Priode Kedua, Prof. Fathul Wahid Resmi Jadi Rektor UII 2022-2026

Kamis, 02 Juni 2022 - 17:50 WIB
loading...
Priode Kedua, Prof. Fathul Wahid Resmi Jadi Rektor UII 2022-2026
Ketua Umum Pengurus Yayasan Badan Wakaf UII Suwarsono Muhammad (kanan) melantik Prof. Fathul Wahid sebagai Rektor UII 2022-2026, di kampus terpadu UII, Sleman, Kamis (2/6). Foto/Dok/Humas UII
A A A
JAKARTA - Universitas Islam Indonesia ( UII ) Yogyakarta resmi melantik Guru Besar bidang Ilmu Sistem Informatika Prof. Fathul Wahid menjadi rektor UII Yogyakarta periode 2022-2026.

Pelantikan secara resmi dilakukan oleh Ketua Umum Pengurus Yayasan Badan Wakaf UII Suwarsono Muhammad di auditorium KH Abdul Kahar Muzakkir kampus UII Terpadu, Sleman, Kamis (2/6/2022).



Prof. Fathul Wahid merupakan Rektor UII periode 2018-2022. Sehingga ini merupakan jabatan rektor periode kedua.

Prosesi pelantikan diawali dengan pembacaan Surat Keputusan Pengurus Yayasan Badan Wakaf UII tentang pemberhentian Prof. Fathul Wahid dari jabatan Rektor UII serta pelantikan dan pengambilan sumpah Prof. Fathul Wahid, sebagai Rektor UII Periode 2022-2026.

Prof. Fathul Wahid sebagai rektor UII selanjutnya melantik dan mengambil sumpah empat wakil rektor UII baru, yaitu Jaka Nugraha, sebagai Wakil Rektor Bidang Pengembangan Akademik dan Riset; Zaenal Arifin, Wakil Rektor, Bidang Sumber Daya dan Pengembangan Karir.



Rohidin, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Keagamaan, dan Alumni; serta Wiryono Raharjo, sebagai Wakil Rektor IV, Bidang Networking dan Kewirausahaan.

Dari empat wakil rektor itu, hanya Jaka Nugraha yang baru, sebelumnya jabatan Wakil Rektor Bidang Pengembangan Akademik dan Riset diemban oleh Imam Djati Widodo.

Prof. Fathul Wahid dalam pidatanya menyampaikan berbagi perspektif tentang pengelolaan perguruan tinggi. Menurutnya, saat ini banyak praktik pendidikan tinggi di Indonesia dan belahan dunia lain, yang terjebak pada pijakan neolibelarisme.

Indikasinya korporatisasi perguruan tinggi dengan segala turunannya. Sebagai contoh, perguruan tinggi hanya dianggap sebagai penghasil lulusan.

“Lulusan ini dianggap sebagai bagian dari mesin produksi dan bukan manusia yang dimuliakan semua potensi kemanusiaannya. Akibatnya, materi menjadi ukuran dominan,” katanya.

Fathul melanjutkan, di dalam perguruan tinggi yang sarat neoliberalisme, relasinya menjadi terlalu hirarkis dan birokratis. Pemimpin perguruan tinggi seakan menjadi bos besar. Akibatnya, ruang diskusi yang demokratis tidak mendapatkan tempat

Dosen dianggap sebagai buruh korporat dengan segepok daftar indikator yang harus dipenuhi dan bukan sebagai kolega intelektual yang setiap capaiannya merupakan manifestasi dari kesadaran dan tanggung jawabnya sebagai akademisi.

“Yang pertama bisa menjebakkan kepada mental pengguguran kewajiban, sedang yang kedua bisa menghasilkan entakan kuat untuk perubahan,” jelasnya.

Mahasiswa pun tak lebih dari sekumpulkan konsumen yang harus dipuaskan. Hubungan yang terjadi pun menjadi sangat transaksional. Mereka tidak dilihat sebagai pembelajar yang haus ilmu pengetahuan atau aspiran yang perlu pendampingan dalam pengembaraan intelektual.

“Karenanya tidak jarang, beragam tindakan yang berpotensi melanggar etika pun seakan menjadi halal dilakukan selama kinerja dapat dicapai, termasuk dalam terkait pemeringkatan,” paparnya.
(mpw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1896 seconds (0.1#10.140)