Kenapa Orang Mudah Menyebarkan Hoaks? Ini Jawabannya Menurut Penelitian
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ini penyebab orang mudah percaya dan menyebarkan informasi hoaks. Media sosial menjadi platform yang banyak ditemukan berita palsu alias hoaks.
Data yang dilaporkan Kementerian Komunikasi dan Informatika pada 2023, menunjukkan ada 1.615 konten yang menyangkut isu hoaks di platform digital dan situs internet.
Jumlah ini bisa lebih banyak karena tak semua dilaporkan dan ditangani.Lalu kenapa orang mudah percaya dan senang menyebarkan hoaks? Artikel kali ini akan membahasnya, simak ya!
Sebuah studi yang terbit di Proceedings of the National Academy of Sciences, menemukan bahwa orang yang mudah termakan berita palsu dan menyebarkannya, berkaitan dengan cara berpikir.
Studi yang dipimpin University of Southern California (USC) mengungkapkan bahwa hoaks bisa menyebar karena pengguna tidak memiliki keterampilan berpikir kritis yang diperlukan untuk membedakan mana yang benar dan mana yang palsu.
Selain itu, kemampuan berpikir dan penilaian mereka juga biasanya cenderung dipengaruhi oleh keyakinan politik tertentu yang kuat. "15% dari orang-orang yang paling sering membagikan berita dalam penelitian ini bertanggung jawab menyebarkan sekitar 30% hingga 40% berita palsu," tulis studi yang dikutip dari situs resmi USC.
Terkait mengapa banyak orang mudah menyebarkan berita hoaks, tim peneliti dari USC Marshall School of Business dan USC Dornsife College of Letters, Arts and Sciences, terus mendalaminya.
Hasilnya, mereka menemukan bahwa apa yang dilakukan orang-orang saat menyebarkan hoaks berkaitan dengan kebiasaan atau dorongan yang muncul selama bermain media sosial.
Selama ini, tanpa sadar, orang-orang yang bermain media sosial telah kecanduan untuk melakukan like atau menerimanya, berkomentar, mengikuti tren atau isu yang viral, dan menyebarkannya. "Karena sistem pembelajaran berbasis penghargaan di media sosial, pengguna membentuk kebiasaan berbagi informasi yang mendapat pengakuan dari orang lain," tulis para peneliti.
Jadi bisa dikatakan, mengunggah, berbagi, dan berinteraksi dengan orang lain di media sosial dapat menjadi suatu kebiasaan.
Ini yang kemudian banyak orang mudah percaya dan menyebarkan berita palsu atau hoaks. Mereka tidak merespons dengan berpikir atau mempertimbangkan, tetapi langsung berkomentar atau menyebarkan karena sudah terbiasa.
"Kebiasaan pengguna media sosial adalah pendorong penyebaran misinformasi yang lebih besar dibandingkan atribut individu. Kami mengetahui dari penelitian sebelumnya bahwa sebagian orang tidak memproses informasi secara kritis, dan sebagian lainnya membentuk opini berdasarkan bias politik, yang juga memengaruhi kemampuan mereka untuk mengenali berita palsu secara online," ujar Gizem Ceylan, pemimpin penelitian di USC Marshall
Dalam penelitian yang melibatkan 2.476 pengguna aktif Facebook berusia antara 18 hingga 89 tahun ini, para peneliti menemukan bahwa kebiasaan pengguna media sosial meningkat dua kali lipat.
Bahkan dalam beberapa kasus, jumlah berita palsu yang mereka bagikan menjadi tiga kali lipat. Kebiasaan mereka dalam menyebarkan berita palsu lebih berpengaruh dibandingkan faktor lainnya, termasuk keyakinan politik dan kurangnya penalaran kritis.
"Memahami dinamika di balik penyebaran misinformasi adalah hal yang penting mengingat konsekuensi politik, kesehatan, dan sosialnya," tutur Ian A. Anderson, seorang ilmuwan perilaku dan kandidat doktor di USC Dornsife.
Lihat Juga: Menkes Dilaporkan ke Bareskrim atas Dugaan Penyebaran Berita Palsu Terkait Tewasnya PPDS Undip
Data yang dilaporkan Kementerian Komunikasi dan Informatika pada 2023, menunjukkan ada 1.615 konten yang menyangkut isu hoaks di platform digital dan situs internet.
Jumlah ini bisa lebih banyak karena tak semua dilaporkan dan ditangani.Lalu kenapa orang mudah percaya dan senang menyebarkan hoaks? Artikel kali ini akan membahasnya, simak ya!
Penyebab Orang Mudah Menyebarkan Hoaks
Sebuah studi yang terbit di Proceedings of the National Academy of Sciences, menemukan bahwa orang yang mudah termakan berita palsu dan menyebarkannya, berkaitan dengan cara berpikir.
Studi yang dipimpin University of Southern California (USC) mengungkapkan bahwa hoaks bisa menyebar karena pengguna tidak memiliki keterampilan berpikir kritis yang diperlukan untuk membedakan mana yang benar dan mana yang palsu.
Selain itu, kemampuan berpikir dan penilaian mereka juga biasanya cenderung dipengaruhi oleh keyakinan politik tertentu yang kuat. "15% dari orang-orang yang paling sering membagikan berita dalam penelitian ini bertanggung jawab menyebarkan sekitar 30% hingga 40% berita palsu," tulis studi yang dikutip dari situs resmi USC.
Terkait mengapa banyak orang mudah menyebarkan berita hoaks, tim peneliti dari USC Marshall School of Business dan USC Dornsife College of Letters, Arts and Sciences, terus mendalaminya.
Hasilnya, mereka menemukan bahwa apa yang dilakukan orang-orang saat menyebarkan hoaks berkaitan dengan kebiasaan atau dorongan yang muncul selama bermain media sosial.
Selama ini, tanpa sadar, orang-orang yang bermain media sosial telah kecanduan untuk melakukan like atau menerimanya, berkomentar, mengikuti tren atau isu yang viral, dan menyebarkannya. "Karena sistem pembelajaran berbasis penghargaan di media sosial, pengguna membentuk kebiasaan berbagi informasi yang mendapat pengakuan dari orang lain," tulis para peneliti.
Kebiasaan Bemedia Sosial Picu Mudah Percaya Hoaks
Jadi bisa dikatakan, mengunggah, berbagi, dan berinteraksi dengan orang lain di media sosial dapat menjadi suatu kebiasaan.
Ini yang kemudian banyak orang mudah percaya dan menyebarkan berita palsu atau hoaks. Mereka tidak merespons dengan berpikir atau mempertimbangkan, tetapi langsung berkomentar atau menyebarkan karena sudah terbiasa.
"Kebiasaan pengguna media sosial adalah pendorong penyebaran misinformasi yang lebih besar dibandingkan atribut individu. Kami mengetahui dari penelitian sebelumnya bahwa sebagian orang tidak memproses informasi secara kritis, dan sebagian lainnya membentuk opini berdasarkan bias politik, yang juga memengaruhi kemampuan mereka untuk mengenali berita palsu secara online," ujar Gizem Ceylan, pemimpin penelitian di USC Marshall
Dalam penelitian yang melibatkan 2.476 pengguna aktif Facebook berusia antara 18 hingga 89 tahun ini, para peneliti menemukan bahwa kebiasaan pengguna media sosial meningkat dua kali lipat.
Bahkan dalam beberapa kasus, jumlah berita palsu yang mereka bagikan menjadi tiga kali lipat. Kebiasaan mereka dalam menyebarkan berita palsu lebih berpengaruh dibandingkan faktor lainnya, termasuk keyakinan politik dan kurangnya penalaran kritis.
"Memahami dinamika di balik penyebaran misinformasi adalah hal yang penting mengingat konsekuensi politik, kesehatan, dan sosialnya," tutur Ian A. Anderson, seorang ilmuwan perilaku dan kandidat doktor di USC Dornsife.
Lihat Juga: Menkes Dilaporkan ke Bareskrim atas Dugaan Penyebaran Berita Palsu Terkait Tewasnya PPDS Undip
(wyn)