Pandemi Covid-19 Jadi Momentum Bertahan dan Menemukan Peluang Bisnis Baru

Minggu, 17 Mei 2020 - 15:36 WIB
loading...
Pandemi Covid-19 Jadi...
Dosen Psikologi Ekonomi dan Perilaku Konsumen UGM, Rahmat Hidayat. Foto/istimewa
A A A
JAKARTA - Banyak situasi yang menyulitkan kegiatan bisnis bagi UMKM di masa pandemi Covid-19. Meski demikian, hal ini bisa menjadi peluang bisnis dengan cara baru. “Di masa ini konsumen akan tetap ada. Perubahannya hanya ada pada prioritas utama kebutuhan golongan dan waktu pembeliannya,” ucap dosen Psikologi Ekonomi dan Perilaku Konsumen UGM, Rahmat Hidayat, Minggu (17/5/2020).

Hal ini dia utarakan dalam seminar KAGAMA Inkubasi Bisnis IX, yang bertajuk Business Survival “Memperkokoh Daya Tahan Usaha untuk Kelangsungan Bisnis dalam Situasi Pandemi Covid-19, pada Sabtu (16/05/2020) secara daring. (Baca juga: Agar Bertahan di Tengah Pandemi Corona, Pelaku Usaha Perlu Siasat Jitu)

Acara yang diikuti lebih dari 400 peserta tersebut diselenggarakan oleh Pengurus Pusat Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (PP KAGAMA). Bertindak sebagai keynote speaker, Budi Karya Sumadi, Menteri Perhubungan /Waketum PP KAGAMA. Termasuk Rahmat Hidayat, dosen Fakultas Psikologi UGM dan co-Founder RETA Consulting Indonesia; Silih Agung Waseso, Konsultan Revenue Branding; dan Amalia Prabowo, Direktur GETI eCommerce Entrepreneur Incubator, dengan moderator Aji Erlangga, Kadep Peningkatan Kompetensi Alumni UGM.

Menurutnya, sepanjang ada pembeli, ekonomi akan tetap hidup, bisnis akan jalan terus. Dia percaya ada peluang dalam situasi suram. Kondisi lockdown atau PSBB, bisa dimanfaatkan untuk pengembangan bisnis, tidak hanya sekadar survival saja.

Sejauh ini beberapa contoh bisnis yang terdampak, seperti bisnis transportasi, akomodasi pariwisata, hingga dunia pendidikan. Berbagai sektor yang terdampak ini termasuk ke dalam golongan losing industry sehingga bertahan menjadi jalan keluarnya.

Namun, di situasi pandemi ada bidang bisnis yang justru makin terbuka peluangnya. Misalnya, di bidang teknologi informasi, penjual pulsa dan paket data semakin laris. Kemudian ada juga bisnis kesehatan dan makanan olahan. ”Untuk itu, sektor bisnis yang diuntungkan dalam situasi ini digolongkan sebagai winning industry. Sebagai jalan keluar, mereka harus mencari cara untuk mengkapitalisasi situasi sekarang,” ucapnya.

Winning industry maupun losing industry, harus memperhatikan perubahan perilaku konsumsi rumah tangga, serta perilaku kerja dan kapasitas produksi. “Tidak hanya pelaku usaha yang sudah berpengalaman, bagi para pemula pun yang belum memulai bisa melihat peluang bisnis baru. Kemudian bisa mendesain bisnisnya sesuai kondisi saat ini,” ujarnya.

Untuk merealisasikannya, para pelaku bisa membaca kondisi psikologi konsumen di masa pandemi, baik secara subyektif maupun obyektif, serta faktor kognitif maupun emosi. “Cari tahu apa yang mereka pikirkan, apa yang dipikirkan, apa yang dibutuhkan. Kunci utamanya ada pada keselarasan antara rancangan bisnis dengan kebutuhan konsumen,” jelas co Founder RETA Conculting Indonesia ini.

Rahmad mencontohkan, di dunia bisnis akomodasi perhotelan, konsumen tidak lagi memikirkan soal kemewahan. Di masa pandemi, konsumen butuh sesuatu yang membuat mereka tetap sehat dan aman. Di sisi lain, di level rumah tangga, segala keputusan pembelian produk dari skala besar hingga skala kecil akan memengaruhi pasar. “Turunnya penghasilan keluarga, kepastian penghasilan keluarga, dan produktivitas akan berpengaruh pada perilaku konsumen. Namun, peluang bekerja di rumah juga akan melahirkan bisnis baru,” tuturnya.

Persoalan mendasarnya ada pada ketidakpastian di masa pandemi, sehingga jalan keluar paling realistis yang bisa ditempuh adalah bagaimana rumah tangga beradaptasi terhadap pandemi. Keterampilan baru yang sesuai dengan kondisi saat ini, merupakan satu kata kunci bagi proses adaptasi tersebut

Perubahan yang terjadi selama pandemi Covid-9, memaksa hadirnya norma-norma baru di kalangan konsumen. Norma baru tersebut, seperti cara bekerja, konsumsi, menikmati waktu santai, interaksi sosial, dan sebagainya. “Muncul pula rasionalitas baru. Konsumen lebih realistis soal kebutuhan dari pada keinginan. Selain itu, pola konsumsi mulai menjauhi unsur materialistis,” jelasnya.

Dia kemudian menambahkan, di balik kenormalan baru, terdapat kecemasan, ketakutan dan ketidakpastian. Menurutnya, ini menjadi model untuk merumuskan strategi bisnis. “Posisi bisnis, kalau berada di jurang kecemasan konsumen, maka konsumen harus didekati secara persuasif. Hambatannya ada di kecemasan dan ketidakpastian. Sediakan jembatan yang memberikan rasa aman bagi konsumen untuk menyeberangi jurang itu,” kata dosen lulusan Tilburg University, Belanda itu.

Ini membuka peluang asosiasi industri untuk menerapkan safety standard industry. Misalnya, dengan ritual cuci tangan, ada pengontrolan jarak konsumen, dan sebagainya. Konsumen yang berada di seberang jurang, juga bisa disiasati dengan strategi bisnis yang mendatangi konsumen. Misalnya, memanfaatkan sistem penjualan online untuk mengantarkan barang pesanan.

Sementara, jika bisnis dan konsumen berada di posisi yang sama di sebuah jurang, maka pelaku usaha cukup fokus pada pengembangan usahanya. Karena bisnis ini tidak menimbulkan potensi penularan penyakit. Bisnis di posisi ini, contohnya bisnis di bidang hiburan online.

Ketika posisi bisnis dalam hati konsumen, rasa takut justru menjadi peluang bisnis. Dalam hal ini pelaku bisnis memodifikasi ketakutan tersebut. “Seperti bisnis di bidang kesehatan, misalnya APD. Di masa pandemi Covid-19, jumlah penjualan APD dan produk kesehatan meningkat. Inovasinya bisa dengan membuat masker yang fashionable,” katanya.
(cip)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1430 seconds (0.1#10.140)