Tak Optimal, Banyak Guru Mengaku Jenuh dengan Pembelajaran Jarak Jauh
loading...
A
A
A
JAKARTA - Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) melakukan survei kepada 320 guru di seluruh Indonesia terkait kesiapan pembelajaran tatap muka (PTM) Januari 2021. Berdasarkan survei tersebut, sebanyak 61 guru setuju sekolah dibuka secara bertahap.
Koordinator P2G Satriwan Salim mengatakan, para guru pada dasarnya akan mengikuti pemerintah daerah dan orang tua terkait pembukaan sekolah. Sebab, guru menilai sekolah dan guru adalah bawahan dari pemerintah dalam struktur birokrasi di daerah.
"Jadi tidak mungkin mereka melawan keputusan atasan. Makanya guru setuju dan siap kembali bertugas," kata Satriwan, dalam telekonferensi, Kamis (3/12/2020).
Dia mengatakan, situasi PTM ini sebenarnya bagi guru adalah hal yang dilematis. Sebab, jika pembelajaran jarak jauh (PJJ) terus dilakukan maka pendidikan Indonesia tidak akan membaik. Banyak guru berpendapat telah merasa jenuh dan tidak bisa melayani anak didiknya dengan optimal.
Satriwan menjelaskan, dari 320 guru yang disurvei, mengkisahkan berbagai kendala yang dialami selama PJJ. Selain akses internet yang tidak bagus di sejumlah daerah, orang tua tidak mampu mendampingi anak selama PJJ. Anak justru pergi membantu orang tua bekerja pada jam PJJ dilaksanakan.
"Jadi karena pembelajaran tidak maksimal, anak tidak belajar, malah main kemana-mana jadi lebih baik kita masuk," kata Satriwan menambahkan.
Selain itu, para guru di dalam survei tersebut juga mengungkapkan keresahan mereka terkait kesehatan dan keselamatan guru pada saat PTM dilakukan. Di satu sisi, mereka khawatir dan cemas PTM berpotensi jadi klaster Covid-19 baru, namun di sisi lain perpanjang PJJ tidak akan optimal dengan kendala yang sulit diatasi.
Terkait hal ini, guru berharap, pemerintah daerah dan pusat memastikan keselamatan, kesehatan, dan keamanan guru dalam menjalankan tugas. Guru juga meminta tanggung jawab sepenuhnya ada di pemerintah pusat, daerah, dan orang tua.
"Misalnya kalau ada kasus sekolah jadi klaster Covid-19, maka jangan sampai nanti mempersalahkan, apalagi mengkriminalisasi guru. Tentu akan sangat berisiko besar. Guru sudah mengajar saja berisiko, apalagi jika dipersalahkan nantinya," kata dia.
Kewenangan sekolah tatap muka nantinya berada di tangan pemerintah daerah. Terkait hal ini, guru meminta pemerintah daerah untuk berhati-hati dan jangan gegabah saat membuka sekolah. Pemerintah harus perhatikan betul situasi di semua sekolah tanpa kecuali.
"Jadi tidak bisa hanya random saja. Harus one by one. Apakah sekolah sudah betul-betul siap dengan protokol kesehatan, daftar periksa, dan lain-lain," ujar dia.
Koordinator P2G Satriwan Salim mengatakan, para guru pada dasarnya akan mengikuti pemerintah daerah dan orang tua terkait pembukaan sekolah. Sebab, guru menilai sekolah dan guru adalah bawahan dari pemerintah dalam struktur birokrasi di daerah.
"Jadi tidak mungkin mereka melawan keputusan atasan. Makanya guru setuju dan siap kembali bertugas," kata Satriwan, dalam telekonferensi, Kamis (3/12/2020).
Dia mengatakan, situasi PTM ini sebenarnya bagi guru adalah hal yang dilematis. Sebab, jika pembelajaran jarak jauh (PJJ) terus dilakukan maka pendidikan Indonesia tidak akan membaik. Banyak guru berpendapat telah merasa jenuh dan tidak bisa melayani anak didiknya dengan optimal.
Satriwan menjelaskan, dari 320 guru yang disurvei, mengkisahkan berbagai kendala yang dialami selama PJJ. Selain akses internet yang tidak bagus di sejumlah daerah, orang tua tidak mampu mendampingi anak selama PJJ. Anak justru pergi membantu orang tua bekerja pada jam PJJ dilaksanakan.
"Jadi karena pembelajaran tidak maksimal, anak tidak belajar, malah main kemana-mana jadi lebih baik kita masuk," kata Satriwan menambahkan.
Selain itu, para guru di dalam survei tersebut juga mengungkapkan keresahan mereka terkait kesehatan dan keselamatan guru pada saat PTM dilakukan. Di satu sisi, mereka khawatir dan cemas PTM berpotensi jadi klaster Covid-19 baru, namun di sisi lain perpanjang PJJ tidak akan optimal dengan kendala yang sulit diatasi.
Terkait hal ini, guru berharap, pemerintah daerah dan pusat memastikan keselamatan, kesehatan, dan keamanan guru dalam menjalankan tugas. Guru juga meminta tanggung jawab sepenuhnya ada di pemerintah pusat, daerah, dan orang tua.
"Misalnya kalau ada kasus sekolah jadi klaster Covid-19, maka jangan sampai nanti mempersalahkan, apalagi mengkriminalisasi guru. Tentu akan sangat berisiko besar. Guru sudah mengajar saja berisiko, apalagi jika dipersalahkan nantinya," kata dia.
Kewenangan sekolah tatap muka nantinya berada di tangan pemerintah daerah. Terkait hal ini, guru meminta pemerintah daerah untuk berhati-hati dan jangan gegabah saat membuka sekolah. Pemerintah harus perhatikan betul situasi di semua sekolah tanpa kecuali.
"Jadi tidak bisa hanya random saja. Harus one by one. Apakah sekolah sudah betul-betul siap dengan protokol kesehatan, daftar periksa, dan lain-lain," ujar dia.
(mpw)