Sekolah di Pedalaman Hutan Jambi Raih Penghargaan UNESCO Confucius Prize for Literacy 2024
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sokola Institute meraih penghargaan UNESCO Confucius Prize for Literacy 2024. UNESCO mengakui sekolah yang didirikan Butet Manurung ini turut meningkatkan literasi di kalangan masyarakat adat melalui pendekatan inovatif dan integratif.
Sokola Institute, dulunya bernama Sokola Rimba memang bukan sekolah biasa. Sekolah ini berada di pedalaman hutan Jambi, merupakan sekolah rintisan bagi anak-anak Orang Rimba atau Suku Kubu.
Hingga saat ini,Sokola Institute sudah merintis hingga 17 program di seluruh Indonesia dan memberikan manfaat kepada lebih dari 15.000 masyarakat adat untuk bisa mengenyam pendidikan formal.
Baca juga: Berkomitmen pada Pelestarian Naskah Nusantara, Perpusnas Raih Penghargaan UNESCO
Pendiri Sokola Institute adalah Butet Manurung. Ia adalah alumnus Universitas Padjadjaran (Unpad) yang kuliah di dua program studi di Unpad yaitu Antropologi dan Sastra Indonesia.
Direktur Sokola Institute, Butet Manurung, menjelaskan, penghargaan UNESCO membuktikan bahwa budaya memiliki kontribusi besar dalam proses pembelajaran literasi.
Baca juga: Sandiaga Uno Dukung Buleleng Masuk UNESCO Creative Cities Network: Potensinya Luar Biasa
“Melibatkan bahasa dan fonetik lokal dalam literasi sangat penting, tetapi memasukkan budaya masyarakat adat ke dalam pembelajaran jauh lebih krusial. Pendekatan Sokola ingin membantu menciptakan versi terbaik dari praktik pendidikan mereka dan meningkatkan determinasi komunitas,” jelas Butet Manurung, melalui siaran pers, Selasa (10/9/2024).
Sokola Institute yang didirikan sejak tahun 2003 ini menjadi salah satu pemenang dari badan organisasi PBB ini yang diumumkan pada peringatan International Literacy Day di kota Yaoundé, Republik Kamerun pada hari Senin, 9 September 2024.
Baca juga: Direktur Program Pendidikan Vokasi UI Dukung Depok Tatap UCCN UNESCO 2025
Program literasi Sokola Institute mendapatkan apresiasi tinggi dari juri United Nations Education, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) atas metode pengajaran literasi dasar yang unik, yang menggabungkan bahasa ibu komunitas adat setempat dengan pendekatan etnografis, serta memfasilitasi pembelajaran bahasa nasional.
Sesuai dengan tema International Literacy Day 2024 “Mempromosikan pendidikan multibahasa: literasi untuk membangun kesepahaman bersama dan perdamaian”.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Anwar Makarim mengungkapkan kebanggaannya atas penghargaan yang diraih oleh Sokola Institute.
“Penghargaan dari UNESCO merupakan bukti komitmen pemerintah bersama seluruh masyarakat Indonesia dalam menguatkan literasi. Kita telah membuktikan kepada dunia bahwa kekayaan bahasa daerah yang dimiliki Indonesia adalah kekuatan untuk menciptakan perdamaian dan membangun peradaban yang lebih baik,” ucap Nadiem.
Duta Besar/Wakil Delegasi Tetap RI untuk UNESCO, Ismunandar mengatakan bahwa multibahasa semakin menjadi fenomena umum di dunia, dengan sekitar 7.000 bahasa yang tersebar tidak merata di sekitar 200 negara, terutama di Afrika Sub-Sahara dan Asia Pasifik.
“Manfaat pendidikan multibahasa sangat besar, terutama dalam membantu anak-anak mengakses pendidikan dengan lebih baik, terutama di daerah pedesaan. Pendidikan dalam bahasa ibu terbukti meningkatkan partisipasi sekolah, keterampilan berpikir, dan memperpanjang masa pendidikan anak perempuan,” urai Ismunandar.
Sebagai informasi, berdasarkan hasil pemetaan bahasa yang dilakukan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa sejak tahun 1991 hingga 2019, terdapat 718 bahasa di 2.560 daerah pengamatan.
Sokola Institute, dulunya bernama Sokola Rimba memang bukan sekolah biasa. Sekolah ini berada di pedalaman hutan Jambi, merupakan sekolah rintisan bagi anak-anak Orang Rimba atau Suku Kubu.
Hingga saat ini,Sokola Institute sudah merintis hingga 17 program di seluruh Indonesia dan memberikan manfaat kepada lebih dari 15.000 masyarakat adat untuk bisa mengenyam pendidikan formal.
Baca juga: Berkomitmen pada Pelestarian Naskah Nusantara, Perpusnas Raih Penghargaan UNESCO
Pendiri Sokola Institute adalah Butet Manurung. Ia adalah alumnus Universitas Padjadjaran (Unpad) yang kuliah di dua program studi di Unpad yaitu Antropologi dan Sastra Indonesia.
Direktur Sokola Institute, Butet Manurung, menjelaskan, penghargaan UNESCO membuktikan bahwa budaya memiliki kontribusi besar dalam proses pembelajaran literasi.
Baca juga: Sandiaga Uno Dukung Buleleng Masuk UNESCO Creative Cities Network: Potensinya Luar Biasa
“Melibatkan bahasa dan fonetik lokal dalam literasi sangat penting, tetapi memasukkan budaya masyarakat adat ke dalam pembelajaran jauh lebih krusial. Pendekatan Sokola ingin membantu menciptakan versi terbaik dari praktik pendidikan mereka dan meningkatkan determinasi komunitas,” jelas Butet Manurung, melalui siaran pers, Selasa (10/9/2024).
Sokola Institute yang didirikan sejak tahun 2003 ini menjadi salah satu pemenang dari badan organisasi PBB ini yang diumumkan pada peringatan International Literacy Day di kota Yaoundé, Republik Kamerun pada hari Senin, 9 September 2024.
Baca juga: Direktur Program Pendidikan Vokasi UI Dukung Depok Tatap UCCN UNESCO 2025
Program literasi Sokola Institute mendapatkan apresiasi tinggi dari juri United Nations Education, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) atas metode pengajaran literasi dasar yang unik, yang menggabungkan bahasa ibu komunitas adat setempat dengan pendekatan etnografis, serta memfasilitasi pembelajaran bahasa nasional.
Sesuai dengan tema International Literacy Day 2024 “Mempromosikan pendidikan multibahasa: literasi untuk membangun kesepahaman bersama dan perdamaian”.
Apresiasi Mendikbudristek
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Anwar Makarim mengungkapkan kebanggaannya atas penghargaan yang diraih oleh Sokola Institute.
“Penghargaan dari UNESCO merupakan bukti komitmen pemerintah bersama seluruh masyarakat Indonesia dalam menguatkan literasi. Kita telah membuktikan kepada dunia bahwa kekayaan bahasa daerah yang dimiliki Indonesia adalah kekuatan untuk menciptakan perdamaian dan membangun peradaban yang lebih baik,” ucap Nadiem.
Duta Besar/Wakil Delegasi Tetap RI untuk UNESCO, Ismunandar mengatakan bahwa multibahasa semakin menjadi fenomena umum di dunia, dengan sekitar 7.000 bahasa yang tersebar tidak merata di sekitar 200 negara, terutama di Afrika Sub-Sahara dan Asia Pasifik.
“Manfaat pendidikan multibahasa sangat besar, terutama dalam membantu anak-anak mengakses pendidikan dengan lebih baik, terutama di daerah pedesaan. Pendidikan dalam bahasa ibu terbukti meningkatkan partisipasi sekolah, keterampilan berpikir, dan memperpanjang masa pendidikan anak perempuan,” urai Ismunandar.
Sebagai informasi, berdasarkan hasil pemetaan bahasa yang dilakukan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa sejak tahun 1991 hingga 2019, terdapat 718 bahasa di 2.560 daerah pengamatan.
(nnz)