PB PGRI Beri Catatan Ini Terkait Tunjangan Profesi Guru di RUU Sisdiknas
loading...
A
A
A
JAKARTA - PB PGRI memberikan catatan terkait Tunjangan Profesi Guru (TPG) dalam RUU Sisdiknas. PB PGRI meminta agar tunjangan profesi guru tetap diberikan kepada guru dan dinyatakan secara tegas dalam Undang-undang Sisdiknas .
Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Prof. Dr Unifah Rosyidi mengatakan, upaya meningkatkan kesejahteraan dan menjaga kualitas guru seperti disampaikan Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim dalam video “Kupas Tuntas Isu Kesejahteraan Guru dalam RUU Sisdiknas”, patut diapresiasi.
Baca juga: Ini Perbandingan Tunjangan Guru PNS dan Non PNS
Meski demikian, katanya ada beberapa catatan mengenai paparan tersebut. Pertama, ujarnya, penghapusan UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, kemudian digabung dalam RUU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) merupakan sesuatu yang memprihatinkan karena tidak ada lagi penghargaan kepada guru yang jumlahnya 3,1 juta orang sebagai sebuah profesi.
Padahal katanya, profesi lainnya diakui dalam sebuah undang-undang seperti UU 18/2003 tentang Advokat, UU 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, UU 38/2014 tentang Keperawatan, UU 11/2014 tentang Keinsinyuran, serta berbagai profesi lainnya.
“Penghapusan guru sebagai sebuah profesi, menihilkan pengabdian serta kerja keras guru yang selama ini dengan tulus ikhlas bertugas di seluruh pelosok negeri untuk mencerdaskan anak-anak bangsa. Bagi kami UU Guru dan Dosen adalah Lex Specialis Derogat Legi Generali bagi profesi guru,” katanya, melalui keterangan resmi, Jumat (16/9/2022).
Dia menjelaskan, seiring dengan penghapusan UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, tunjangan profesi guru juga bakal dihapuskan. Penghapusan tunjangan profesi guru adalah kebijakan yang sangat menyakitkan dan merendahkan.
“Tunjangan profesi bukan sekedar persoalan uang, tetapi sebuah penghargaan dan penghormatan negara terhadap profesi guru. Guru merasa bangga karena profesinya diakui dan dihormati negara,” ungkapnya.
Menyangkut tunjangan profesi, memang dalam RUU Sisdiknas Pasal 145 Ayat (1) dinyatakan, “Setiap guru dan dosen yang telah menerima tunjangan profesi, tunjangan khusus, dan/atau tunjangan kehormatan yang diatur dalam UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen sebelum undang-undang ini diundangkan, tetap menerima tunjangan tersebut sepanjang masih memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”.
“Dalam pandangan kami, frasa “sebelum undang-undang ini diundangkan”, artinya tunjangan profesi guru akan hilang, jika RUU Sisdiknas ini diundangkan. Jika Kemendikbudristek bersungguh-sungguh akan tetap memberikan TPG, maka frasa “sebelum undang-undang ini diundangkan” harus dihapus. Penghapusan ini sekaligus agar substansi RUU Sisdiknas tidak bias dan multi tafsir serta ada jaminan guru tetap menerima tunjangan profesi,” katanya.
Ketiga, lanjut Unifah, Kemendikbudristek secara lisan menyatakan, pemberian tunjangan untuk guru Aparatur Sipil Negara akan mengacu kepada UU No 5 Tahun 2014 tentang ASN berupa tunjangan fungsional. Meski demikian, ketentuan ini tidak tercantum secara eksplisit dalam RUU Sisdiknas. Hanya disampaikan secara lisan.
Selain itu mesti disadari, tunjangan profesi berbeda dengan tunjangan fungsional yang melekat dalam jabatan/kepangkatan seseorang. Adapun tunjangan profesi guru landasan hukumnya sangat kuat yakni Pasal 16 Ayat (1) dan (2) dan Pasal 15 Ayat (1) UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen.
“Karena tidak dinyatakan secara tertulis, menimbulkan kekhawatiran di kalangan guru apakah Kemendikbudristek bersungguh-sungguh akan memberikan tunjangan “fungsional” untuk guru? Jika besaran tunjangan profesi diikat oleh undang-undang sebesar satu kali gaji, bagaimana dengan tunjangan fungsional? Selama ini tidak pernah ada penjelasan dari Kemendikbudristek, apalagi dinyatakan secara tegas dalam undang-undang sehingga menimbulkan kekhawatiran di kalangan guru,” imbuhnya.
Keempat, dia mengungkapkan, lebih memprihatinkan lagi guru-guru sekolah swasta karena pengaturannya akan mengacu kepada UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja. Tidak ada lagi kekhususan untuk dunia pendidikan dan profesi guru, melainkan disamakan penghasilannya dengan buruh.
Baca juga: Miris, Perjuangan Guru Honorer Bergaji Rp250 Ribu per Bulan Harus Besarkan dan Biayai 3 Anak
Selain itu Kemendikbudristek mengesampingkan atau tutup mata terhadap kondisi sekolah swasta di Tanah Air. Tidak semua sekolah swasta kondisinya baik secara ekonomi. Banyak sekolah swasta yang kondisinya memprihatinkan, namun dilandasi semangat pengabdian yang tulus para pengurusnya, mereka tetap memberikan pelayanan pendidikan terbaik kepada peserta didik yang tidak mampu secara ekonomi.
“Kemendikbudristek memang menjanjikan akan memberikan tambahan BOS kepada sekolah-sekolah swasta tersebut. Namun bagi kami BOS itu adalah anggaran dari peserta didik untuk peserta didik, penggunaannya adalah untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan di sekolah, bukan diperuntukan bagi gaji guru,” tuturnya.
Berdasarkan paparan di atas, terangnya, maka PB PGRI meminta agar tunjangan profesi guru tetap diberikan kepada guru dan dinyatakan secara tegas dalam Undang-undang Sisdiknas. Selain itu PB PGRI sangat setuju dan berkomitmen untuk mendukung Kemendikbudristek dalam meningkatkan kompetensi dan profesionalisme guru.
“Karena itu PPG tidak dilakukan dengan metode yang rumit, namun melihat kompetensi dan profesionalisme guru di kelas. Sertifikasi harus merupakan bagian integral dari pengembangan profesi guru. Guru harus terus-menerus mendapat pelatihan terstruktur yang diselenggararakan oleh lembaga khusus dan profesional. Jadi untuk meningkatkan kesejahteraan guru, sudah selayaknya tunjangan profesi guru tidak dihapuskan,” tegasnya.
Sedangkan untuk meningkatkan kualitas guru, sistem pembinaan profesi yang harus diperbaiki. Melalui kedua langkah tersebut, kita mengharapkan akan tercipta guru-guru yang sejahtera dan berkualitas sehingga akan membawa kemajuan bagi Indonesia.
Patut diingat oleh pemerintah, katanya, bahwa PGRI akan terus berjuang demi kemaslahatan guru sebab memiliki berbagai argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan secara historis, filosofis, akademis, dan empiris mengenai urgensi TPG bagi keberlangsungan profesi guru.
Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Prof. Dr Unifah Rosyidi mengatakan, upaya meningkatkan kesejahteraan dan menjaga kualitas guru seperti disampaikan Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim dalam video “Kupas Tuntas Isu Kesejahteraan Guru dalam RUU Sisdiknas”, patut diapresiasi.
Baca juga: Ini Perbandingan Tunjangan Guru PNS dan Non PNS
Meski demikian, katanya ada beberapa catatan mengenai paparan tersebut. Pertama, ujarnya, penghapusan UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, kemudian digabung dalam RUU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) merupakan sesuatu yang memprihatinkan karena tidak ada lagi penghargaan kepada guru yang jumlahnya 3,1 juta orang sebagai sebuah profesi.
Padahal katanya, profesi lainnya diakui dalam sebuah undang-undang seperti UU 18/2003 tentang Advokat, UU 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, UU 38/2014 tentang Keperawatan, UU 11/2014 tentang Keinsinyuran, serta berbagai profesi lainnya.
“Penghapusan guru sebagai sebuah profesi, menihilkan pengabdian serta kerja keras guru yang selama ini dengan tulus ikhlas bertugas di seluruh pelosok negeri untuk mencerdaskan anak-anak bangsa. Bagi kami UU Guru dan Dosen adalah Lex Specialis Derogat Legi Generali bagi profesi guru,” katanya, melalui keterangan resmi, Jumat (16/9/2022).
Dia menjelaskan, seiring dengan penghapusan UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, tunjangan profesi guru juga bakal dihapuskan. Penghapusan tunjangan profesi guru adalah kebijakan yang sangat menyakitkan dan merendahkan.
“Tunjangan profesi bukan sekedar persoalan uang, tetapi sebuah penghargaan dan penghormatan negara terhadap profesi guru. Guru merasa bangga karena profesinya diakui dan dihormati negara,” ungkapnya.
Menyangkut tunjangan profesi, memang dalam RUU Sisdiknas Pasal 145 Ayat (1) dinyatakan, “Setiap guru dan dosen yang telah menerima tunjangan profesi, tunjangan khusus, dan/atau tunjangan kehormatan yang diatur dalam UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen sebelum undang-undang ini diundangkan, tetap menerima tunjangan tersebut sepanjang masih memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”.
“Dalam pandangan kami, frasa “sebelum undang-undang ini diundangkan”, artinya tunjangan profesi guru akan hilang, jika RUU Sisdiknas ini diundangkan. Jika Kemendikbudristek bersungguh-sungguh akan tetap memberikan TPG, maka frasa “sebelum undang-undang ini diundangkan” harus dihapus. Penghapusan ini sekaligus agar substansi RUU Sisdiknas tidak bias dan multi tafsir serta ada jaminan guru tetap menerima tunjangan profesi,” katanya.
Ketiga, lanjut Unifah, Kemendikbudristek secara lisan menyatakan, pemberian tunjangan untuk guru Aparatur Sipil Negara akan mengacu kepada UU No 5 Tahun 2014 tentang ASN berupa tunjangan fungsional. Meski demikian, ketentuan ini tidak tercantum secara eksplisit dalam RUU Sisdiknas. Hanya disampaikan secara lisan.
Selain itu mesti disadari, tunjangan profesi berbeda dengan tunjangan fungsional yang melekat dalam jabatan/kepangkatan seseorang. Adapun tunjangan profesi guru landasan hukumnya sangat kuat yakni Pasal 16 Ayat (1) dan (2) dan Pasal 15 Ayat (1) UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen.
“Karena tidak dinyatakan secara tertulis, menimbulkan kekhawatiran di kalangan guru apakah Kemendikbudristek bersungguh-sungguh akan memberikan tunjangan “fungsional” untuk guru? Jika besaran tunjangan profesi diikat oleh undang-undang sebesar satu kali gaji, bagaimana dengan tunjangan fungsional? Selama ini tidak pernah ada penjelasan dari Kemendikbudristek, apalagi dinyatakan secara tegas dalam undang-undang sehingga menimbulkan kekhawatiran di kalangan guru,” imbuhnya.
Keempat, dia mengungkapkan, lebih memprihatinkan lagi guru-guru sekolah swasta karena pengaturannya akan mengacu kepada UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja. Tidak ada lagi kekhususan untuk dunia pendidikan dan profesi guru, melainkan disamakan penghasilannya dengan buruh.
Baca juga: Miris, Perjuangan Guru Honorer Bergaji Rp250 Ribu per Bulan Harus Besarkan dan Biayai 3 Anak
Selain itu Kemendikbudristek mengesampingkan atau tutup mata terhadap kondisi sekolah swasta di Tanah Air. Tidak semua sekolah swasta kondisinya baik secara ekonomi. Banyak sekolah swasta yang kondisinya memprihatinkan, namun dilandasi semangat pengabdian yang tulus para pengurusnya, mereka tetap memberikan pelayanan pendidikan terbaik kepada peserta didik yang tidak mampu secara ekonomi.
“Kemendikbudristek memang menjanjikan akan memberikan tambahan BOS kepada sekolah-sekolah swasta tersebut. Namun bagi kami BOS itu adalah anggaran dari peserta didik untuk peserta didik, penggunaannya adalah untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan di sekolah, bukan diperuntukan bagi gaji guru,” tuturnya.
Berdasarkan paparan di atas, terangnya, maka PB PGRI meminta agar tunjangan profesi guru tetap diberikan kepada guru dan dinyatakan secara tegas dalam Undang-undang Sisdiknas. Selain itu PB PGRI sangat setuju dan berkomitmen untuk mendukung Kemendikbudristek dalam meningkatkan kompetensi dan profesionalisme guru.
“Karena itu PPG tidak dilakukan dengan metode yang rumit, namun melihat kompetensi dan profesionalisme guru di kelas. Sertifikasi harus merupakan bagian integral dari pengembangan profesi guru. Guru harus terus-menerus mendapat pelatihan terstruktur yang diselenggararakan oleh lembaga khusus dan profesional. Jadi untuk meningkatkan kesejahteraan guru, sudah selayaknya tunjangan profesi guru tidak dihapuskan,” tegasnya.
Sedangkan untuk meningkatkan kualitas guru, sistem pembinaan profesi yang harus diperbaiki. Melalui kedua langkah tersebut, kita mengharapkan akan tercipta guru-guru yang sejahtera dan berkualitas sehingga akan membawa kemajuan bagi Indonesia.
Patut diingat oleh pemerintah, katanya, bahwa PGRI akan terus berjuang demi kemaslahatan guru sebab memiliki berbagai argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan secara historis, filosofis, akademis, dan empiris mengenai urgensi TPG bagi keberlangsungan profesi guru.
(nnz)