Pakar IPB: Ini Cara Pertolongan Pertama Jika Digigit Ular Berbisa

Rabu, 01 Desember 2021 - 00:43 WIB
loading...
Pakar IPB: Ini Cara...
Dr Aceng Hidayat, Dosen sekaligus Kepala Manajemen Risiko dan Perlindungan Lingkungan Kerja (KMRPLK) IPB University. Foto/Dok/Humas IPB
A A A
JAKARTA - Kantor Manajemen Risiko dan Perlindungan Lingkungan Kerja (KMRPLK) IPB University menggelar workshop pertolongan pertama pada kecelakaan gigitan ular (26/11). Pelatihan ini bertujuan memberikan pengetahuan bagi warga IPB University tentang penanganan kecelakaan akibat gigitan ular.

Dr Aceng Hidayat, Sekretaris Institut yang juga Kepala KMRPLK IPB University menerangkan, workshop ini ditujukan agar warga IPB University dapat hidup berdampingan sekaligus berjaga-jaga apabila terjadi kasus digigit ular . Ia mengatakan, IPB University telah giat membangun budaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3).



Workshop ini menghadirkan Dr Tri Maharani, Pakar Toksikologi dari Indonesia Toxinology Society (ITS) dan Peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Pusat 2 Kementerian Kesehatan RI. Ia menerangkan, letak geografis Indonesia menjadikan jenis flora dan fauna beragam, termasuk dengan jenis ular.

“Kasus kejadian ular berbisa di masa pandemi dikatakan cukup tinggi dan kasus ini merupakan kondisi kegawatdaruratan yang tidak boleh diabaikan,” terang Tri Maharani.

Dalam membedakan gigitan ular berbisa dan tidak, Tri mengatakan, dapat dilihat dari jenis bekas gigitan yang menyerupai tusukan. Ia menerangkan, gigital ular berbisa biasanya mengakibatkan kefatalan berupa gagal nafas. Hal ini karena otot-otot pernafasan mengalami kelumpuhan akibat toksin dari bisa ular. Hasil akhirnya mengakibatkan gagal jantung dan kematian.



Namun demikian, katanya, persepsi penanganan gigitan ular di masyarakat kadang masih bersifat magis atau melalui tindakan yang tidak direkomendasikan. Misalnya seperti disedot, diikat, dikeluarkan darahnya, atau diobati ramuan herbal. Upaya ini dikhawatirkan tindakan dapat menyebabkan kefatalan lainnya.

“Peristiwa ini menjadi pekerjaan rumah bagi kita bersama bahwa first aid di kalangan masyarakat, medis, maupun terpelajar ternyata masih merupakan first aid yang tidak terekomendasi dan tidak teriset dengan benar, sehingga masih tidak bisa dipertanggungjawabkan,” ungkapnya.

Tri menjelaskan, cara yang direkomendasikan yakni berdasarkan riset WHO (World Health Organization) melalui imobilisasi atau membuat tidak bergerak. Ia menyebut, area tubuh yang terkena gigitan ular tidak boleh digerakkan untuk mencegah penyebaran. Area tubuh dapat ditahan misalnya dengan menggunakan papan kayu.

Namun demikian, terdapat jenis ular seperti Kobra Sumatera atau Kobra Jawa yang dapat menyemburkan bisa. “Venom dapat mengenai mata dan sifatnya kolagenase, sehingga dapat menyebabkan kebutaan apabila tidak dilakukan pertolongan pertama yang benar,” kata Tri.

Oleh karena itu, katanya, penanggulangannya yakni dengan melakukan irigasi dengan memberikan air atau cairan infus. “Bila pertolongan awal sudah benar, ketidakadaan antivenom tidak menjadi masalah lagi karena kita telah bisa memotong rantai preventif tadi menjadi rantai kuratif,” tambahnya.

Saat ini, katanya, ketersediaan antivenom di Indonesia hanya dua macam, sedangkan jenis ular berbisa di Indonesia beragam. Terlebih antivenom perlu diimpor dan pembeliaannya tidak semudah obat komersial sehingga pertolongan pertama menjadi skill yang penting.

“Apabila pertolongan pertama dan pemberian antivenom tidak efektif dan korban mengalami gagal jantung, usaha terakhir yang harus dilakukan adalah melakukan pijat jantung. Bantuan hidup dasar ini seharusnya dimiliki oleh setiap warga Indonesia, bukan hanya petugas medis,” pungkas Tri Maharani.
(mpw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1452 seconds (0.1#10.140)