Dosen Universitas Paramadina: Indonesia Perlu Antisipasi Perlambatan Ekonomi China

Jum'at, 29 Desember 2023 - 13:17 WIB
loading...
Dosen Universitas Paramadina: Indonesia Perlu Antisipasi Perlambatan Ekonomi China
Dosen dan peneliti Paramadina Public Policy Institute, Jakarta, Muhamad Iksan menyampaikan paparannya dalam diskusi akhir tahun berjudul ‘China, Asia Tenggara, dan Indonesia,’ yang digelar FSI di Jakarta, Kamis (28/12/2023) Foto/Ist
A A A
JAKARTA - Kondisi ekonomi China pasca pandemi Covid 19 dinilai belum sepenuhnya pulih. Oleh karena itu, sebagai negara yang memiliki relasi ekonomi signifikan dengan China, Indonesia perlu mempersiapkan langkah antisipatif menghadapi fenomena perlambatan ekonomi di negeri panda tersebut.

Pendapat tersebut diungkapkan dosen dan peneliti pada Paramadina Public Policy Institute, Jakarta, Muhamad Iksan, dalam diskusi akhir tahun berjudul ‘China, Asia Tenggara, dan Indonesia,’ yang digelar Forum Sinologi Indonesia (FSI) di Jakarta, Kamis, 28 Desember 2023.

Menurut Iksan, perlambatan ekonomi Republik Rakyat China dapat dilihat dari beberapa indikasi, salah satunya adalah melemahnya permintaan dalam negeri. Sebagai contoh, pada periode Januari hingga Februari 2023, pertumbuhan penjualan ritel hanya menyentuh 18,4 persen.

“Angka ini masih berada di bawah perkiraan para analis, yang sebelumnya memperkirakan bahwa pertumbuhan ritel di China akan tumbuh sebesar 21 persen pada periode di atas,” tutur Iksan dalam keterangan resminya, Kamis (28/12/2023).

Itulah sebabnya, Iksan berpandangan bahwa Indonesia perlu melakukan langkah antisipatif. “Salah satu yang perlu Indonesia lakukan adalah menjaga keseimbangan dalam hubungan ekonomi dengan China dan dengan negara-negara lainnya, termasuk dengan Amerika Serikat,” tutur Iksan.



Dosen Universitas Pelita Harapan (UPH) yang juga Ketua FSI Johanes Herlijanto berpandangan bahwa perlambatan ekonomi China di tahun 2023 merupakan kelanjutan dari kondisi di tahun-tahun sebelumnya.

Menurutnya, kondisi tersebut muncul bersamaan dengan masalah-masalah terkait, salah satunya adalah krisis properti yang sudah mulai terlihat setidaknya sejak pertengahan tahun 2022.

Selain itu, lanjut Johanes, terdapat pula permasalahan lain, seperti pengangguran, menggelembungnya hutang dalam negeri yang membebani pemerintah-pemerintah daerah di China, serta berkurangnya daya beli masyarakat.“Uniknya, masalah pengangguran tersebut muncul bersamaan dengan permasalahan sulitnya pabrik-pabrik memperoleh tenaga kerja,” katanya.

Menurut pemerhati China ini, bersamaan dengan permasalahan-permasalahan tersebut, muncul pula kecenderungan sebagian anak-anak muda untuk menjadi ‘kaum rebahan’ (tangpingzu).

Mereka memilih untuk menjalani hidup santai atau bahkan menjadi ‘anak penuh waktu.’ Dalam pandangannya, fenomena yang muncul di sebagian kalangan anak muda China ini merupakan akibat dari kejenuhan mereka terhadap dunia kerja di China yang cenderung menerapkan waktu kerja yang panjang.

“Sebagian anak-anak muda di China nampaknya mengalami kejenuhan dengan tren bekerja yang dikenal sebagai budaya kerja ‘996,’ yang mengharuskan mereka bekerja dari pukul 9 hingga pukul 21 selama 6 hari dalam satu minggu,” tutur Johanes.

Senada dengan Iksan, Johanes pun berpandangan bahwa perlambatan ekonomi yang menerpa China perlu menjadi bahan refleksi bagi negara-negara tersebut. “Sebagai langkah antisipasi, penting bagi Indonesia untuk memastikan tersedianya mitra-mitra dagang maupun sumber-sumber investasi alternative,” tutur Johanes.

Selain isu ekonomi, dalam refleksinya mengenai perkembangan terkait China sepanjang tahun 2023 itu, Johanes juga menyoroti permasalahan mengenai keamanan kawasan Asia Timur dan Tenggara.

Menurutnya, ketegangan di Selat Taiwan adalah salah satu isu yang penting untuk diperhatikan. Berdasarkan pemaparannya, sejak di tahun 2022, terdapat kekhawatiran di kalangan pemerhati China dan Hubungan Internasional terhadap kemungkinan China mengambil alih Taiwan, pulau yang oleh China dianggap sebagai miliknya, dengan jalan kekerasan.

Kekhawatiran tersebut, lanjut Johanes, masih berkembang hingga di sepanjang tahun 2023. Salah satu penyebab bertahannya kekhawatiran itu adalah karena dalam pidatonya di Kongres Nasional PKC ke 20 pada bulan Oktober 2022, Presiden RRC Xi Jinping menyatakan bahwa meski China akan mengupayakan reunifikasi Taiwan dengan China secara damai, namun Xi tidak berjanji untuk mengesampingkan penggunaan kekuatan.

“Xi Jinping menyatakan akan menggunakan cara apapun yang diperlukan untuk melaksanakan reunifikasi tersebut,” pungkasnya. Ia juga menyatakan bahwa kekhawatiran di atas makin merebak seiring dengan munculnya berbagai ketegangan yang terjadi di Selat Taiwan, yang terkait dengan peristiwa saling mengunjungi antara petinggi-petinggi Taiwan dan anggota-anggota parlemen Amerika Serikat (AS).

“Ketegangan yang masih berlangsung di tahun 2023 itu tentu berpotensi merambat ke kawasan Asia Tenggara,” pungkasnya. Namun menurut Johanes, di sepanjang 2023, kawasan Asia Tenggara sendiri pun dilanda ketegangan terkait sengketa antara China dan beberapa negara Asia Tenggara di Laut China Selatan (LCS).

“Sepanjang tahun 2023, RRC tidak mengurangi tindakan agresifnya di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) milik beberapa negara-negara Asia Tenggara. Bahkan dalam kasus antara China dan Filipina, ketegangan semakin meningkat, sebagai akibat dari berbagai tindakan provokatif yang dilakukan oleh kapal-kapal penjaga pantai China, bersama dengan milisi maritime mereka, terhadap pihak Filipina,” tuturnya.

Ia menilai bahwa ketegangan bahkan berkembang semakin tajam lagi seiring dengan keputusan Filipina untuk bekerja sama dengan kekuatan-kekuatan dari luar kawasan, antara lain dengan kekuatan laut AS dan Australia, untuk melakukan patroli demi mencegah tindakan agresif China.

Pada sisi lain, tindakan China yang pada Agustus 2023 merilis sebuah peta yang kembali menegaskan garis putus-putus yang mengakui sebagian ZEE negara-negara Asia Tenggara sebagai miliknya juga sempat menimbulkan protes dari negara-negara Asia Tenggara.

“Memang, pada bulan Juli lalu, China dan negara-negara anggota ASEAN telah menyepakati hadirnya sebuah panduan untuk mempercepat selesainya Pedoman Tata Prilaku (Code of Conduct) yang diharapkan dapat mencegah terjadinya ketegangan-ketegangan di wilayah LCS”.

“Namun kesepakatan itu seolah dicemari dengan hadirnya peta RRC yang secara sepihak kembali mengakui sebagian ZEE dari beberapa negara-negara anggota ASEAN sebagai milik China, dan oleh tindakan provokatif kapal-kapal penjaga pantai China terhadap otoritas Filipina di perairan yang menjadi ZEE mereka,” tutur Johanes.

Ia juga mengingatkan bahwa selain menimbulkan gangguan kepada beberapa negara anggota ASEAN lain, kapal-kapal penjaga pantai China juga berlayar memasuki sebagian ZEE Indonesia di perairan dekat Kepulauan Natuna. “Di tahun 2023, hal ini terjadi sekitar 1 tahun yang lalu, tepatnya di bulan Januari,” katanya.

Menurut Johanes, sikap RRC yang menganggap sebagian dari ZEE Indonesia di perairan Laut Natuna Utara sebagai milik RRC, yang ditandai oleh salah satu garis putus-putus yang ditarik secara sepihak oleh negara itu, merupakan sikap yang patut disayangkan.

Menurutnya, pengakuan wilayah secara sepihak oleh RRC itu perlu terus menerus disikapi dengan tegas oleh Indonesia dan negara-negara ASEAN lain. “Upaya bersama antara negara-negara ASEAN untuk mencegah RRC melakukan tindakan agresif dan provokatif di ZEE negara-negara ASEAN perlu dilakukan. Demikian juga dengan upaya penguatan kapasitas penegakan hukum, yang dapat pula dilakukan dengan menggalang kerja sama dengan kekuatan-kekuatan besar lain,” pungkasnya.
(wyn)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2265 seconds (0.1#10.140)