Dosen Paramadina: Kerja Sama Negara ASEAN Redam Aksi Agresif China di Laut China Selatan

Jum'at, 26 Juli 2024 - 13:32 WIB
loading...
Dosen Paramadina: Kerja...
Ketua FSI, Johanes Herlijanto memberi pemaparan dalam diskusi bertema dinamika Laut China Selatan di Jakarta, Kamis (25/7/2024). Foto/Ist
A A A
JAKARTA - Negara-negara ASEAN dihimbau untuk tidak lagi bersikap diam menghadapi sikap agresif China di Laut China Selatan. Sikap berdiam diri dinilai justru akan memperkuat kecenderungan China untuk melakukan aksi agresif dan bullying terhadap negara-negara yang memiliki ketumpangtindihan wilayah dengan China di Laut China Selatan.

Kesimpulan di atas mencuat dalam diskusi berjudul “China and Maritime Security in the South China Sea: Indonesian and Philippine Perspectives,” yang diselenggarakan bersama oleh Paramadina Public Policy Institute (PPPI) dan Forum Sinologi Indonesia (FSI) di Jakarta, 25 Juli 2024.

Diskusi yang dilaksanakan secara hibrid itu menghadirkan Juru Bicara Coast Guard Filipina (PCG) untuk Laut Filipina Barat merangkap Staf Khusus Komandan Laut Filipina Barat, CG Commodore Jay T Tarriela, Direktur Kerja Sama Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla) Laksamana Pertama (Bakamla) Eka Satari, serta pemerhati hubungan internasional Universitas Paramadina Dr. Mohammad Riza Widyarsa.

Diskusi dipandu oleh pemerhati isu keamanan Universitas Indonesia, Ristian Atriandi Suprianto yang juga dosen Universitas Indonesia (UI) dan dihadiri juga oleh Ketua FSI, Johanes Herlijanto.

Pakar hubungan internasional yang juga Dosen Universitas Paramadina, Mohammad Riza Widyarsa menilai, kerja sama antara instansi penegak hukum dan keamanan negara-negara ASEAN sangat dibutuhkan mengadapi konstelasi di Laut China Selatan saat ini.

Riza menuturkan bahwa kerja sama antara negara-negara yang memiliki kepentingan sama dengan Indonesia dan Filipina akan dapat meredam perilaku agresif China di Laut China Selatan.

Menurutnya, kerja sama semacam itu sebenarnya telah terbentuk dalam sekitar sepuluh tahun terakhir. Selain ASEAN Coast Guard Forum, pada tahun 2013 telah dibentuk ‘Inisiatif Hukum Laut Asia Tenggara’ (Southeast Asia Maritime Law Initiative) yang merupakan insiatif kerja sama antara instansi penegakan hukum laut Amerika Serikat (AS), Indonesia, Filipina, Vietnam, dan Malaysia.

Menurut Riza, kerja sama antar negara-negara di dalam ASEAN sendiri sangat penting dalam menghadapi China dan perilaku agresifnya, karena mengandalkan kekuatan luar (seperti AS) saja tidaklah cukup.

“Kerja sama antara negara-negara di kawasan sangat penting dan efektif, khususnya ketika sedang dibutuhkan respons yang cepat,” pungkasnya.

Pandangan Riza diamini koleganya dosen dari Universitas Indonesia (UI) Ristian Atriandi Suprianto. Menurut Ristian, negara ASEAN tak bisa bertindak sendirian dan harus mengedapankan kerja sama dalam menghadapi sikap agresif China di Laut China Selatan.

Menurut pemerhati isu keamanan yang sedang menyelesaikan studi doktoral di Australian National University (ANU) itu, isu dengan China, seperti yang sedang dihadapi Filipina saat ini, bukan hanya relevan bagi Filipina, tetapi juga bagi negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara.

Sedangkan dalam pandangan Ketua FSI, Johanes Herlijanto, strategi yang diterapkan Filipina saat ini dalam menghadapi aksi-aksi agresif dari China patut untuk dijadikan sebagai pelajaran bagi negara-negara lain yang menghadapi pengalaman serupa.

Menurutnya, sikap agresif China itu terlihat dari penerapan taktik yang dikenal sebagai taktik ‘zona abu-abu’ (grey zone) terhadap negara-negara yang memiliki kedaulatan maupun hak berdaulat di perairan yang oleh China diakui sebagai miliknya.

“Padahal, pengakuan kepemilikan RRC yang hanya berdasarkan klaim sejarah itu bertentangan dengan hukum laut internasional, khususnya Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) yang telah diratifikasi oleh Cina sendiri,” tutur Johanes.

Menurut Johanes, alih-alih mematuhi UNCLOS, RRC malah berupaya meralisasikan pengakuan kepemilikannya itu dengan menjalankan taktik grey zone melibatkan tiga komponen yang sebenarnya masih berada di bawah kendali Komite Militer Pusat (CMC) pimpinan langsung Presiden Xi Jinping, yaitu milisi maritim yang beroperasi sebagai nelayan-nelayan sipil, penjaga Pantai (Coast Guard) China, dan Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat



Menurut Johanes, pengakuan sepihak China yang ditandai dengan sembilan garis putus-putus itu sebenarnya telah disanggah oleh putusan Mahkamah Arbitrase Internasional yang diajukan Filipina pada tahun 2016.

Namun, negara itu bukan hanya bersikeras bahwa sebagian besar wilayah Laut China Selatan (LCS) adalah miliknya, tetapi juga melanjutkan taktik greyzone di atas.

Filipina menjadi salah satu sasaran, khususnya dalam dua atau tiga tahun terakhir ini. Namun Johanes mengingatkan bahwa selain Filipina, Vietnam dan bahkan Indonesia pun kerap menjadi sasaran dari aktivitas greyzone China itu.

Commodore Jay T Tarriela mengemukakan secara detil strategi yang diambil oleh pemerintah Filipina di bawah kepemimpinan Presiden Bongbong Marcos, Jr.

“Berdasarkan perenungan terhadap strategi-strategi yang telah diterapkan oleh presiden-presiden sebelumnya, Presiden Marcos memutuskan untuk mencanangkan strategi transparansi, yang pada hakikatnya bertumpu pada upaya mengekspos aksi-aksi agresif China di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Filipina,” tutur Tarriela.

Ia menjelaskan bahwa di bawah payung strategi transparansi itu, instansi-instansi penegakan hukum di Filipina bersatu dan berkoordinasi dengan baik. Mereka bahkan mengundang awak media untuk turut serta memantau patroli bersama mereka.
“Sebagai akibatnya, rakyat Filipina dapat mendengar fakta-fakta kebenaran dari pemerintah tanpa ada satupun yang disembunyikan,” ujarnya.

Commodore Tarriela menambahkan, strategi transparansi itu menyebabkan rakyat Filipina bersatu dan memberikan dukungan pada pemerintah dalam menghadapi tindakan agresif China. “Bahkan kongres pun memberikan dukungannya,” tuturnya.

Meski demikian, Commodore Tarriela beranggapan bahwa selain dari masyarakat Filipina sendiri, dukungan dari negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara sangat penting bagi Filipina.

“Negara-negara di kawasan ini harus pula mengekspos tindakan-tindakan agresif China, karena negara-negara kawasan, seperti Indonesia, Malaysia, dan bahkan Vietnam telah menjadi sasaran dari tindakan agresif tersebut,” pungkasnya.

Sementara itu Laksamana Pertama Eka Satari juga menekankan pentingnya kerja sama antara aparat penegak hukum dari pelbagai negara ASEAN menghadapi sikap China di Laut China Selatan.

Menurut Laksma Satari, tak ada satupun negara yang dapat menangani isu maritime sendirian. Oleh karenanya, ia berpandangan bahwa kerja sama antar negara sangatlah diperlukan.

Laksamana Satari merujuk pada Forum Penjaga Pantai ASEAN (ASEAN Coast Guard Forum) sebagai contoh dari kerja sama antara negara-negara di kawasan. Forum yang digagas sejak 2022 itu bertujuan untuk meningkatkan kerja sama dalam membangun kapasitas, patroli maritim, dan operasi antara instansi penjaga pantai negara-negara ASEAN .
(wyn)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.6238 seconds (0.1#10.140)