Untar Luluskan Grace Kurniadi, Lulusan Psikologi Klinis Tuli Pertama di Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Universitas Tarumanagara (Untar) berkomitmen memberi kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun, termasuk bagi orang dengan kebutuhan khusus. Hal ini dibuktikan dengan lulusnya Psikolog Tuli dari Program Pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, yaitu Grace Kurniadi. Tercatat Grace Kurniadi sebagai Psikolog tuli pertama di Indonesia.
Grace menuturkan awal mula memilih profesi psikolog. “Saya memilih pendidikan sebagai psikolog berawal dari usulan orang tua. Mereka melihat saya sering menjadi tempat bercerita bagi teman-teman di masa SMP dan SMA. Saya juga senang untuk mengamati hubungan antarmanusia,” katanya.
Jurusan pilihan Grace adalah Pendidikan Profesi Psikolog yang merupakan salah satu jurusan unggulan di Universitas Tarumanagara. “Jurusan tersebut hanya tersedia di Universitas Tarumanagara dan berada di area yang paling dekat dengan Jakarta. Selain itu, karena akses transportasi lebih mudah, dan juga ada satu mata kuliah yang jarang ada di kampus lain seperti art therapy, yang menurut saya menjadi nilai tambah dari Pendidikan Profesi Psikolog di Universitas Tarumanagara,”jelasnya.
Sebagai seorang tuli tentu perkuliahan dilalui dengan penuh perjuangan yang tidaklah mudah. Namun, berbagai kendala yang ada dilewati tanpa mengeluh. “Kendala yang saya alami dengan adanya ketulian dalam proses belajar, yaitu sulitnya menangkap gerakan bibir jika: orang yang berbicara membelakangi saya, senang berjalan-jalan, berbicara terlalu cepat/ berkumur-kumur gerakan bibirnya, ataupun artikulasinya tidak jelas. Hal lainnya, saya kurang bisa menanggapi dengan cepat jika masuk ke dalam kelompok lebih dari empat orang,” terangnya.
Namun demikian, Grace selalu berusaha mengatasinya dengan berkomunikasi yang baik dengan dosen khususnya terkait perkuliahan yang ia ambil seperti berkomunikasi untuk menjelaskan kondisinya serta meminta dosen tersebut untuk berbicara lebih perlahan agar mudah dipahami serta merekam proses perkuliahan untuk bisa diputar ulang kembali di rumah untuk memastikan tidak ada yang terlewat.
Menurutnya, dalam menghadapi tantangan yang ada selama berkuliah, perlu adanya perubahan cara berpikir, memiliki sikap terbuka dan memiliki kemauan untuk menerima keadaan. Selain itu, peran dan dukungan keluarga serta teman-teman sangat membantunya selama ini. Profesionalitas dosen pun turut mendukung dalam penyelesaian studinya.
“Untuk bisa melewati kesulitan-kesulitan tersebut, saya perlu mengubah pola pikir di dalam diri menjadi lebih positif, keterbukaan diri untuk meminta bantuan dan kemauan untuk menerima apapun keadaan diri sendiri. Berkat bantuan teman-teman selama proses perkuliahan tersebut yang mendukung dan mau membantu saya juga menjadi penyemangat untuk terus berjalan menyelesaikan yang sudah dimulai. Para dosen pun juga tidak keberatan untuk menjelaskan kembali di luar jam kelas. Orang tua pun juga terus mendorong untuk tetap maju, meski jika saya perlu mengulangi lagi. Tidak dari orang tua saja, saya juga mendapatkan dorongan dari hal yang saya amati pada lingkungan teman, dosen, dan juga buku yang saya baca,” katanya menerangkan.
Grace yang mengambil pendidikan Profesi Psikolog di Universitas Tarumanagara ini memiliki mimpi ingin bisa menjadi berkat bagi sesama juga dapat menulis buku. Ia juga berharap setelah lulus, bisa berbagi juga mengembalikan, dan bisa mengaplikasikan ilmu yang sudah didapatkan pada orang yang membutuhkan. Ia juga ingin mempelajari bahasa isyarat, agar teman-teman Tuli dapat mengakses layanan konseling dan dapat lebih nyaman berinteraksi, tanpa perlu menggunakan bantuan interpreter yang mungkin dapat memunculkan ketidaknyamanan pada calon klien tersebut.
Grace berharap adanya kesempatan pendidikan inklusif di perguruan tinggi seperti Untar yang membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun, khususnya bagi orang dengan kebutuhan khusus.
“Sebagai lulusan Profesi Psikolog dengan keterbatasan fisik yang diwisuda, harapanku terhadap Universitas Tarumanagara sebagai lembaga pendidikan tinggi adalah terus memberikan kesempatan bagi mahasiswa-mahasiswinya untuk meneruskan pendidikannya di Universitas Tarumanagara, tanpa mendiskriminasikan mahasiswa tersebut. Saya juga mengapresiasi Universitas Tarumanagara yang memiliki desain yang cukup ramah untuk pengguna kursi roda. Semoga di saat pandemi usai, Universitas Tarumanagara dapat mengembangkan desain gedung yang ramah bagi keterbatasan fisik dalam penglihatan,” Tutupnya.
Grace menuturkan awal mula memilih profesi psikolog. “Saya memilih pendidikan sebagai psikolog berawal dari usulan orang tua. Mereka melihat saya sering menjadi tempat bercerita bagi teman-teman di masa SMP dan SMA. Saya juga senang untuk mengamati hubungan antarmanusia,” katanya.
Jurusan pilihan Grace adalah Pendidikan Profesi Psikolog yang merupakan salah satu jurusan unggulan di Universitas Tarumanagara. “Jurusan tersebut hanya tersedia di Universitas Tarumanagara dan berada di area yang paling dekat dengan Jakarta. Selain itu, karena akses transportasi lebih mudah, dan juga ada satu mata kuliah yang jarang ada di kampus lain seperti art therapy, yang menurut saya menjadi nilai tambah dari Pendidikan Profesi Psikolog di Universitas Tarumanagara,”jelasnya.
Sebagai seorang tuli tentu perkuliahan dilalui dengan penuh perjuangan yang tidaklah mudah. Namun, berbagai kendala yang ada dilewati tanpa mengeluh. “Kendala yang saya alami dengan adanya ketulian dalam proses belajar, yaitu sulitnya menangkap gerakan bibir jika: orang yang berbicara membelakangi saya, senang berjalan-jalan, berbicara terlalu cepat/ berkumur-kumur gerakan bibirnya, ataupun artikulasinya tidak jelas. Hal lainnya, saya kurang bisa menanggapi dengan cepat jika masuk ke dalam kelompok lebih dari empat orang,” terangnya.
Namun demikian, Grace selalu berusaha mengatasinya dengan berkomunikasi yang baik dengan dosen khususnya terkait perkuliahan yang ia ambil seperti berkomunikasi untuk menjelaskan kondisinya serta meminta dosen tersebut untuk berbicara lebih perlahan agar mudah dipahami serta merekam proses perkuliahan untuk bisa diputar ulang kembali di rumah untuk memastikan tidak ada yang terlewat.
Menurutnya, dalam menghadapi tantangan yang ada selama berkuliah, perlu adanya perubahan cara berpikir, memiliki sikap terbuka dan memiliki kemauan untuk menerima keadaan. Selain itu, peran dan dukungan keluarga serta teman-teman sangat membantunya selama ini. Profesionalitas dosen pun turut mendukung dalam penyelesaian studinya.
“Untuk bisa melewati kesulitan-kesulitan tersebut, saya perlu mengubah pola pikir di dalam diri menjadi lebih positif, keterbukaan diri untuk meminta bantuan dan kemauan untuk menerima apapun keadaan diri sendiri. Berkat bantuan teman-teman selama proses perkuliahan tersebut yang mendukung dan mau membantu saya juga menjadi penyemangat untuk terus berjalan menyelesaikan yang sudah dimulai. Para dosen pun juga tidak keberatan untuk menjelaskan kembali di luar jam kelas. Orang tua pun juga terus mendorong untuk tetap maju, meski jika saya perlu mengulangi lagi. Tidak dari orang tua saja, saya juga mendapatkan dorongan dari hal yang saya amati pada lingkungan teman, dosen, dan juga buku yang saya baca,” katanya menerangkan.
Grace yang mengambil pendidikan Profesi Psikolog di Universitas Tarumanagara ini memiliki mimpi ingin bisa menjadi berkat bagi sesama juga dapat menulis buku. Ia juga berharap setelah lulus, bisa berbagi juga mengembalikan, dan bisa mengaplikasikan ilmu yang sudah didapatkan pada orang yang membutuhkan. Ia juga ingin mempelajari bahasa isyarat, agar teman-teman Tuli dapat mengakses layanan konseling dan dapat lebih nyaman berinteraksi, tanpa perlu menggunakan bantuan interpreter yang mungkin dapat memunculkan ketidaknyamanan pada calon klien tersebut.
Grace berharap adanya kesempatan pendidikan inklusif di perguruan tinggi seperti Untar yang membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun, khususnya bagi orang dengan kebutuhan khusus.
“Sebagai lulusan Profesi Psikolog dengan keterbatasan fisik yang diwisuda, harapanku terhadap Universitas Tarumanagara sebagai lembaga pendidikan tinggi adalah terus memberikan kesempatan bagi mahasiswa-mahasiswinya untuk meneruskan pendidikannya di Universitas Tarumanagara, tanpa mendiskriminasikan mahasiswa tersebut. Saya juga mengapresiasi Universitas Tarumanagara yang memiliki desain yang cukup ramah untuk pengguna kursi roda. Semoga di saat pandemi usai, Universitas Tarumanagara dapat mengembangkan desain gedung yang ramah bagi keterbatasan fisik dalam penglihatan,” Tutupnya.
(atk)