UU Ciptaker Buat Dunia Pendidikan Semakin Komersial

Selasa, 06 Oktober 2020 - 16:16 WIB
loading...
UU Ciptaker Buat Dunia Pendidikan Semakin Komersial
Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) mengkritik disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker). Foto/Dok/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) mengkritik disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker). Koordinator P2G Satriwan Salim menilai UU ini akan membuat dunia pendidikan semakin komersial.

Hal tersebut terlihat dari pasal 26 yang menyatakan entitas pendidikan sebagai sebuah kegiatan usaha. Kemudian pasal 65 menyebutkan pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui perizinan berusaha. (Baca juga: UU Ciptaker Disahkan, Aliansi BEM SI: Mosi Tak Percaya Pemerintah dan DPR )

Ayat 2 dari pasal tersebut menyatakan pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan diatur dengan peraturan pemerintah (PP). “Artinya pemerintah (eksekutif) suatu hari nanti bisa mengeluarkan kebijakan perizinan usaha pendidikan yang nyata-nyata bermuatan kapitalisasi sebab sudah ada payung hukumnya,” ujar Satriwan dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Selasa (6/10/2020).

Pendidikan dalam UU Ciptaker, menurutnya, direduksi menjadi suatu aktivitas industri dan ekonomi. Satriwan kecewa terhadap anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang sebelumnya menyatakan telah mencabut klaster pendidikan.

Ada empat alasan P2G menolak klaster pendidikan dalam UU tersebut. Pertama, alasan ideologis, satriwan menerangkan menjadikan pendidikan sebagai sebuah aktivitas usaha jelas mengkhianati nilai Pancasila. (Baca juga: Terkendala Jaringan, Tiga Rekomendasi FSGI untuk Mengatasi Masalah PJJ )

“Sebab pendidikan nantinya semakin berbiaya mahal. Jelas-jelas akan meminggirkan anak-anak yang miskin sehingga tujuan pendidikan untuk memanusiakan manusia tidak akan pernah terjadi,” kritiknya.

Alasan kedua adalah yuridis konstitusional. UU Ciptaker dinilai tak sesuai dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pendidikan merupakan hak dasar warga negara. Pertanyaannya, bagaimana akan bisa dinikmati warga negara jika untuk menempuh pendidikan harus mengeluarkan biaya mahal.

Alasan ketiga adalah pedagogis. Orientasi memperoleh keuntungan dalam pendidikan mengabaikan pendekatan student-centered yang fokus pada mengatasi kebutuhan belajar, minat, dan aspirasi siswa.

Terakhir, alasan sosiologis. Satriwan menerangkan munculnya pembedaan lembaga pendidikan mahal dan murah akan memperlebar jurang kesenjangan sosial-ekonomi di masyarakat. “Ekosistem pendidikan yang eksklusif dan diskriminatif tersebut akan mempersulit upaya mempersatukan bangsa,” tuturnya.

Untuk itu, Satriwan mengajak masyarakat dan para penggiat pendidikan untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
(mpw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1551 seconds (0.1#10.140)