Di Era Digital, DPR Dorong Balai Pustaka Lakukan Transformasi Bisnis
loading...
A
A
A
JAKARTA - PT Balai Pustaka (Persero) harus melakukan transformasi bisnis jika ingin tetap bertahan di era digital ini. BUMN ini didorong untuk mengikuti kebiasaan baru pembacanya, dan mengembangkan pendapatan baru melalui pengembangan model bisnis dan komunitas.
“Balai Pustaka harus berubah atau bertransformasi menjadi Balai Pustaka modern yang beradaptasi dengan digital total dengan pendekatan-pendekatan baru. Kalau tidak maka tidak ada gunanya direstrukturisasi,” kata anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Dr Evita Nursanty, MSc di Jakarta, Senin (14/2/2022).
Hal itu disampaikan Evita menanggapi upaya membentuk holding Danareksa atau pengelola BUMN lintas sektoral dengan 10 perusahaan anggota holding di dalamnya termasuk PT Balai Pustaka (Persero).
Menurut Evita, selama dua dekade terakhir bisnis tradisional percetakan telah menurun sangat tajam, Balai Pustaka harus menciptakan bisnis digitalnya secara total melalui lisensi digital, kemitraan dan lainnya.
Saat ini hampir semua penerbit besar mengembangkan versi digital, mengikuti kebiasaan baru pembacanya, mengatur semuanya lebih efisien mulai dari pembuatan konten, manajemen, distribusi dan proses alur kerja publikasi.
Tapi, Balai Pustaka diharapkan tidak sekadar mengubah model bisnis tradisionalnya menjadi digital melainkan bagaimana mereka kemudian mendorong pembacanya untuk berpartisipasi dalam proses transformasi itu, antara lain dengan membangun komunitasnya, dan menjangkau lebih banyak pembacanya dan memberikan pendapatan baru bagi Balai Pustaka.
“Balai Pustaka memiliki kekuatan sejarah dan potensi buku-buku, majalah dan dokumen penting karya para tokoh, penulis atau sastrawan besar di Indonesia. Balai Pustaka berperan penting dalam membangun karakter bangsa, membangun kecerdasan bangsa, termasuk melahirkan budaya membaca digital,” sambungnya.
Evita mengakui sudah ada upaya untuk membuat konten dalam bentuk digital baik itu e-book, e-library dan lainnya, tapi belum menjadi sebuah model bisnis kecuali masih terbatas dan tidak komprehensif.
Coba belajar bagaimana perusahaan penerbitan dunia melakukan transformasi, jangan tanggung-tanggung. Termasuk dalam pengembangan minat baca, ke depan tentunya tidak bisa lagi mengandalkan taman bacaan dalam bentuk cetak tapi mengikuti budaya baca baru, dan perpustakaan digital baru.
“Siapa sekarang yang kita lihat menenteng-nenteng buku cetak, tapi sudah buku digital yang bisa dibaca di laptop, smartphone, tab dan lainnya. Kita mau yang mereka baca digital itu adalah buku-buku digital terbitan Balai Pustaka, entah saat di jalan, saat liburan atau dimanapun,” sambung Evita lagi.
Evita menyebut dirinya sering ke daerah-daerah dan menemukan banyak buku mengenai Bung Karno maupun bapak pendiri bangsa lainnya yang kusut-kusut, dan tidak bisa dibaca oleh generasi muda sekarang.
Padahal, kalau ada versi digitalnya pasti lebih mudah. Begitu juga buku-buku yang ada di toko-toko lain, masih banyak juga yang bahasa Inggris tidak ada bahasa Indonesianya.
“Kita selalu bilang jangan lupa sejarah, tapi bagaimana mereka tahu kalau tidak membaca. Jadi penting agar anak-anak muda kita ini menjadi suka membaca dan mengenal tokoh bangsanya, sejarah bangsanya melalui e-book secara luas dan mudah diakses. Saya kuatir anak-anak muda kita ini tidak kenal lagi siapa itu Bung Hatta, Cut Nyak Dien, Cut Mutiah, Dewi Sartika, Martha Christina Tiahahu, Rangkayo Rasuna Said dan lainnya. Dulu waktu sekolah kita mengenal siapa itu Julius Caesar, tapi sekarang ditanya Bung Hatta saja cucu kita tidak tahu,” ucapnya.
Dalam rangka memperluas buku digital ini, Balai Pustaka bisa kolaborasi dan kerja sama dengan penerbit cetak lainnya di Indonesia.
“Balai Pustaka harus berubah atau bertransformasi menjadi Balai Pustaka modern yang beradaptasi dengan digital total dengan pendekatan-pendekatan baru. Kalau tidak maka tidak ada gunanya direstrukturisasi,” kata anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Dr Evita Nursanty, MSc di Jakarta, Senin (14/2/2022).
Hal itu disampaikan Evita menanggapi upaya membentuk holding Danareksa atau pengelola BUMN lintas sektoral dengan 10 perusahaan anggota holding di dalamnya termasuk PT Balai Pustaka (Persero).
Menurut Evita, selama dua dekade terakhir bisnis tradisional percetakan telah menurun sangat tajam, Balai Pustaka harus menciptakan bisnis digitalnya secara total melalui lisensi digital, kemitraan dan lainnya.
Saat ini hampir semua penerbit besar mengembangkan versi digital, mengikuti kebiasaan baru pembacanya, mengatur semuanya lebih efisien mulai dari pembuatan konten, manajemen, distribusi dan proses alur kerja publikasi.
Tapi, Balai Pustaka diharapkan tidak sekadar mengubah model bisnis tradisionalnya menjadi digital melainkan bagaimana mereka kemudian mendorong pembacanya untuk berpartisipasi dalam proses transformasi itu, antara lain dengan membangun komunitasnya, dan menjangkau lebih banyak pembacanya dan memberikan pendapatan baru bagi Balai Pustaka.
“Balai Pustaka memiliki kekuatan sejarah dan potensi buku-buku, majalah dan dokumen penting karya para tokoh, penulis atau sastrawan besar di Indonesia. Balai Pustaka berperan penting dalam membangun karakter bangsa, membangun kecerdasan bangsa, termasuk melahirkan budaya membaca digital,” sambungnya.
Evita mengakui sudah ada upaya untuk membuat konten dalam bentuk digital baik itu e-book, e-library dan lainnya, tapi belum menjadi sebuah model bisnis kecuali masih terbatas dan tidak komprehensif.
Coba belajar bagaimana perusahaan penerbitan dunia melakukan transformasi, jangan tanggung-tanggung. Termasuk dalam pengembangan minat baca, ke depan tentunya tidak bisa lagi mengandalkan taman bacaan dalam bentuk cetak tapi mengikuti budaya baca baru, dan perpustakaan digital baru.
“Siapa sekarang yang kita lihat menenteng-nenteng buku cetak, tapi sudah buku digital yang bisa dibaca di laptop, smartphone, tab dan lainnya. Kita mau yang mereka baca digital itu adalah buku-buku digital terbitan Balai Pustaka, entah saat di jalan, saat liburan atau dimanapun,” sambung Evita lagi.
Evita menyebut dirinya sering ke daerah-daerah dan menemukan banyak buku mengenai Bung Karno maupun bapak pendiri bangsa lainnya yang kusut-kusut, dan tidak bisa dibaca oleh generasi muda sekarang.
Padahal, kalau ada versi digitalnya pasti lebih mudah. Begitu juga buku-buku yang ada di toko-toko lain, masih banyak juga yang bahasa Inggris tidak ada bahasa Indonesianya.
“Kita selalu bilang jangan lupa sejarah, tapi bagaimana mereka tahu kalau tidak membaca. Jadi penting agar anak-anak muda kita ini menjadi suka membaca dan mengenal tokoh bangsanya, sejarah bangsanya melalui e-book secara luas dan mudah diakses. Saya kuatir anak-anak muda kita ini tidak kenal lagi siapa itu Bung Hatta, Cut Nyak Dien, Cut Mutiah, Dewi Sartika, Martha Christina Tiahahu, Rangkayo Rasuna Said dan lainnya. Dulu waktu sekolah kita mengenal siapa itu Julius Caesar, tapi sekarang ditanya Bung Hatta saja cucu kita tidak tahu,” ucapnya.
Dalam rangka memperluas buku digital ini, Balai Pustaka bisa kolaborasi dan kerja sama dengan penerbit cetak lainnya di Indonesia.
(mpw)