memiliki peran penting dalam ketenagakerjaan, karena konsekuensi setelah lulus perkuliahan adalah masuk ke dunia kerja.

"Data kami di sini menyatakan lulusan perkuliahan masih mendominasi lapangan pekerjaan di perkotaan. Artinya, mereka yang sebetulnya dari desa, dan diberikan kesempatan pendidikan ke kota, jarang kembali lagi ke desanya," katanya dikutip dari laman UGM, Selasa (26/9/2023).

"Nah kami berkomitmen untuk menjadikan desa ini sebagai pusat-pusat ekonomi, sehingga terjadi relasi antara desa dan perkotaan,” ungkapnya dalam acara Sharing Session Keluarga Fisipol Gadjah Mada (Kafgama) 88 bertajuk “Post-Grad Transition: Persiapan Menghadapi Dunia Kerja”.

Baca juga: 10 Jurusan Teknik Ini Berpeluang Gampang Dilirik HRD Perusahaan Besar, Sangat Menjanjikan

Sebanyak 75,63% lulusan universitas memilih bekerja di perkotaan pada data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023. Hal ini tentu berimplikasi pada program pengembangan desa oleh pemerintah yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Bahkan, jika dilihat dalam konteks segmentasi jenis pekerjaannya, 86,91% pekerja berpendidikan tinggi hanya tersebar di sektor formal tersier, seperti bidang perdagangan dan jasa. Sedangkan sektor primer, seperti pertanian yang justru menjadi tumpuan kesejahteraan masyarakat dari segi bahan pangan mengalami penurunan.

Anwar menyebutkan, terjadi de-agrikulturisasi dalam distribusi pekerja lulusan universitas. Jika terus dibiarkan, produksi pangan dikhawatirkan melemah dan krisis pangan akan terjadi.

“Data ini kalau diagregatkan dengan seluruh data ketenagakerjaan sebenarnya agak berbeda. Mayoritas masyarakat banyak yang bekerja di sektor informal, terutama masyarakat pedesaan. Nah, mereka ini kelompok rentan karena tidak mendapat perlindungan dan hak-hak ketenagakerjaan. Tapi pengalaman ketika pandemi, sektor ini lebih bisa survive daripada sektor formal. Bahkan ketika sektor formal sedang tidak beroperasi,” ucap Anwar.

Selain itu, sektor sekunder yang sebenarnya memiliki potensi besar pun juga kurang diminati oleh lulusan perguruan tinggi. Anwar menekankan, contoh paling besar adalah dinamika di bidang pertanian, di mana intervensi dan program pengembangan yang dilakukan masih belum cukup untuk mengangkat potensi sektor pertanian desa.

Hambatan tersebut dinilai cukup berisiko dalam menghadapi bonus demografi penduduk di 2045, ketika 72% penduduk memasuki usia produktif. “Jepang itu sudah 49 tahun produktif. Artinya sedikit lagi, dia akan memasuki masa penduduk usia tua. Hanya sedikit yang produktif," ujarnya.

Baca juga: Kemenkeu Buka Lowongan PPPK 2023, Ini Jurusan Kuliah yang Dibutuhkan

"Nah, ini menjadi sebuah isu. Kalau kita bisa mengelola dengan baik akan menjadi berkah, kalau tidak akan menjadi musibah. Pertama, kalau seandainya periode keemasan ini bisa kita lakukan dengan baik, maka ketika dependency ratio ini meningkat, kita memiliki akumulasi saving yang cukup,” lanjutnya.

Selain segmentasi sektor pekerjaan dan produktivitas, isu ketenagakerjaan lain muncul jika melihat tren pekerjaan di kelompok gen Z. Saat ini berbagai sektor pekerjaan, khususnya perkantoran menerapkan sistem Digital Nomad atau WFA (Work From Anywhere).

Pekerja tidak dituntut untuk menetap di kantor, melainkan dibebaskan bekerja di mana saja selama terhubung dengan internet. Bahkan beberapa praktik dilakukan selama bertahun-tahun bekerja di luar kantor, lalu memutuskan tinggal di tempat tujuan tersebut. Metode ini banyak diminati oleh gen Z di sektor pekerjaan tersier perkotaan.

“Gen Z ini jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya, itu jauh. Mereka memiliki kemampuan digital knowledge yang luar biasa. Mereka juga memiliki literasi digital dan kemampuan bahasa asing yang lebih baik. Tapi mereka kelemahannya adalah ketidakloyalan," ungkapnya.

"Makanya konsep yang kita usung dalam ketenagakerjaan ini adalah paid based on hours. Ini yang sebenarnya mencoba diberikan oleh UU Ketenagakerjaan. Jadi, bukan melemahkan, tapi justru mengantisipasi ke depannya, bahwa nantinya pekerja tidak lagi dibayar sesuai upah bulanan, melainkan per jam,” tuturnya.

Penyesuaian sistem tersebut tentunya tidak bisa dilakukan secara cepat dan mudah, mengingat masyarakat sudah terbiasa dengan sistem upah bulanan. Tentunya, perlu adanya perumusan sistem yang lebih baik sesuai dengan kondisi yang ada.

Melalui langkah ini, sistem ketenagakerjaan diharapkan mampu membentuk masyarakat produktif yang mendapatkan jaminan penuh atas kesejahteraan dan hak-hak tenaga kerjanya.
(nnz)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2324 seconds (0.1#10.140)