Gerakan Sekolah Menyenangkan Bangun Kembali Spirit Taman Siswa di Yogyakarta
loading...
A
A
A
JAKARTA - Yogyakarta sebagai kota pelajar disematkan karena sejarah berdirinya organisasi Taman Siswa oleh Ki Hajar Dewantara . Gerakan Sekolah Menyenangkan ( GSM ) pun mencoba menghidupkan kembali spirit Taman Siswa melalui sejumlah kegiatan.
Warisan nilai-nilai Ki Hajar Dewantara untuk menjadikan generasi yang mampu tumbuh menjadi dirinya sendiri, memiliki kemandirian berpikir, dan jiwa yang merdeka agaknya kurang dimaknai dengan sungguh-sungguh oleh pendidik masa kini.
Pendidikan di Yogyakarta memiliki indikator penilaian 3P yaitu Pelayanan, Penampilan, dan Prestasi. Akan tetapi, indikator tersebut tidak imbang dengan realitas yang terjadi.
"Problematika pendidikan di kota Yogya seperti demotivasi belajar siswa, kasus perundungan, dan tidak adanya ruang untuk mengeksplor lebih jauh keunikan siswa memunculkan pertanyaan apakah spirit Taman Siswa bisa dihidupkan kembali?," ujar Muhammad N. Rizal sebagai pendiri GSM, melalui siaran pers, Selasa (23/8/2022).
Baca juga: Miris, SMP di Surabaya Harus Jemput Bola dan Gratiskan SPP Sekolah demi Dapat 15 Siswa
Spirit tersebut dapat dibangun kembali dengan adanya Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) dengan ideologi kemanusiaannya. “Spirit Taman Siswa bisa berdiri kalau semua SD di Yogya mau mengubah kultur pendidikan menjadi lebih menyenangkan dan memanusiakan. Birokrasi yang lebih terbuka dan adaptif juga dibutuhkan untuk konsep pendidikan masa depan GSM,” lanjut Rizal.
Keberhasilan GSM dibuktikan dengan adanya pernyataan dari Sarmidi selaku Koordinator Pengawas kota Yogyakarta, dan Kepala UPT (Unit Pelaksana Teknis) Yogyakarta, yaitu GSM mendidik berdasarkan keanekaragaman anak-anak dan penanaman budi pekerti. “GSM menggunakan pendekatan sangat tepat dan bagus dengan pembelajaran untuk memanusiakan manusia. Maka bangkitlah negeri bersama GSM,” tutup Sarmidi.
“Sekolah perlu mendapatkan kesempatan yang setara dan diperlakukan sama, baik sekolah besar, favorit, atau tidak, Tidak dibeda-bedakan oleh takaran sumber daya infrastruktur, guru, dan muridnya. Sehingga, tidak adanya kastanisasi di komunitas GSM itu sendiri,” jelas Rizal.
Ada tiga hal yang dibangun di dalam komunitas GSM. Pertama, adanya ruang kemandirian bagi setiap guru dan kepala sekolah untuk membentuk jiwa-jiwa yang merdeka dalam membuat kurikulum sekolahnya sendiri, dan perencanaan pembelajaran sendiri yang disesuaikan kebutuhan serta keunikan muridnya.
Kedua, adanya peningkatan kapasitas diri setiap guru dalam hal profesionalisme, kompetensi, karakter, dan mindset. Ketiga, aktivitas bertukar praktik baik para guru dalam mengajar agar tercipta kualitas mengajar sebaik mungkin.
Warisan nilai-nilai Ki Hajar Dewantara untuk menjadikan generasi yang mampu tumbuh menjadi dirinya sendiri, memiliki kemandirian berpikir, dan jiwa yang merdeka agaknya kurang dimaknai dengan sungguh-sungguh oleh pendidik masa kini.
Pendidikan di Yogyakarta memiliki indikator penilaian 3P yaitu Pelayanan, Penampilan, dan Prestasi. Akan tetapi, indikator tersebut tidak imbang dengan realitas yang terjadi.
"Problematika pendidikan di kota Yogya seperti demotivasi belajar siswa, kasus perundungan, dan tidak adanya ruang untuk mengeksplor lebih jauh keunikan siswa memunculkan pertanyaan apakah spirit Taman Siswa bisa dihidupkan kembali?," ujar Muhammad N. Rizal sebagai pendiri GSM, melalui siaran pers, Selasa (23/8/2022).
Baca juga: Miris, SMP di Surabaya Harus Jemput Bola dan Gratiskan SPP Sekolah demi Dapat 15 Siswa
Spirit tersebut dapat dibangun kembali dengan adanya Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) dengan ideologi kemanusiaannya. “Spirit Taman Siswa bisa berdiri kalau semua SD di Yogya mau mengubah kultur pendidikan menjadi lebih menyenangkan dan memanusiakan. Birokrasi yang lebih terbuka dan adaptif juga dibutuhkan untuk konsep pendidikan masa depan GSM,” lanjut Rizal.
Keberhasilan GSM dibuktikan dengan adanya pernyataan dari Sarmidi selaku Koordinator Pengawas kota Yogyakarta, dan Kepala UPT (Unit Pelaksana Teknis) Yogyakarta, yaitu GSM mendidik berdasarkan keanekaragaman anak-anak dan penanaman budi pekerti. “GSM menggunakan pendekatan sangat tepat dan bagus dengan pembelajaran untuk memanusiakan manusia. Maka bangkitlah negeri bersama GSM,” tutup Sarmidi.
“Sekolah perlu mendapatkan kesempatan yang setara dan diperlakukan sama, baik sekolah besar, favorit, atau tidak, Tidak dibeda-bedakan oleh takaran sumber daya infrastruktur, guru, dan muridnya. Sehingga, tidak adanya kastanisasi di komunitas GSM itu sendiri,” jelas Rizal.
Ada tiga hal yang dibangun di dalam komunitas GSM. Pertama, adanya ruang kemandirian bagi setiap guru dan kepala sekolah untuk membentuk jiwa-jiwa yang merdeka dalam membuat kurikulum sekolahnya sendiri, dan perencanaan pembelajaran sendiri yang disesuaikan kebutuhan serta keunikan muridnya.
Kedua, adanya peningkatan kapasitas diri setiap guru dalam hal profesionalisme, kompetensi, karakter, dan mindset. Ketiga, aktivitas bertukar praktik baik para guru dalam mengajar agar tercipta kualitas mengajar sebaik mungkin.