Ikuti Kompetisi Riset, Dosen UIN Jakarta Raih Masayoshi Ohira Memorial Prize

Senin, 17 Agustus 2020 - 23:14 WIB
loading...
Ikuti Kompetisi Riset,...
Pengajar Jurusan Manajemen Dakwah Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta Dr.Wahyu Prasetyawan MA berhasil meraih penghargaan bergengsi untuk karya riset ilmu sosialnya. Foto/ist
A A A
JAKARTA - Di tengah gebyar peringatan Kemerdekaan RI ke-75 tahun, pengajar Jurusan Manajemen Dakwah Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta Dr. Wahyu Prasetyawan MA berhasil meraih penghargaan bergengsi untuk karya riset ilmu sosialnya. Ia berhasil menyabet penghargaan The 36th Masayoshi Ohira Memorial Prize atas karyanya Networked: Business and Politics in Decentralizing Indonesia 1998-2004.

Wahyu menuturkan, penghargaan didapatkan setelah penerbit bukunya National University of Singapore (NUS Press) dan Kyoto University Press mengajukan bukunya ke Masayoshi Ohira Memorial Foundation untuk diikutkan dalam seleksi penghargaan karya riset di bidang ilmu sosial.

Pengajuan ini merupakan kewenangan penerbit dalam mengikutkan karya-karya riset para peneliti yang diterbitkannya untuk dikompetisikan pada penghargaan bergengsi yang diikuti banyak karya-karya riset sejenis tentang masyarakat di kawasan Asia Pasifik. (Baca juga: Didaulat Kampus Terbaik Versi Kemendikbud, IPB Geser UI dan UGM )

“Dan, Alhamdulillah, dari banyak karya yang dinominasikan, buku saya berhasil masuk dalam daftar buku-buku yang diganjar penghargaan tersebut,” katanya.

Masayoshi Ohira Memorial Prize sendiri merupakan penghargaan yang diberikan oleh Masayoshi Ohira Memorial Foundation untuk karya-karya riset para peneliti tentang kehidupan masyarakat di kawasan Asia Pasifik. Penghargaan dan yayasan pemberi penghargaan sendiri dibangun atas inisiatif sekaligus penghargaan atas dedikasi dan penghormatan pada Masayoshi Ohira (1910-1970 M).

Sekadar informasi, selain menjadi pemimpin Partai Demokrat Liberal sekaligus Perdana Menteri Jepang ke-68 dan 69 (1978-1980), Masayoshi Ohira yang menamatkan pendidikannya Universitas Hitotsubashi dikenal memiliki perhatian terhadap pengembangan kualitas hidup masyarakat di negara-negara kawasan Asia Pasifik. Karenanya, yayasan dan penghargaan Masayoshi Ohira Memorial didirikan sebagai apresiasi atas perhatiannya. (Baca juga: ITS Luncurkan Mobil Listrik i-Car, Kombinasi Tekhnologi Modern dan Kemanusiaan )

Sementara itu, untuk menentukan peraih penghargaan Masayoshi Ohira Memorial Prize, yayasan menunjuk lima orang intelektual di bidang ilmu sosial. Kelimanya bekerja secara independen untuk menentukan peraih penghargaan berdasar bobot ilmiah dan pengaruh karya riset terhadap kehidupan masyarakat di kawasan Asia Pasifik sendiri.

“Merekalah yang menentukan. Jadi prosesnya sangat fair dan bisa dipertanggjawabkan karena mereka juga pakar di bidangnya,” terangnya.

Wahyu menambahkan, penghargaan harusnya diterimanya secara langsung bersama para peraih penghargaan serupa dari berbagai lembaga pendidikan dan penelitian lainnya. Namun karena pandemi COVID-19 tengah menyebar secara massif di berbagai negara di dunia, panitia mengirimkan tanda penghargaannya secara langsung.

Rebutan Kue Ekonomi dan Adu Kuat Jejaring Politik

Buku Wahyu berjudul Networked: Business and Politics in Decentralizing Indonesia 1998-2004 diterbitkan salahsatu penerbit buku bergengsi di kawasan Asia dan dunia, NUS Press. NUS Press sendiri merupakan bagian dari perguruan tinggi asal Singapura, National University of Singapore, yang mengkhususkan diri pada penerbitan karya-karya akademisi dunia, terutama karya bidang sosial dan humaniora masyarakat Asia bersama Kyoto University Press.

Dalam bukunya yang terdiri dari enam bagian ditambah bagian pendahuluan dan kesimpulan, Wahyu menyoroti kecenderungan tumbuhnya jejaring politik atau political networked pasca jatuhnya Orde Baru dalam struktur pemerintahan pusat dan daerah di Indonesia. Jatuhnya pemerintahan Orde Baru dan munculnya reformasi mendorong munculnya desakan desentralisasi melalui otonomi daerah. (Baca juga: Rektor UGM: Pandemi Covid Pacu Kreativitas dan Lahirkan Berbagai inovasi )

Kebijakan desentralisasi memungkinkan daerah memiliki kewenangan melakukan tata kelola politik dan birokrasi tanpa harus selalu diarahkan oleh pemerintah pusat, termasuk pengelolaan sumber daya ekonomi. Namun masalah muncul ketika pengelolaan sumber daya alam dan bagi hasilnya di daerah otonomi hanya memberikan porsi kepemilikan saham dan bagi hasil yang dinilai terlalu sedikit oleh daerah.

Akibatnya, pemerintah daerah dan pemerintah pusat acapkali bersitegang. Pada situasi inilah, sebutnya, muncul kecenderungan jejaring politik dimana daerah memanfaatkan koneksi politiknya di lingkar politik dan birokrasi pemerintahan pusat untuk mempengaruhi kebijakan tentang kepemilikan saham dan bagi hasil yang lebih besar bagi daerah.

Dalam penelitiannya, Wahyu memotret pengalaman tiga daerah dengan kekayaan sumber daya alam dalam membangun jejaring politik untuk mengamankan kepentingannya, yaitu Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Riau, dan Provinsi Kalimantan Timur. Diketahui, Sumatera Barat memiliki tambang batu kapur yang penting dalam produksi semen, Provinsi Riau memiliki banyak tambang eksplorasi minyak bumi, dan Kalimantan Timur dengan tambang batubaranya.

“Buku bercerita tentang konflik sumber daya alam di Kalimantan Timur, Riau, dan Sumatera Barat. Tapi cara saya memahaminya dengan melihat jejaring-jejaring para aktor politik di tiga daerah tadi. Bagaimana mereka bisa bangun jejaring politik, political networked, untuk bisa mempertahankan kepentingannya,” tuturnya.

Masing-masing daerah, sebutnya, berusaha membangun jejaring politik dengan memaksimalkan persamaan daerah asal para elit nasional, baik di jalur partai politik maupun birokrasi. Dari tiga daerah itu, Sumatera Barat dinilai berhasil membangun jejaringnya, disusul Kalimantan Timur. “Kalau Riau, jejaring politiknya tidak kuat,” katanya.

Pemerintahan lokal Sumatera Barat dan Kalimantan Timur dinilai berhasil membangun jejaring politik karena mereka memiliki banyak elit politik dan birokrasi, bahkan militer, yang menempati jabatan-jabatan penting di tingkat pusat selain memiliki ikatan kedaerahan yang kuat. Sedangkan Riau dinilai tidak berhasil karena gagal membangun jejaring politik. “Mereka (Kalimantan Timur dan Sumatera Barat, red.) bisa kuat karena punya jejaring daerah ke pusat. Kalau Riau jejaring politiknya enggak terlalu kuat, makanya (konflik, red.) bisa dimenangkan (pemerintah, red.) pusat,” terangnya.

Lebih jauh, Wahyu menjelaskan, pemerintah pusat dan daerah perlu menyepakati aturan baku besaran kepemilikan saham dan bagi hasil atas proyek investasi yang melibatkan pusat-daerah. Menurutnya, hal ini diperlukan agar pemerintah lokal dan pusat tidak selalu terlibat konflik yang menguras energi.

Selain itu, sambungnya, kesepekatan juga diperlukan dalam menjamin iklim investasi di dalam negeri. Kegiatan investasi yang idealnya melibatkan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan investor sejatinya memberikan kepastian bagi investor bisa terus melanjutkan operasional bisnisnya. Salahsatu caranya dengan membuat kesepakatan besaran kepemilikan saham dan bagi hasil atas kegiatan proyek investasi.

Konflik berkepanjangan antara pusat dan daerah tentang hal ini, terangnya, menciptakan iklim investasi tak ideal di mata investor. “Dalam kasus yang saya teliti mereka (investor, red.) pada keluar. Kalau investor kan maunya ada kepastian. Sebab kalau sehari saja tidak operasi, ruginya banyak,” tambahnya.

Lanjutkan Riset Politik Dinasti

Lebih lanjut Wahyu menuturkan, perolehan penghargaan semakin memotivasinya melalukan riset dengan pendekatan networked sciences. Jejaring politik, jelasnya, menjadi pisau analisis riset yang menarik dalam menyoroti banyak aspek kehidupan masyarakat di tanah air.

Salahsatunya adalah kecenderungan perpindahan kursi kekuasaan politik-pemerintahan yang bergeser tidak jauh dari yang tengah menempati kursi tersebut. Berbagai kasus menguatnya politik dinasti di berbagai daerah, sebutnya, menarik untuk dianalisis dalam konteks perilaku politik di tanah air.

“Jangan jangan mereka terhubung dengan (orang-orang, red.) itu-itu saja. Giliran. Jangan jangan gantian saja. Muter-muter di situ saja. Saya enggak bilang itu oligarki. Hanya political bossies saja di antara orang-orang yang sedang berkuasa,” pungkasnya.
(mpw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1672 seconds (0.1#10.140)