Kisah Letkol Tek. YH Yogaswara, Prajurit TNI Penerima Beasiswa LPDP Paling Awal

Jum'at, 01 November 2024 - 13:00 WIB
loading...
A A A
Baca juga: Kisah Ardi, Korban Tsunami Palu Lulus S2 UGM Cum Laude dengan Beasiswa LPDP

Untuk mendukung karier dan kontribusinya, ia melanjutkan studi di Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan beasiswa TNI Angkatan Udara di bidang Aeronautika dan Astronautika dan lulus pada tahun 2013.

Setelah lulus dari KAIST pada 2018, Letkol Yoga yang saat itu berpangkat Kapten, memulai karier akademis sebagai dosen tetap non-organik di Universitas Pertahanan RI. “Sampai saat ini, saya mengajar di Fakultas Sains dan Teknologi Pertahanan. Ternyata naluri guru masih kuat dalam diri saya,” ujarnya sambil tersenyum.

Terbang ke Korea Kejar Gelar Doktor


Saat berkuliah di ITB, Letkol Yoga terlibat dalam proyek kerja sama pengembangan pesawat tempur Korea-Indonesia, KFX-IFX. Kesempatan ini membawanya bertemu dengan seorang profesor dari KAIST yang ahli dalam desain senjata terpandu dan memiliki peran penting dalam pengembangan teknologi pertahanan di Korea.

Pertemuan tersebut memicu semangat Letkol Yoga untuk belajar lebih mendalam, hingga ia memutuskan mengejar gelar doktor di bidang Aerospace Engineering, khususnya dalam Dinamika, Panduan, dan Kendali Terbang. “Saya pernah mencoba mendaftar program doktoral di Amerika dan Eropa, namun syaratnya sulit dipenuhi, seperti harus berkewarganegaraan negara yang bekerja sama pertahanan dengan Amerika atau NATO,” jelasnya.

Pada 2013, informasi mengenai beasiswa belum sekomprehensif saat ini, bahkan di lingkungan TNI Angkatan Udara. “Saya jujur tidak tahu tentang LPDP waktu itu,” katanya sambil tertawa. Namun, niat Letkol Yoga untuk belajar seakan dijawab takdir ketika beasiswa LPDP baru saja dibuka, dan informasinya sampai ke TNI AU.

Setelah melalui seleksi, Letkol Yoga terpilih sebagai satu dari empat anggota TNI AU penerima beasiswa LPDP gelombang PK-006, salah satu yang pertama mendapat manfaat program ini.

Perjuangannya baru dimulai. Gelar Ph.D. sering disebut sebagai "maraton" yang memerlukan ketahanan, kesabaran, dan strategi matang. “Di Korea, budaya kerja sangat cepat atau ppali-ppali, segalanya harus berkualitas dalam waktu singkat. Di KAIST, salah satu kampus paling inovatif, saya seperti di ‘neraka engineering’,” kenangnya tentang tantangan akademiknya.

Selama masa studi, KAIST memperkuat dukungan kesehatan mental menyusul tingginya angka bunuh diri. Seluruh mahasiswa diwajibkan menjalani kesehatan fisik dan mental.

“Pada tahun ketiga, hasil pemeriksaan menunjukkan saya mengalami gejala depresi. Alhamdulillah, saya berhasil mengatasinya berkat dukungan keluarga sebagai sistem pendukung yang kuat,” ungkapnya.

Beruntung, keluarga inti yang menjadi pilar kehidupannya ikut bersamanya ke Korea. Sang istri, yang juga menghadapi tantangan serupa karena sedang menempuh studi doktoral di Chungnam National University, memberikan dukungan besar.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1632 seconds (0.1#10.140)