Ini Penjelasan Pakar Farmasi UGM Terkait Penggunaan Ganja Sebagai Obat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pakar Farmakologi dan Farmasi Klinik UGM atau Universitas Gajah Mada, Prof. Apt. Zullies Ikawati, PhD memberikan penjelasan mengenai ganja yang bisa digunakan untuk terapi dan obat. Hal ini dilakukan sebagai bentuk tanggapan atas viralnya seorang ibu dan anak penderita Cerebral Palsy yang mendesak pemerintah untuk melegalkan ganja untuk terapi medis.
Melansir dari kanal Youtube Official iNews, Rabu (6/07/2022), Zullies menjelaskan, sejatinya tanaman ganja memiliki berbagai senyawa aktif didalamnya. Sebagian mengenalnya sebagai Cannabinoids. Cannabinoids sendiri terdiri dari beberapa senyawa, yang paling umum ditemui adalah tetrahidrokanabinol yang memiliki sifat psikoaktif.
Baca juga : Pemerintah Godok Regulasi dan Fatwa Ganja Medis
Psikoaktif disini diartikan bisa berpengaruh terhadap psikis seperti munculnya ketergantungan dan efek lainnya yang mengarah ke mental. Selain itu, ada juga kandungan cannabidiol. Bedanya, senyawa ini bersifat non-psikoaktif.
Cannabidiol ini menjadi senyawa yang memberi efek seperti anti-kejang. Ketika cannabidiol diisolasi dari ganja, kemudian dikembangkan menjadi obat, maka senyawa ini bisa digunakan secara medis.
Sebagai contoh, di Amerika Serikat, Food and Drug Administration (FDA) mengaku bahwa ada obat yang berisikan cannabidiol. Contohnya adalah Epidiolex. Obat tersebut bisa digunakan pada penyakit tertentu seperti Lennox-Gastaut-Syndrome (LGS) yang ditandai adanya kejang.
Selain itu, penderita Cerebral Palsy yang sering mengalami kejang juga bisa menggunakannya. Namun, ketika ganjanya digunakan sepenuhnya dan masih tercampur senyawa lain, maka bisa berpotensi munculnya efek yang tidak diinginkan.
Sehingga, jika dikatakan sebagai ganja medis maka harus mengacu pada standar dan dosis yang terukur. Sehingga tidak boleh dikonsumsi secara mentah-mentah. Tetapi ketika dibuat dalam bentuk obat, mungkin bisa saja disebut ganja medis.
Lebih lanjut, Guru Besar Fakultas Farmasi UGM ini menyebut bahwa Ganja bukanlah satu-satunya obat untuk penyakit tertentu seperti Cerebral Palsy. Karena masih ada obat-obat lain yang bisa digunakan, terutama untuk mengatasi kejangnya.
Baca juga : Ganja Medis Apakah Aman Digunakan? Begini Jawaban IDI!
Hanya saja, senyawa seperti cannabidiol ini dikatakan oleh FDA untuk penderita yang sudah tidak responsif lagi terhadap terapi konvensional atau terapi lainnya. Jadi, dapat dipahami bahwa ganja memang bisa menjadi alternatif. Hanya saja bukan pilihan utama karena beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan.
Berdasarkan paparan dari Pakar Farmakologi dan Farmasi Klinik UGM, Prof. Apt. Zullies Ikawati, PhD tentang ganja medis, dapat dipahami bahwa konsumsi ganja sebagai obat bukan berarti mengkonsumsinya secara utuh. Melainkan harus diolah kembali dengan berbagai takaran atau dosis yang dibuat oleh ahlinya.
Melansir dari kanal Youtube Official iNews, Rabu (6/07/2022), Zullies menjelaskan, sejatinya tanaman ganja memiliki berbagai senyawa aktif didalamnya. Sebagian mengenalnya sebagai Cannabinoids. Cannabinoids sendiri terdiri dari beberapa senyawa, yang paling umum ditemui adalah tetrahidrokanabinol yang memiliki sifat psikoaktif.
Baca juga : Pemerintah Godok Regulasi dan Fatwa Ganja Medis
Psikoaktif disini diartikan bisa berpengaruh terhadap psikis seperti munculnya ketergantungan dan efek lainnya yang mengarah ke mental. Selain itu, ada juga kandungan cannabidiol. Bedanya, senyawa ini bersifat non-psikoaktif.
Cannabidiol ini menjadi senyawa yang memberi efek seperti anti-kejang. Ketika cannabidiol diisolasi dari ganja, kemudian dikembangkan menjadi obat, maka senyawa ini bisa digunakan secara medis.
Sebagai contoh, di Amerika Serikat, Food and Drug Administration (FDA) mengaku bahwa ada obat yang berisikan cannabidiol. Contohnya adalah Epidiolex. Obat tersebut bisa digunakan pada penyakit tertentu seperti Lennox-Gastaut-Syndrome (LGS) yang ditandai adanya kejang.
Selain itu, penderita Cerebral Palsy yang sering mengalami kejang juga bisa menggunakannya. Namun, ketika ganjanya digunakan sepenuhnya dan masih tercampur senyawa lain, maka bisa berpotensi munculnya efek yang tidak diinginkan.
Sehingga, jika dikatakan sebagai ganja medis maka harus mengacu pada standar dan dosis yang terukur. Sehingga tidak boleh dikonsumsi secara mentah-mentah. Tetapi ketika dibuat dalam bentuk obat, mungkin bisa saja disebut ganja medis.
Lebih lanjut, Guru Besar Fakultas Farmasi UGM ini menyebut bahwa Ganja bukanlah satu-satunya obat untuk penyakit tertentu seperti Cerebral Palsy. Karena masih ada obat-obat lain yang bisa digunakan, terutama untuk mengatasi kejangnya.
Baca juga : Ganja Medis Apakah Aman Digunakan? Begini Jawaban IDI!
Hanya saja, senyawa seperti cannabidiol ini dikatakan oleh FDA untuk penderita yang sudah tidak responsif lagi terhadap terapi konvensional atau terapi lainnya. Jadi, dapat dipahami bahwa ganja memang bisa menjadi alternatif. Hanya saja bukan pilihan utama karena beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan.
Berdasarkan paparan dari Pakar Farmakologi dan Farmasi Klinik UGM, Prof. Apt. Zullies Ikawati, PhD tentang ganja medis, dapat dipahami bahwa konsumsi ganja sebagai obat bukan berarti mengkonsumsinya secara utuh. Melainkan harus diolah kembali dengan berbagai takaran atau dosis yang dibuat oleh ahlinya.
(bim)