Bersaing dengan 352 Tim Dunia, UI Raih Gold Medal Prizes di iGEM Competition 2021
loading...
A
A
A
JAKARTA - Universitas Indonesia (UI) mencatat prestasi di ajang International Genetically Engineered Machine Competition (iGEM) 2021 di Paris, Perancis (4-14 November 2021). Sebanyak 14 mahasiswa UI lintas fakultas yang tergabung dalam tim iGEM UI berhasil mempersembahkan Gold Medal Prizes bagi UI.
Ini merupakan Gold Medal keempat yang UI dapatkan dalam penyelenggaraan iGEM setelah keikutsertaannya di ajang tersebut dari tahun 2013. Tahun ini, kompetisi iGEM melibatkan lebih dari 352 tim yang berasal dari seluruh dunia.
iGEM merupakan kompetisi sintetik biologi tahunan yang diadakan oleh iGEM Foundation, sebuah organisasi non-profit internasional yang berpusat di Boston, Massachusetts, Amerika Serikat.
Sejarah iGEM berawal dari student project yang dilakukan di kampus Massachusetts Institute of Technology (MIT) yang kemudian dikembangkan hingga akhirnya menjadi kompetisi sintetik biologi terbesar di dunia
Tim UI terdiri dari 9 mahasiswa Fakultas Kedokteran, yaitu Kevin Tjoa, Fransiskus Mikael C., Angelina Clarissa, William Nathaniel, Benedictus Ansel S., M. Afif Naufal, Firda Izzain B., Violine Martalia, Teshalonica Mellyfera.
Selain itu, tim juga terdiri dari mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, yaitu Samuel Febrian Wijaya, Gert Antonio Tobing, dan Hans Mahadhika, serta Madelstein Melhan (Fakultas Teknik), dan David Su (Fakultas Kedokteran Gigi).
Tahun ini, Tim UI mengangkat proyek berjudul Helicostrike. Helicostrike merupakan proyek yang berfokus untuk merancang E.coli yang dapat menghancurkan biofilm H.pylori dan membunuhnya.
“Kami membuat desain cara kerja dimana bakteri E.coli kami modifikasi dengan metode biologi sintetik sehingga dapat membunuh bakteri H.pylori pada sistem pencernan manusia yang merupakan salah satu faktor penyebab ulkus peptikum, gastritis kronik dan kanker lambung pada saluran pencernaan,” ujar Ketua Tim Kevin Tjoa melalui siaran pers, Kamis (25/11/2021).
Menurutnya, desain cara kerja ini penting sebagai salah satu upaya menekan risiko resistensi antibiotik terkait pengobatan infeksi H.pylori yang dilakukan secara konvensional.
Menurut Kevin, proyek ini menjadi sangat penting bagi komunitas di Indonesia, mengingat prevalensi infeksi H.pylori di Indonesia mencapai 22.1%. Diketahui pula bahwa beberapa suku di Indonesia memiliki kerentanan yang tinggi akan infeksi H.pylori, yaitu suku Batak, Bugis dan Papua.
Informasi ini mereka dapatkan dari wawancara dan hasil penelitian yang dilaksanakan oleh dekan FK UI, Prof. Dr.dr. Ari Fahrial Syam, Sp.PD-KGEH, MMB, FINASIM, FACP. Rancang desain ini memiliki beberapa keunggulan, di antaranya adalah lebih patient friendly.
“Ke depannya kami mengupayakan jika sudah menjadi produk, maka Helicostrike akan dibuat dalam bentuk yoghurt, sehingga lebih mudah atau enak dikonsumsi dibandingkan obat pada umumnya, namun tetap memiliki efektivitas yang tinggi,” ujarnya.
Selain itu, dengan adanya rancang desain ini diharapkan juga pengobatan pasien dapat berjalan dengan efektif-efisien tanpa menggunakan banyak obat, karena pengobatan konvensional saat ini menggunakan antibiotik kombinasi yang terdiri atas clarithromycin triple, sequential dan bismuth quadruple yang pengobatannya mencapai 10-14 hari.
Banyaknya jenis obat yang harus dikonsumsi dan panjangnya waktu konsumsi antibiotik ini dapat membuat pasien menjadi bosan dan tidak menghabiskan antibiotik sampai tuntas, sehingga meningkatkan risiko resistensi antibiotik.
Seluruh proses penelitian tim tersebut dilakukan di bawah bimbingan Dr. dr. Budiman Bela, SpMK(K) (Departemen Mikrobiologi FK UI), dibantu oleh segenap tim peneliti dari Pusat Riset Virologi dan Kanker Patobiologi (PRVKP) FKUI.
“Prestasi ini merupakan hal yang luar biasa mengingat tentu tidak mudah melakukan persiapan untuk kompetisi ini dalam suasana pandemi yang banyak membatasi pergerakan manusia ini,” ujar Dr. Budiman.
Situasi pandemi memang membawa kesulitan tersendiri bagi tim. “Kesulitan yang paling kami rasakan adalah tidak dapat bertemu langsung dan mengerjakan proyek di laboratorium basah/wet lab, sehingga kami berusaha lebih keras untuk membuktikan desain yang kami kerjakan memiliki efektivitas yang tinggi dengan modelling dari dry lab saja,” ujar Kevin.
Ini merupakan Gold Medal keempat yang UI dapatkan dalam penyelenggaraan iGEM setelah keikutsertaannya di ajang tersebut dari tahun 2013. Tahun ini, kompetisi iGEM melibatkan lebih dari 352 tim yang berasal dari seluruh dunia.
iGEM merupakan kompetisi sintetik biologi tahunan yang diadakan oleh iGEM Foundation, sebuah organisasi non-profit internasional yang berpusat di Boston, Massachusetts, Amerika Serikat.
Sejarah iGEM berawal dari student project yang dilakukan di kampus Massachusetts Institute of Technology (MIT) yang kemudian dikembangkan hingga akhirnya menjadi kompetisi sintetik biologi terbesar di dunia
Tim UI terdiri dari 9 mahasiswa Fakultas Kedokteran, yaitu Kevin Tjoa, Fransiskus Mikael C., Angelina Clarissa, William Nathaniel, Benedictus Ansel S., M. Afif Naufal, Firda Izzain B., Violine Martalia, Teshalonica Mellyfera.
Selain itu, tim juga terdiri dari mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, yaitu Samuel Febrian Wijaya, Gert Antonio Tobing, dan Hans Mahadhika, serta Madelstein Melhan (Fakultas Teknik), dan David Su (Fakultas Kedokteran Gigi).
Tahun ini, Tim UI mengangkat proyek berjudul Helicostrike. Helicostrike merupakan proyek yang berfokus untuk merancang E.coli yang dapat menghancurkan biofilm H.pylori dan membunuhnya.
“Kami membuat desain cara kerja dimana bakteri E.coli kami modifikasi dengan metode biologi sintetik sehingga dapat membunuh bakteri H.pylori pada sistem pencernan manusia yang merupakan salah satu faktor penyebab ulkus peptikum, gastritis kronik dan kanker lambung pada saluran pencernaan,” ujar Ketua Tim Kevin Tjoa melalui siaran pers, Kamis (25/11/2021).
Menurutnya, desain cara kerja ini penting sebagai salah satu upaya menekan risiko resistensi antibiotik terkait pengobatan infeksi H.pylori yang dilakukan secara konvensional.
Menurut Kevin, proyek ini menjadi sangat penting bagi komunitas di Indonesia, mengingat prevalensi infeksi H.pylori di Indonesia mencapai 22.1%. Diketahui pula bahwa beberapa suku di Indonesia memiliki kerentanan yang tinggi akan infeksi H.pylori, yaitu suku Batak, Bugis dan Papua.
Informasi ini mereka dapatkan dari wawancara dan hasil penelitian yang dilaksanakan oleh dekan FK UI, Prof. Dr.dr. Ari Fahrial Syam, Sp.PD-KGEH, MMB, FINASIM, FACP. Rancang desain ini memiliki beberapa keunggulan, di antaranya adalah lebih patient friendly.
“Ke depannya kami mengupayakan jika sudah menjadi produk, maka Helicostrike akan dibuat dalam bentuk yoghurt, sehingga lebih mudah atau enak dikonsumsi dibandingkan obat pada umumnya, namun tetap memiliki efektivitas yang tinggi,” ujarnya.
Selain itu, dengan adanya rancang desain ini diharapkan juga pengobatan pasien dapat berjalan dengan efektif-efisien tanpa menggunakan banyak obat, karena pengobatan konvensional saat ini menggunakan antibiotik kombinasi yang terdiri atas clarithromycin triple, sequential dan bismuth quadruple yang pengobatannya mencapai 10-14 hari.
Banyaknya jenis obat yang harus dikonsumsi dan panjangnya waktu konsumsi antibiotik ini dapat membuat pasien menjadi bosan dan tidak menghabiskan antibiotik sampai tuntas, sehingga meningkatkan risiko resistensi antibiotik.
Seluruh proses penelitian tim tersebut dilakukan di bawah bimbingan Dr. dr. Budiman Bela, SpMK(K) (Departemen Mikrobiologi FK UI), dibantu oleh segenap tim peneliti dari Pusat Riset Virologi dan Kanker Patobiologi (PRVKP) FKUI.
“Prestasi ini merupakan hal yang luar biasa mengingat tentu tidak mudah melakukan persiapan untuk kompetisi ini dalam suasana pandemi yang banyak membatasi pergerakan manusia ini,” ujar Dr. Budiman.
Situasi pandemi memang membawa kesulitan tersendiri bagi tim. “Kesulitan yang paling kami rasakan adalah tidak dapat bertemu langsung dan mengerjakan proyek di laboratorium basah/wet lab, sehingga kami berusaha lebih keras untuk membuktikan desain yang kami kerjakan memiliki efektivitas yang tinggi dengan modelling dari dry lab saja,” ujar Kevin.
(mpw)