Founder GSM Soroti Kesenjangan Sosial dan Spiritual pada Anak Muda

Rabu, 07 Agustus 2024 - 10:09 WIB
loading...
Founder GSM Soroti Kesenjangan...
Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Muhammad Nur Rizal (kanan) pada sebuah diskusi. Foto/GSM.
A A A
JAKARTA - Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Muhammad Nur Rizal menyoroti kesenjangan sosial dan spiritual yang terjadi pada anak muda zaman sekarang. Kondisi ini didorong dengan keberadaan sosial media.

Rizal mengatakan, GSM menghadirkan gerakan aksi masal yaitu Gerakan Turun ke Sekolah (GTS) sebagai wadah bagi anak muda untuk bisa ikut berkontribusi dalam perubahan pendidikan di Indonesia dengan cara turun ke sekolah.

Baca juga: GSM Dorong Sekolah di Pinggiran Yogyakarta Berkualitas Internasional

Rizal mengungkapkan, ada dua maksud mengapa Gerakan Turun ke Sekolah (GTS) ini digagas.
Pertama, GTS didirikan dengan tujuan utama untuk mengubah budaya pendidikan yang memanusiakan dan memberikan ruang kesetaraan.

Lebih dari itu, Rizal juga menjelaskan apa yang membedakan GTS dengan gerakan-gerakan yang sebelumnya, salah satunya adalah GTS yang lebih berfokus pada pemaksimalan potensi anak muda.

“Kami ingin agar anak muda yang bisa menyampaikannya. Pasalnya, anak muda adalah output dari pendidikan itu sendiri. Jadi, ketika anak muda bisa untuk menyampaikan bahwa pendidikan kita harus berubah, kita tidak lagi fokus pada guru dan kurikulum,” ucap Rizal, melalui siaran pers, Rabu (7/8/2024).

Baca juga: Membangun Pembelajaran Menyenangkan agar Anak Mencintai Sekolah

Kedua, GTS diharapkan mampu menjadi solusi atas persoalan kesenjangan pada anak muda di era sekarang yang dapat dirangkum menjadi tiga, yaitu kesenjangan sosial, kesenjangan spiritual, dan kesenjangan ekologi. Semua ini diakselerasi dengan keberadaan sosial media.

Kesenjangan sosial terjadi ketika ada perbedaan antara dirinya dengan orang lain yang biasanya kerap muncul. Contoh kesenjangannya adalah ketika di dalam rentang umur yang sama terdapat orang-orang yang seakan bernasib amat baik dengan kekayaan materialnya, tetapi di sisi lain juga ada mereka yang dianggap “kurang beruntung” dan harus berjuang secara keras tanpa jaminan akan berujung pada hasil yang sama. Dampaknya adalah timbul polarisasi, bullying, kekerasan, hingga keterbelahan sosial yang parah di masyarakat kita.

Rizal juga menyoroti adanya kesenjangan spiritual pada anak muda zaman sekarang.

“Kesenjangan spiritual, yaitu adanya gap antara dirinya di saat ini dengan dirinya di masa depan. Bahwa hilangnya jati diri ini berakibat pada anak muda yang kehilangan atas eksistensi diri dan kemampuan untuk mengendalikan diri,” tegas Rizal mengenai kesenjangan spiritual.

Efeknya, adalah anak muda yang semakin stres, kehilangan energi hidup hingga tingkat bunuh diri yang semakin tinggi. Contohnya, seperti kasus guru muda SMK yang melakukan aksi bunuh diri, tetapi terlebih dulu membuat pesan umum ke masyarakat untuk tidak mengalami permasalahan hidup seperti dirinya.

Rizal menambahkan bahwa dunia pendidikan yang kurang kritis untuk mengajarkan cara berpikir untuk dapat memilah, memaknai, dan merefleksikan akan membuat siswa-siswanya semakin tidak eksis di tengah berkembangnya global village, juga mampu memperparah persoalan deindividuasi di tengah batas negara-negara dunia yang semakin tipis.

Saat mendiskusikan mengenai hal yang dapat dikembangkan untuk menjembatani kesenjangan sosial dan spiritual, Rizal menyadur apa yang disampaikan oleh Alfred Adler, yaitu social interest. Hingga, Ia terpikir untuk menyalurkan sumber daya anak muda yang potensial untuk turun ke sekolah.

“Mengajak anak turun ke sekolah dapat membuat mereka merasa beruntung, bahwa akan ada penerimaan di dalam dirinya, sehingga dapat menemukan kebermaknaan yang mampu meningkatkan eksistensinya,” tegas Rizal.

Ketiga, mengenai kesenjangan ekologi. Hal ini menyoal pada keberlanjutan dari alam kita agar senantiasa terawat dan terjaga.

“Harapannya, anak muda mampu menjadi pemimpin tidak hanya untuk diri, tetapi untuk masa depan bersama. Mereka yang ditanamkan agar memiliki konsisten dan komitmen yang kuat untuk terus bergerak di aktivitas sosial dengan harapan menjalar pada upaya membenahi permasalahan lingkungan,” pungkas Rizal.

Beberapa cerita dari anak muda yang turun ke lapangan berhasil menunjukkan adanya perkembangan dari rasa ketertarikan sosial. Ilham, seorang mahasiswa UNU yang menjadi salah satu relawan untuk GTS di SD BOPKRI Wonosari sempat merasakan keraguan pada awalnya, kebingungan mengenai apa yang harus dilakukan.

Namun, pada akhirnya ide-ide bermunculan setelah mengikuti rangkaian diskusi dengan kawan lainnya, hingga ia ketagihan untuk berkontribusi secara sosial.

“Perasaan ragu hilang seketika setelah melihat wajah para penerus generasi di masa yang akan datang. Melihat senyuman yang manis, tawa, serta keimutan anak-anak membuat saya menjadi semangat dan antusias untuk melaksanakan kegiatan yang direncanakan. Sampai kita tidak merasakan adanya cape karena digantikan oleh kegembiraan,” ungkap Ilham.

Program GTS juga membuat Ilham semakin ingin untuk menyebarkan senyum kebahagiaan dalam belajar, hingga ia kian semangat untuk terus meningkatkan kemampuannya dalam mengajar. Perasaan inferioritas menjadi tergeser oleh tekad yang penuh kemuliaan.

Selain dirasakan oleh anak muda, dampak positif dari program GTS juga dirasakan oleh sekolah yang terdiri atas guru dan siswa.

“Program GTS membantu murid-murid untuk lebih mampu dalam mengenali dan mengendalikan emosinya. Selain itu, ada warna tersendiri bagi sekolah, di mana biasanya murid hanya bertemu dengan bapak dan ibu gurunya,” tegas Pak Taha yang berprofesi sebagai guru, sekaligus pegiat GSM Klaten. Pak Taha pun berharap agar lebih banyak lagi relawan yang punya kemauan untuk ikut berkontribusi di GTS, karena masih ada banyak persoalan Pendidikan yang perlu diselesaikan bersama.

GTS yang telah diadakan sebanyak dua batch ini telah mampu mengajak sebanyak 330 anak muda dan berdampak pada lebih dari 1000 siswa di sepuluh daerah yang meliputi Sleman, Kulonprogo, Gunungkidul, Klaten, Solo, Magelang, Kebumen, Cirebon, Tangerang Selatan, dan Bali.

Di dalam penyelenggaraan GTS pun, Gerakan Sekolah Menyenangkan tidak hanya melibatkan anak muda, melainkan juga komunitas-komunitas yang ada di setiap daerah, baik komunitas GSM daerah maupun komunitas eksternal seperti Millennial Bergerak, Sumelang Community, HMP - PBI UNU Sunan Kalijaga, Duta Kampus UIN Sunan Kalijaga, Kagem Yogyakarta, dan Rumah Impian Yogyakarta.

Rizal mengungkapkan bahwa GTS bukan sebatas aksi berdampak jangka pendek, melainkan sebuah aksi publik yang bisa menjadi ruang bersama bagi siapapun untuk ikut terlibat dan berkontribusi dalam perubahan pendidikan Indonesia dan masa depan planet bumi.
(nnz)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0803 seconds (0.1#10.140)