Guru Besar UI Puji Ketegasan Indonesia Hadapi Manuver China di Perairan Natuna
loading...
A
A
A
JAKARTA - Guru Besar dan pakar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia (UI), Profesor Hikmahanto Juwana , Ph.D memuji tindakan Presiden Jokowi yang berani tegas terhadap Republik Rakyat China (RRC) meski Indonesia memiliki banyak hubungan ekonomi dengan China.
“Indonesia bersahabat dengan semua, sampai saat kedaulatan kita diganggu. Oleh karenanya, jangan ganggu kedaulatan dan hak berdaulatan Indonesia,” tutur Hikmahanto yang juga Rektor Universitas Jenderal Ahmad Yani dalam diskusi berjudul “Peta Baru China dan Ketegangan di Perairan Asia Tenggara” yang digelar Forum Sinologi Indonesia (FSI) di Jakarta, Kamis (28/9/2023)
Selain Hikmahanto, diskusi juga menghadirkan Ketua FSI Johanes Herlijanto, M.Si., Ph.D., yang juga dosen Universitas Pelita Harapan (UPH); dengan moderator Muhammad Farid, dosen program studi Hubungan Internasional pada President University, Cikarang yang juga Seketaris FSI.
Menanggapi dirilisnya peta baru RRC yang berisi klaim kepemilikan negara itu atas sebagian besar wilayah Laut China Selatan (LCS), termasuk wilayah ZEE Indonesia di perairan dekat Natuna, Hikmahanto mendukung pemerintah Indonesia untuk tetap konsisten menolak klaim RRC yang ditandai dengan garis putus putus itu.
“Sikap itu harus terus dipertahankan dengan melakukan tiga hal, pertama kita terus sampaikan bahwa sembilan garis putus putus RRC yang sekarang berkembang menjadi sepuluh itu tidak ada dan sebagai konsekuensinya, maka kita harus melakukan penegakan hukum bila nelayan RRC memasuki ZEE kita untuk mengambil ikan,” ujar pria yang kini tercatat sebagai Guru Besar Hukum Internasional di Fakultas Hukum UI ini dalam keterangan resmi, Kamis (28/9/2023)
Kedua, lanjut Hikmahanto, Indonesia harus melakukan pengabaian bila RRC melakukan protes atas upaya ekplorasi dan eksploitasi kekayaan alam kita di wilayah ZEE Indonesia. Dan ketiga, pemerintah Indonesia jangan pernah menginisiasi perundingan untuk wilayah yang tumpang tindih itu, karena di mata Indonesia, klaim kewilayahan RRC di Perairan Natuna Utara tidak ada,” tambahnya.
Hikmahanto juga menjelaskan bahwa klaim kepemilikan LCS oleh RRC yang ditandai dengan garis putus-putus itu merupakan klaim sepihak (unilateral) yang menurut mereka didasari oleh faktor sejarah. “Mereka berargumen bahwa nelayan-nelayan China pada masa lalu telah melakukan penangkapan ikan sampai ke wilayah yang ditandai oleh garis putus-putus itu,” jelasnya.
Menurut Prof Hik, panggilan akrab Hikmahanto, Indonesia pun pernah melakukan klaim unilateral, yang berdasarkan alasan keamanan yang dikenal sebagai “Deklarasi Djuanda.”. Berbeda dengan China saat ini, Indonesia memperjuangkan Deklarasi Djuanda melalui upaya diplomatik di forum-forum internasional sehingga sikap Indonesia diterima oleh komunitas internasional bahkan diakui dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS, Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut).
Berbeda dengan Indonesia, menurut Hikmahanto, RRC tidak berhasil membuat klaimnya memperoleh dukungan internasional. “Selain itu, klaim tersebut menjadi prematur karena direspons dengan protes oleh negara-negara yang wilayah kedaulatannya tumpang tindih dengan klaim China tersebut, seperti Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Brunei,” lanjutnya.
Profesor Hikmahanto juga menjelaskan bahwa berbeda dengan negara-negara di atas, Indonesia tidak memiliki klaim tumpang tindih kedaulatan dengan RRC. “Tetapi garis putus-putus RRC menerabas hak berdaulat Indonesia, yaitu perairan internasional yang menjadi ZEE kita di Perairan Natuna Utara. Jadi kalau RRC mengatakan bahwa mereka tidak ada masalah dengan kepemilikan Indonesia atas Kepulauan Natuna, kita tidak boleh terkecoh, karena memang yang mereka klaim adalah wilayah ZEE kita di perairan dekat kepulauan itu,” pungkasnya.
Hikmahanto menilai bahwa manuver RRC di wilayah LCS, termasuk di ZEE Indonesia di perairan Natuna, semakin hari semakin agresif. Menurutnya, ini karena semakin banyak penduduk RRC, negara itu semakin membutuhkan lebih banyak kekayaan alam, seperti migas dan lain lain.
Selain itu, kekuatan militer dan ekonomi RRC sekarang makin kuat. Oleh sebab itu mereka makin agresif. Ia menghimbau pemerintah Indonesia waspada terhadap makin agresif nya RRC di LCS, khususnya di ZEE Indonesia itu. “Klaim wilayah RRC jangan dianggap sekedar peta. Dalam hukum internasional, peta tersebut harus ditambahkan dengan kehadiran fisik. Itulah sebabnya RRC berupaya hadir di wilayah LCS, termasuk perairan dekat Natuna. Memang berdasarkan hukum internasional kapal perang mereka tidak boleh hadir, oleh karena itu, mereka mengirim nelayan nelayan mereka dengan dikawal oleh kapal-kapal penjaga pantai mereka,” tuturnya.
Senada dengan Hikmahanto, pembicara lainnya Johanes Herlijanto, juga mengapresiasi respons keras dari berbagai negara terhadap tindakan RRC yang menerbitkan peta yang menerabas wilayah berbagai negara itu. Pasalnya, tindakan RRC menerbitkan peta tersebut dapat diinterpretasikan sebagai upaya RRC untuk menegaskan bahwa negara itu tetap kukuh dengan klaim kewilayahannya itu.
“Ada beberapa interpretasi dari tindakan China di atas. Pertama adalah interpretasi versi China, yang mengatakan bahwa tindakan menerbitkan peta itu adalah tindakan rutin. Kedua adalah analisis yang mengatakan bahwa penerbitan peta tersebut dilakukan untuk kepentingan internal China, agar publik China melihat keseriusan pemerintah mempertahankan wilayah mereka,” lanjutnya.
Namun bagi Johanes, penerbitan peta itu utamanya harus dimaknai sebagai upaya China memberi signal pada negara-negara kawasan bahwa RRC masih tetap mempertahankan klaimnya di LCS dan beberapa wilayah lain. “Apalagi rilis peta tersebut dilakukan hanya hitungan hari sebelum negara-negara ASEAN melaksanakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Jakarta, dan negara-negara G20 melangsungkan KTT di India,” sambung Johanes
Seirama dengan Hikmahanto, Johanes juga menyatakan kekhawatiran bahwa kehadiran peta tersebut berpotensi untuk digunakan oleh China sebagai legitimasi bagi tindakan-tindakan negara itu di masa mendatang. “Kita harus belajar dari rilis peta RRC dengan sembilan garis putus-putus (nine dash line) pada 1993, yang pada awalnya tidak disertai dengan ketegangan-ketegangan militer, namun dalam sekitar satu dasawarsa terakhir menjadi arena yang tegang karena RRC melakukan berbagai manuver yang berbenturan dengan otoritas negara-negara Asia Tenggara, seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia,” tukasnya.
Menurut pemerhati masalah China dari Universitas Pelita Harapan (UPH) itu, selain menyatakan penolakan terhadap klaim garis putus-putus RRC di peta yang baru saja dirilis itu, Indonesia dan negara-negara lain yang menjadi anggota Asosiasi Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) harus menjalin kerja sama menghadapi RRC yang makin agresif itu.
Johanes menekankan pentingnya Indonesia dan negara-negara ASEAN terkait memperoleh dukungan internasional dalam menghadapi perilaku RRC itu. “Dan akhirnya, Indonesia harus meningkatkan kekuatannya baik dalam bidang ekonomi maupun militer,” pungkasnya.
“Indonesia bersahabat dengan semua, sampai saat kedaulatan kita diganggu. Oleh karenanya, jangan ganggu kedaulatan dan hak berdaulatan Indonesia,” tutur Hikmahanto yang juga Rektor Universitas Jenderal Ahmad Yani dalam diskusi berjudul “Peta Baru China dan Ketegangan di Perairan Asia Tenggara” yang digelar Forum Sinologi Indonesia (FSI) di Jakarta, Kamis (28/9/2023)
Selain Hikmahanto, diskusi juga menghadirkan Ketua FSI Johanes Herlijanto, M.Si., Ph.D., yang juga dosen Universitas Pelita Harapan (UPH); dengan moderator Muhammad Farid, dosen program studi Hubungan Internasional pada President University, Cikarang yang juga Seketaris FSI.
Menanggapi dirilisnya peta baru RRC yang berisi klaim kepemilikan negara itu atas sebagian besar wilayah Laut China Selatan (LCS), termasuk wilayah ZEE Indonesia di perairan dekat Natuna, Hikmahanto mendukung pemerintah Indonesia untuk tetap konsisten menolak klaim RRC yang ditandai dengan garis putus putus itu.
“Sikap itu harus terus dipertahankan dengan melakukan tiga hal, pertama kita terus sampaikan bahwa sembilan garis putus putus RRC yang sekarang berkembang menjadi sepuluh itu tidak ada dan sebagai konsekuensinya, maka kita harus melakukan penegakan hukum bila nelayan RRC memasuki ZEE kita untuk mengambil ikan,” ujar pria yang kini tercatat sebagai Guru Besar Hukum Internasional di Fakultas Hukum UI ini dalam keterangan resmi, Kamis (28/9/2023)
Kedua, lanjut Hikmahanto, Indonesia harus melakukan pengabaian bila RRC melakukan protes atas upaya ekplorasi dan eksploitasi kekayaan alam kita di wilayah ZEE Indonesia. Dan ketiga, pemerintah Indonesia jangan pernah menginisiasi perundingan untuk wilayah yang tumpang tindih itu, karena di mata Indonesia, klaim kewilayahan RRC di Perairan Natuna Utara tidak ada,” tambahnya.
Hikmahanto juga menjelaskan bahwa klaim kepemilikan LCS oleh RRC yang ditandai dengan garis putus-putus itu merupakan klaim sepihak (unilateral) yang menurut mereka didasari oleh faktor sejarah. “Mereka berargumen bahwa nelayan-nelayan China pada masa lalu telah melakukan penangkapan ikan sampai ke wilayah yang ditandai oleh garis putus-putus itu,” jelasnya.
Menurut Prof Hik, panggilan akrab Hikmahanto, Indonesia pun pernah melakukan klaim unilateral, yang berdasarkan alasan keamanan yang dikenal sebagai “Deklarasi Djuanda.”. Berbeda dengan China saat ini, Indonesia memperjuangkan Deklarasi Djuanda melalui upaya diplomatik di forum-forum internasional sehingga sikap Indonesia diterima oleh komunitas internasional bahkan diakui dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS, Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut).
Berbeda dengan Indonesia, menurut Hikmahanto, RRC tidak berhasil membuat klaimnya memperoleh dukungan internasional. “Selain itu, klaim tersebut menjadi prematur karena direspons dengan protes oleh negara-negara yang wilayah kedaulatannya tumpang tindih dengan klaim China tersebut, seperti Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Brunei,” lanjutnya.
Profesor Hikmahanto juga menjelaskan bahwa berbeda dengan negara-negara di atas, Indonesia tidak memiliki klaim tumpang tindih kedaulatan dengan RRC. “Tetapi garis putus-putus RRC menerabas hak berdaulat Indonesia, yaitu perairan internasional yang menjadi ZEE kita di Perairan Natuna Utara. Jadi kalau RRC mengatakan bahwa mereka tidak ada masalah dengan kepemilikan Indonesia atas Kepulauan Natuna, kita tidak boleh terkecoh, karena memang yang mereka klaim adalah wilayah ZEE kita di perairan dekat kepulauan itu,” pungkasnya.
Hikmahanto menilai bahwa manuver RRC di wilayah LCS, termasuk di ZEE Indonesia di perairan Natuna, semakin hari semakin agresif. Menurutnya, ini karena semakin banyak penduduk RRC, negara itu semakin membutuhkan lebih banyak kekayaan alam, seperti migas dan lain lain.
Selain itu, kekuatan militer dan ekonomi RRC sekarang makin kuat. Oleh sebab itu mereka makin agresif. Ia menghimbau pemerintah Indonesia waspada terhadap makin agresif nya RRC di LCS, khususnya di ZEE Indonesia itu. “Klaim wilayah RRC jangan dianggap sekedar peta. Dalam hukum internasional, peta tersebut harus ditambahkan dengan kehadiran fisik. Itulah sebabnya RRC berupaya hadir di wilayah LCS, termasuk perairan dekat Natuna. Memang berdasarkan hukum internasional kapal perang mereka tidak boleh hadir, oleh karena itu, mereka mengirim nelayan nelayan mereka dengan dikawal oleh kapal-kapal penjaga pantai mereka,” tuturnya.
Senada dengan Hikmahanto, pembicara lainnya Johanes Herlijanto, juga mengapresiasi respons keras dari berbagai negara terhadap tindakan RRC yang menerbitkan peta yang menerabas wilayah berbagai negara itu. Pasalnya, tindakan RRC menerbitkan peta tersebut dapat diinterpretasikan sebagai upaya RRC untuk menegaskan bahwa negara itu tetap kukuh dengan klaim kewilayahannya itu.
“Ada beberapa interpretasi dari tindakan China di atas. Pertama adalah interpretasi versi China, yang mengatakan bahwa tindakan menerbitkan peta itu adalah tindakan rutin. Kedua adalah analisis yang mengatakan bahwa penerbitan peta tersebut dilakukan untuk kepentingan internal China, agar publik China melihat keseriusan pemerintah mempertahankan wilayah mereka,” lanjutnya.
Namun bagi Johanes, penerbitan peta itu utamanya harus dimaknai sebagai upaya China memberi signal pada negara-negara kawasan bahwa RRC masih tetap mempertahankan klaimnya di LCS dan beberapa wilayah lain. “Apalagi rilis peta tersebut dilakukan hanya hitungan hari sebelum negara-negara ASEAN melaksanakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Jakarta, dan negara-negara G20 melangsungkan KTT di India,” sambung Johanes
Seirama dengan Hikmahanto, Johanes juga menyatakan kekhawatiran bahwa kehadiran peta tersebut berpotensi untuk digunakan oleh China sebagai legitimasi bagi tindakan-tindakan negara itu di masa mendatang. “Kita harus belajar dari rilis peta RRC dengan sembilan garis putus-putus (nine dash line) pada 1993, yang pada awalnya tidak disertai dengan ketegangan-ketegangan militer, namun dalam sekitar satu dasawarsa terakhir menjadi arena yang tegang karena RRC melakukan berbagai manuver yang berbenturan dengan otoritas negara-negara Asia Tenggara, seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia,” tukasnya.
Menurut pemerhati masalah China dari Universitas Pelita Harapan (UPH) itu, selain menyatakan penolakan terhadap klaim garis putus-putus RRC di peta yang baru saja dirilis itu, Indonesia dan negara-negara lain yang menjadi anggota Asosiasi Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) harus menjalin kerja sama menghadapi RRC yang makin agresif itu.
Johanes menekankan pentingnya Indonesia dan negara-negara ASEAN terkait memperoleh dukungan internasional dalam menghadapi perilaku RRC itu. “Dan akhirnya, Indonesia harus meningkatkan kekuatannya baik dalam bidang ekonomi maupun militer,” pungkasnya.
(wyn)