Konflik Rusia-Ukraina, Ini Pandangan Sejumlah Pakar dan Akademisi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pakar Geopolitik dan Politik Luar Negeri Indonesia dari Universitas Nasional, DR Hendrajit menilai, perang Rusia-Ukraina bukan sekadar persoalan kedua negara atau Rusia dengan blok Barat. Tetapi, juga ada hubungannya Rusia dengan China yang telah membentuk aliansi.
Namun, soal keberhasilan Indonesia mendamaikan Rusia-Ukraina , bergantung pada kondisi di Barat itu sendiri yang cukup dinamis. Apalagi, antar negara seperti Prancis juga ingin bikin kutub sendiri.
Pandangan tersebut terungkap dalam webinar bertajuk 'Pengaruh Konflik Rusia-Ukraina Terhadap Pelaksanaan Presidensi G20' yang digelar Salemba Institute, Senin, (27/6/2022).
Selain DR Hendrajit, sejumlah akademisi juga turut hadir di antaranya, pengamat Rusia Ahmad Fahrurodji, dan Pengamat Hubungan International/Dosen FISIP UMJ Dr. Asep Setiawan.
Menurut Hendrajit, kasus Ukraina hanya jadi pemantik permasalahan Rusia dengan blok Barat. Evolusi aliansi strategic Rusia dan China ini penting. Awalnya China dan Rusia sama-sama belum bisa menyaingi blok barat, namun sekarang bisa dilihat bagaimana mereka sudah bisa menyaingi blok Barat.
"Hubungan Rusia dan China menciptakan hubungan multipolar dan akhirnya bisa menjadi kutub. Dan ini menjadi momentum untuk bisa kembali mengaktifkan kembali gerakan Non Blok. Ini yang bisa didorong di G20 nanti. Gerakan non blok ini bisa jadi skema. G7 menjadi motor dari G20," tuturnya.
Hendrajit menambahkan, bahwa menghadapi fenomena multipolar, blok lama ini masih dalam skema lama yaitu blok Barat perspektif. Dari segi penanggaran blok barat dan blok China-Rusia punya perbedaan. Jika barat mayoritas dana diperbantukan lebih banyak ke ranah kerja militer, China-Rusia lebih banyak dalam ranah ekonomi.
"Barat ingin membendung China dengan militer, sedangkan China mengembangkan pengaruhnya dalam banyak hal dan konprehensif. Salt road maritime China prioritasnya adalah ekonomi. China menggunakan komprehensif security. Kondisi ini menarik polarasisasi blok barat dan timur
"Timur ini China dan Rusia. Dalam skema kebijakan bebas aktif Indonesia bukan upportunism atau pasif. Artinya, harus bisa membangun kekuatan ketiga dalam melihat krisis Rusia dan Ukraina," paparnya.
Menjawab pertanyaan soal keberhasilan Indonesia mendamaikan Rusia dan Ukraina, menurut Dendrajit, bergantung pada kondisi di Barat itu sendiri, yang cukup dinamis. Apalagi, antar negara seperti Prancis juga ingin bikin kutub sendiri.
"Indonesia harus bisa menghimpun dukungan dan kekuatan yang dulunya ikut dalam gerakan non blok. Artinya, daya tawar Indonesia tetap punya. Daya tawar Indonesia itu bergantung pada posisi Indonesia di ASIA dan Asean. Spirit non blok itu sejalan dengan China, bukan karena kita bergabung dengan China karena sebnarnya Indonesia dan China bisa dibilang segaris," terangnya.
Selain itu, Hendrajit juga mengatakan kalau personalitas juga penting, meski tidak begitu dominan. Tapi harus diakui wibawa personal presiden itu juga penting. "Ini bisa dicontohkan oleh Bung Karno dulu. Atau bisa dilihat bagaimana hubungan personalitas itu bisa memainkan perannya dalam hubungan antar negara," sebutnya.
Sementara itu, pengamat Rusia Ahmad Fahrurodji mengaku optimistis apa yang dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Ukraina dan Rusia, hasilnya akan ditentukan banyak hal. Namun, terpenting tidak hanya Rusia yang perlu dilobi, tetapi juga harus ke Ukraina dan yang di belakangnya, yaitu Barat yang mendukung Ukraina.
"Saya pikir ada perkembangan baik bahwa kedua belah pihak ada keinginan untuk berdamai. Artinya, kedua belah pihak membuka diri untuk berdamai. Bagi saya untuk pendekatan personal ini sangat penting. Apalagi untuk Rusia," ujarnya.
Soal kenapa harus Indonesia, menurut dia, karena Rusia tidak percaya dengan Barat. Makanya, penengah itu jangan dari Barat. "Maka di sini pentingnya posisi Indonesia. Lebih dari itu juga penting Indonesai bekerjasama dengan negara lain untuk jadi penengah," katanya.
Fahrurodji juga melihat kalau akar konflik Rusia- Ukraina sudah sejak dulu. Mulai dari runtuhnya Uni Soviet, pembagian Krimea dan terus berlanjut konflik, khususnya masalah Ukraina dengan wilayah Timur di Ukraina.
"Apalagi dengan presiden Ukraina saat ini, konflik semakin runcing dan puncaknya serangan Rusia. Namun menarik juga, sanksi Barat ke Rusia, seperti tidak mempan dan malah berbalik menyerang Barat itu sendiri. Apalagi Rusia sudah biasa dikenakan sanksi dan sekarang sudah lebih siap dengan sanksi Barat," ujarnya.
Kesempatan sama, Dr. Asep Setiawan (Pengamat Hubungan International/Dosen FISIP UMJ) menyebut kalau Indonesia memiliki daya tawar moral force. "Suara moral kita tinggi. Lalu pendektan personaliti itu menjamin, tapi dalam konteks sekarang spertinya kurang menjamin. Kita harus lihat dari pemimpin kita sendiri," ungkap Asep.
Namun, soal keberhasilan Indonesia mendamaikan Rusia-Ukraina , bergantung pada kondisi di Barat itu sendiri yang cukup dinamis. Apalagi, antar negara seperti Prancis juga ingin bikin kutub sendiri.
Pandangan tersebut terungkap dalam webinar bertajuk 'Pengaruh Konflik Rusia-Ukraina Terhadap Pelaksanaan Presidensi G20' yang digelar Salemba Institute, Senin, (27/6/2022).
Selain DR Hendrajit, sejumlah akademisi juga turut hadir di antaranya, pengamat Rusia Ahmad Fahrurodji, dan Pengamat Hubungan International/Dosen FISIP UMJ Dr. Asep Setiawan.
Menurut Hendrajit, kasus Ukraina hanya jadi pemantik permasalahan Rusia dengan blok Barat. Evolusi aliansi strategic Rusia dan China ini penting. Awalnya China dan Rusia sama-sama belum bisa menyaingi blok barat, namun sekarang bisa dilihat bagaimana mereka sudah bisa menyaingi blok Barat.
"Hubungan Rusia dan China menciptakan hubungan multipolar dan akhirnya bisa menjadi kutub. Dan ini menjadi momentum untuk bisa kembali mengaktifkan kembali gerakan Non Blok. Ini yang bisa didorong di G20 nanti. Gerakan non blok ini bisa jadi skema. G7 menjadi motor dari G20," tuturnya.
Hendrajit menambahkan, bahwa menghadapi fenomena multipolar, blok lama ini masih dalam skema lama yaitu blok Barat perspektif. Dari segi penanggaran blok barat dan blok China-Rusia punya perbedaan. Jika barat mayoritas dana diperbantukan lebih banyak ke ranah kerja militer, China-Rusia lebih banyak dalam ranah ekonomi.
"Barat ingin membendung China dengan militer, sedangkan China mengembangkan pengaruhnya dalam banyak hal dan konprehensif. Salt road maritime China prioritasnya adalah ekonomi. China menggunakan komprehensif security. Kondisi ini menarik polarasisasi blok barat dan timur
"Timur ini China dan Rusia. Dalam skema kebijakan bebas aktif Indonesia bukan upportunism atau pasif. Artinya, harus bisa membangun kekuatan ketiga dalam melihat krisis Rusia dan Ukraina," paparnya.
Menjawab pertanyaan soal keberhasilan Indonesia mendamaikan Rusia dan Ukraina, menurut Dendrajit, bergantung pada kondisi di Barat itu sendiri, yang cukup dinamis. Apalagi, antar negara seperti Prancis juga ingin bikin kutub sendiri.
"Indonesia harus bisa menghimpun dukungan dan kekuatan yang dulunya ikut dalam gerakan non blok. Artinya, daya tawar Indonesia tetap punya. Daya tawar Indonesia itu bergantung pada posisi Indonesia di ASIA dan Asean. Spirit non blok itu sejalan dengan China, bukan karena kita bergabung dengan China karena sebnarnya Indonesia dan China bisa dibilang segaris," terangnya.
Selain itu, Hendrajit juga mengatakan kalau personalitas juga penting, meski tidak begitu dominan. Tapi harus diakui wibawa personal presiden itu juga penting. "Ini bisa dicontohkan oleh Bung Karno dulu. Atau bisa dilihat bagaimana hubungan personalitas itu bisa memainkan perannya dalam hubungan antar negara," sebutnya.
Sementara itu, pengamat Rusia Ahmad Fahrurodji mengaku optimistis apa yang dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Ukraina dan Rusia, hasilnya akan ditentukan banyak hal. Namun, terpenting tidak hanya Rusia yang perlu dilobi, tetapi juga harus ke Ukraina dan yang di belakangnya, yaitu Barat yang mendukung Ukraina.
"Saya pikir ada perkembangan baik bahwa kedua belah pihak ada keinginan untuk berdamai. Artinya, kedua belah pihak membuka diri untuk berdamai. Bagi saya untuk pendekatan personal ini sangat penting. Apalagi untuk Rusia," ujarnya.
Soal kenapa harus Indonesia, menurut dia, karena Rusia tidak percaya dengan Barat. Makanya, penengah itu jangan dari Barat. "Maka di sini pentingnya posisi Indonesia. Lebih dari itu juga penting Indonesai bekerjasama dengan negara lain untuk jadi penengah," katanya.
Fahrurodji juga melihat kalau akar konflik Rusia- Ukraina sudah sejak dulu. Mulai dari runtuhnya Uni Soviet, pembagian Krimea dan terus berlanjut konflik, khususnya masalah Ukraina dengan wilayah Timur di Ukraina.
"Apalagi dengan presiden Ukraina saat ini, konflik semakin runcing dan puncaknya serangan Rusia. Namun menarik juga, sanksi Barat ke Rusia, seperti tidak mempan dan malah berbalik menyerang Barat itu sendiri. Apalagi Rusia sudah biasa dikenakan sanksi dan sekarang sudah lebih siap dengan sanksi Barat," ujarnya.
Kesempatan sama, Dr. Asep Setiawan (Pengamat Hubungan International/Dosen FISIP UMJ) menyebut kalau Indonesia memiliki daya tawar moral force. "Suara moral kita tinggi. Lalu pendektan personaliti itu menjamin, tapi dalam konteks sekarang spertinya kurang menjamin. Kita harus lihat dari pemimpin kita sendiri," ungkap Asep.
(mpw)