Melirik Vokasi, Jalur Pendidikan Tinggi yang Makin Digandrungi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Berkuliah di politeknik atau vokasi yang berinduk pada universitas dan institut kerap dianggap sebagai mahasiswa kelas dua. Stigma itu melekat berpuluh-puluh tahun. Sekalipun itu berstatus negeri karena dianggap pilihan kedua setelah calon mahasiswa pontang-panting mengikuti tes untuk masuk program-program strata-1. Di dunia kerja pun, diskriminasi terhadap lulusan diploma III bisa terjadi, terutama untuk perkembangan karier.
Tetapi itu dulu. Kini animo remaja untuk menempuh bisa kuliah di jalur vokasi justru semakin tinggi. Pola pendidikan dengan lebih mengedepankan keterampilan yang dibutuhkan industry, membuat lulusan vokasi mudah memperoleh pekerjaan.
Sejak pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), vokasi terus digaungkan sebagai jalur pendidikan yang penting untuk membuat generasi muda lebih siap kerja. Jokowi bahkan secara khusus menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2019 Tentang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang di dalamnya tercantum pembentukan direktorat jenderal (ditjen) baru, yakni pendidikan vokasi. Ini bentuk dukungan serius pemerintah dalam pengembangan pendidikan vokasi.
Dibekali keterampilan khusus yang dibutuhkan industri, tak heran bila kini lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK), politeknik, dan vokasi di kampus-kampus negeri tak lagi dipandang sebelah mata.
Wakil Direktur Bidang Kerja Sama Politeknik Negeri Jakarta (PNJ) Dewi Yanti Liliana mengatakan pemerintah bukan hanya mendorong, tapi menyiapkan ekosistem pendidikan vokasi dan penyerapan tenaga kerjanya oleh dunia usaha. Dia mengklaim animo pelajar yang ingin masuk PNJ sangat tinggi. Setiap tahun, pendaftarnya mencapai lebih dari 10.000, tapi yang diterima hanya 3.000 orang.
“Dari sisi siswa atau pendaftar pun sudah terliterasi apa itu jalur vokasi. Karena vokasi itu yang mempersiapkan seseorang untuk langsung bekerja di industri sehingga proses pembelajarannya lebih banyak sesuai kebutuhan industri. (Kami) menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang siap untuk bekerja,” ujarnya saat dihubungi Koran SINDO, Kamis (24/11/2022).
PNJ sendiri memiliki dua bidang pendidikan keahlian, yakni rekayasa dan humaniora. Jurusan yang masuk dalam bidang rekayasa, seperti teknik sipil, mesin, elektro, grafika dan penerbitan, serta informatika dan komputer. Sedangkan jurusan yang masuk humaniora, seperti akuntansi dan administrasi niaga. PNJ tidak hanya menyelenggarakan program studi diploma III (D-III), tetapi juga diploma IV (D-IV).
Lulusan D-IV akan memiliki gelar sarjana sains terapan (S.ST). Ini sudah setara dengan lulusan S-1. Sederet program studi D-IV di PNJ, antara lain, teknik perancangan jalan dan jembatan, manufaktur, teknologi rekayasa konversi energi, teknik otomasi listrik industri, keuangan dan perbankan, serta teknologi industri kemasan. Meskipun punya dua bidang pendidikan vokasi, Dewi menerangkan pihaknya memiliki standar yang sama dan sudah ditetapkan oleh pemerintah dan industri.
Setiap mahasiswa pun nanti dibekali dengan sertifikat kompetensi. “Penekanannya di sini bukan hanya teknik, tapi kurikulum politeknik disusun oleh advisory board. Ini terdiri dari komponen akademisi dan industri. Jadi, kenapa politeknik bisa memenuhi kebutuhan industri? Karena sesuai demand-nya. Kami memperkecil gap antara kalau misalnya akademisi membuat kurikulum sendiri, ketika lulus belum tentu sesuai kebutuhan industri,” paparnya.
Foto/dok.SINDOnews
Dalam advisory board juga ada alumni yang memberikan masukan tentang pengalaman dan kebutuhan keterampilan di dunia industri dan usaha. Contohnya, jurusan teknik grafika dan penerbitan itu berdiri di dua kaki, yakni rekayasa dan humaniora. Maka, PNJ juga menerima masukan dan berkomunikasi dengan sejumlah industri, seperti packaging. Ini membuat proses akademik akan menciptakan lulusan dengan spesifikasi yang tinggal diserap oleh industri.
Lulusan Institut Teknologi Sepuluh Nopember itu menjelaskan pihaknya juga mengikuti program-program prioritas pemerintah. Dari sisi penelitian, PNJ mengikuti prioritas riset nasional yang mengarah ke blue dan green economy, dan sustainable energy. Kampus yang bermukim di Depok ini memiliki riset unggulan di bidang electric vehicle beserta charging station.
“PNJ mendapat hibah dari Swiss. Kita memiliki program renewable energy sustainability development. Di situ akan mencetak SDM-SDM yang siap untuk mengimplementasikan renewable energi diantaranya kendaraan listrik. PNJ sudah memiliki charging station. Nantinya arahnya kan ke sana. Nanti butuh charging station untuk pengisian listrik. PNJ baru satu-satunya yang memiliki charging station,” tuturnya.
PNJ pun bekerja sama dengan sejumlah perusahaan besar dalam kerangka link and match, seperti PT Badak dan Trakindo. PNJ juga bekerja sama perguruan tinggi di luar negeri, Management And Science University Malaysia, untuk program double degree dan magister. Hal serupa juga dilakukan oleh Program Pendidikan Vokasi Universitas Indonesia (UI). Vokasi UI bekerja sama dengan Queensland University, Australia dan Tokyo Metropolitan University, Jepang.
Salah satu masalah lulusan D-III di Indonesia adalah sering mengalami kesulitan untuk melanjutkan S-1 karena tidak ada jurusan yang sejalur. Direktur Vokasi UI Padang Wicaksono mengatakan lulusan D-III vokasi UI bisa melanjutkan di dua universitas itu untuk mendapatkan gelar D-IV atau yang setara S-1. Vokasi UI telah mendobrak akses itu, diantaranya, dengan bekerja sama dengan fakultas-fakultas pengampu program vokasi ini dahulunya untuk extension. Waktunya kuliahnya pun lebih pendek, yakni 3 semester.
Vokasi UI pun membuka D-IV untuk lulusan D-III dari luar. Syaratnya, sudah bekerja. Bahkan, ada program advance dimana lulusan D-III bisa mengikuti program magister asalkan punya pengalaman bekerja minimal selama dua tahun. “Artinya, seseorang harus diberikan kesempatan dan edukasinya itu seumur hidup. Bagi D-III yang langsung kerja, silakan. Kemudian, dia ingin menambah skill dan knowledge, juga kita fasilitasi ke D-IV atau advance magister,” ujarnya kepada Koran SINDO.
Lulusan The University of Tokyo itu mengungkapkan perusahaan nasional dan multinasional selama ini lebih terbuka dalam menerima lulusan D-III dan D-IV. Berdasarkan cerita para alumni, menurutnya, mereka diperlakukan sama saat proses lamaran atau seleksi, kemudian ikuti masa uji coba pekerjaan sekitar 6 bulan. Setelah itu, perusahaan nasional dan multinasional besar tak lagi peduli dengan gelar. Perusahaan akan melihat keterampilan dan kemampuan mereka dalam bekerja.
Vokasi UI sendiri cukup unik karena tidak ada program studi yang terkait teknik. Ini tidak lepas karena vokasi mewarisi program Diploma III di fakultas-fakultas UI. Program studi D-III di Vokasi UI, seperti administrasi perpajakan, penyiaran multimedia, dan administrasi rumah sakit. Sedangkan untuk program studi pada jenjang D-IV, seperti bisnis kreatif, fisioterapi, manajemen bisnis, dan pariwisata. Meskipun humaniora, Padang memastikan vokasi UI tetap mengedepankan praktek dan magang di industri.
Vokasi UI pun memiliki laboratorium untuk praktek setiap program studi yang didesain sesuai dengan masukan dari dunia industri dan usaha. Padang menjelaskan setiap tahun dalam penyusunan atau merevisi kurikulum, pihaknya mengundang mitra-mitra yang kebanyakan dari industri.
Dia mengklaim vokasi UI pun mengikuti dan mengadaptasi perkembangan revolusi 4.0 dalam kurikulum dan praktek perkuliahannya. “Kebutuhan industrinya memang sudah 4.0. Contohnya, program studi akuntansi, bisnis kreatif, dan pajak, itu intinya sudah menggunakan teknologi atau suatu software yang berbasis 4.0. Kami investasi untuk teknologi digitalnya sehingga nanti mereka menjadi lulusan yang (terbiasa) menggunakan teknologi (tersebut). Skill-nya nambah,” paparnya.
Dia mengungkapkan Vokasi UI memiliki satu program studi yang berbeda dengan kampus lain, yakni produksi media. Di kampus lain, program studi ini basisnya rekayasa (engineering). “Hanya di kami yang bukan engineering. Artinya, anak sosial humaniora memanfaatkan itu. Kami satu-satunya di Indonesia. Kami lebih kuat di konten,” tegasnya.
Berdasarkan pengamatannya, generasi Z yang sekarang sedang menempuh pendidikan itu memiliki ide-ide yang lebih segar dan maju dibandingkan dunia industri dan usaha. “Apa penyebabnya? Karena industri itu (diisi) pimpinan-pimpinannya generasi (lama). Satu sisi (industri) mendapatkan feedback (yang bagus) dari anak-anak muda itu. Saya kira jadi saling mengisi,” klaimnya.
Vokasi saat ini seperti “jaminan” bagi anak-anak muda untuk bisa langsung masuk dunia kerja. Padang menyebut ada perusahaan di bidang kesehatan yang rela memberikan beasiswa kepada para mahasiswa. Jadi, mereka sudah diijon. Mereka magang di perusahaan tersebut dan setelah lulus, langsung direkrut. 30 persen lulusan Vokasi UI sudah bekerja dalam waktu 0-30 hari setelah lulus.
Padang mengaku kadang kesulitan memenuhi permintaan tenaga kerja dari perusahaan pada semester ganjil seperti saat ini. Sebab, sebagian besar sudah lulus pada semester genap lalu dan langsung diserap oleh industri. Bahkan, ada perusahaan yang meminta Vokasi UI untuk menambah daya tampung agar bisa memenuhi kebutuhan tenaga kerja terampil. Namun, Padang menolak hal tersebut. “Nanti enggak selektif. Kita enggak mau asal (banyak) mahasiswa. (Kita) mutunya dijaga,” ucapnya.
Tetapi itu dulu. Kini animo remaja untuk menempuh bisa kuliah di jalur vokasi justru semakin tinggi. Pola pendidikan dengan lebih mengedepankan keterampilan yang dibutuhkan industry, membuat lulusan vokasi mudah memperoleh pekerjaan.
Sejak pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), vokasi terus digaungkan sebagai jalur pendidikan yang penting untuk membuat generasi muda lebih siap kerja. Jokowi bahkan secara khusus menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2019 Tentang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang di dalamnya tercantum pembentukan direktorat jenderal (ditjen) baru, yakni pendidikan vokasi. Ini bentuk dukungan serius pemerintah dalam pengembangan pendidikan vokasi.
Baca Juga
Dibekali keterampilan khusus yang dibutuhkan industri, tak heran bila kini lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK), politeknik, dan vokasi di kampus-kampus negeri tak lagi dipandang sebelah mata.
Wakil Direktur Bidang Kerja Sama Politeknik Negeri Jakarta (PNJ) Dewi Yanti Liliana mengatakan pemerintah bukan hanya mendorong, tapi menyiapkan ekosistem pendidikan vokasi dan penyerapan tenaga kerjanya oleh dunia usaha. Dia mengklaim animo pelajar yang ingin masuk PNJ sangat tinggi. Setiap tahun, pendaftarnya mencapai lebih dari 10.000, tapi yang diterima hanya 3.000 orang.
“Dari sisi siswa atau pendaftar pun sudah terliterasi apa itu jalur vokasi. Karena vokasi itu yang mempersiapkan seseorang untuk langsung bekerja di industri sehingga proses pembelajarannya lebih banyak sesuai kebutuhan industri. (Kami) menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang siap untuk bekerja,” ujarnya saat dihubungi Koran SINDO, Kamis (24/11/2022).
PNJ sendiri memiliki dua bidang pendidikan keahlian, yakni rekayasa dan humaniora. Jurusan yang masuk dalam bidang rekayasa, seperti teknik sipil, mesin, elektro, grafika dan penerbitan, serta informatika dan komputer. Sedangkan jurusan yang masuk humaniora, seperti akuntansi dan administrasi niaga. PNJ tidak hanya menyelenggarakan program studi diploma III (D-III), tetapi juga diploma IV (D-IV).
Lulusan D-IV akan memiliki gelar sarjana sains terapan (S.ST). Ini sudah setara dengan lulusan S-1. Sederet program studi D-IV di PNJ, antara lain, teknik perancangan jalan dan jembatan, manufaktur, teknologi rekayasa konversi energi, teknik otomasi listrik industri, keuangan dan perbankan, serta teknologi industri kemasan. Meskipun punya dua bidang pendidikan vokasi, Dewi menerangkan pihaknya memiliki standar yang sama dan sudah ditetapkan oleh pemerintah dan industri.
Setiap mahasiswa pun nanti dibekali dengan sertifikat kompetensi. “Penekanannya di sini bukan hanya teknik, tapi kurikulum politeknik disusun oleh advisory board. Ini terdiri dari komponen akademisi dan industri. Jadi, kenapa politeknik bisa memenuhi kebutuhan industri? Karena sesuai demand-nya. Kami memperkecil gap antara kalau misalnya akademisi membuat kurikulum sendiri, ketika lulus belum tentu sesuai kebutuhan industri,” paparnya.
Foto/dok.SINDOnews
Dalam advisory board juga ada alumni yang memberikan masukan tentang pengalaman dan kebutuhan keterampilan di dunia industri dan usaha. Contohnya, jurusan teknik grafika dan penerbitan itu berdiri di dua kaki, yakni rekayasa dan humaniora. Maka, PNJ juga menerima masukan dan berkomunikasi dengan sejumlah industri, seperti packaging. Ini membuat proses akademik akan menciptakan lulusan dengan spesifikasi yang tinggal diserap oleh industri.
Lulusan Institut Teknologi Sepuluh Nopember itu menjelaskan pihaknya juga mengikuti program-program prioritas pemerintah. Dari sisi penelitian, PNJ mengikuti prioritas riset nasional yang mengarah ke blue dan green economy, dan sustainable energy. Kampus yang bermukim di Depok ini memiliki riset unggulan di bidang electric vehicle beserta charging station.
“PNJ mendapat hibah dari Swiss. Kita memiliki program renewable energy sustainability development. Di situ akan mencetak SDM-SDM yang siap untuk mengimplementasikan renewable energi diantaranya kendaraan listrik. PNJ sudah memiliki charging station. Nantinya arahnya kan ke sana. Nanti butuh charging station untuk pengisian listrik. PNJ baru satu-satunya yang memiliki charging station,” tuturnya.
PNJ pun bekerja sama dengan sejumlah perusahaan besar dalam kerangka link and match, seperti PT Badak dan Trakindo. PNJ juga bekerja sama perguruan tinggi di luar negeri, Management And Science University Malaysia, untuk program double degree dan magister. Hal serupa juga dilakukan oleh Program Pendidikan Vokasi Universitas Indonesia (UI). Vokasi UI bekerja sama dengan Queensland University, Australia dan Tokyo Metropolitan University, Jepang.
Salah satu masalah lulusan D-III di Indonesia adalah sering mengalami kesulitan untuk melanjutkan S-1 karena tidak ada jurusan yang sejalur. Direktur Vokasi UI Padang Wicaksono mengatakan lulusan D-III vokasi UI bisa melanjutkan di dua universitas itu untuk mendapatkan gelar D-IV atau yang setara S-1. Vokasi UI telah mendobrak akses itu, diantaranya, dengan bekerja sama dengan fakultas-fakultas pengampu program vokasi ini dahulunya untuk extension. Waktunya kuliahnya pun lebih pendek, yakni 3 semester.
Vokasi UI pun membuka D-IV untuk lulusan D-III dari luar. Syaratnya, sudah bekerja. Bahkan, ada program advance dimana lulusan D-III bisa mengikuti program magister asalkan punya pengalaman bekerja minimal selama dua tahun. “Artinya, seseorang harus diberikan kesempatan dan edukasinya itu seumur hidup. Bagi D-III yang langsung kerja, silakan. Kemudian, dia ingin menambah skill dan knowledge, juga kita fasilitasi ke D-IV atau advance magister,” ujarnya kepada Koran SINDO.
Lulusan The University of Tokyo itu mengungkapkan perusahaan nasional dan multinasional selama ini lebih terbuka dalam menerima lulusan D-III dan D-IV. Berdasarkan cerita para alumni, menurutnya, mereka diperlakukan sama saat proses lamaran atau seleksi, kemudian ikuti masa uji coba pekerjaan sekitar 6 bulan. Setelah itu, perusahaan nasional dan multinasional besar tak lagi peduli dengan gelar. Perusahaan akan melihat keterampilan dan kemampuan mereka dalam bekerja.
Vokasi UI sendiri cukup unik karena tidak ada program studi yang terkait teknik. Ini tidak lepas karena vokasi mewarisi program Diploma III di fakultas-fakultas UI. Program studi D-III di Vokasi UI, seperti administrasi perpajakan, penyiaran multimedia, dan administrasi rumah sakit. Sedangkan untuk program studi pada jenjang D-IV, seperti bisnis kreatif, fisioterapi, manajemen bisnis, dan pariwisata. Meskipun humaniora, Padang memastikan vokasi UI tetap mengedepankan praktek dan magang di industri.
Vokasi UI pun memiliki laboratorium untuk praktek setiap program studi yang didesain sesuai dengan masukan dari dunia industri dan usaha. Padang menjelaskan setiap tahun dalam penyusunan atau merevisi kurikulum, pihaknya mengundang mitra-mitra yang kebanyakan dari industri.
Dia mengklaim vokasi UI pun mengikuti dan mengadaptasi perkembangan revolusi 4.0 dalam kurikulum dan praktek perkuliahannya. “Kebutuhan industrinya memang sudah 4.0. Contohnya, program studi akuntansi, bisnis kreatif, dan pajak, itu intinya sudah menggunakan teknologi atau suatu software yang berbasis 4.0. Kami investasi untuk teknologi digitalnya sehingga nanti mereka menjadi lulusan yang (terbiasa) menggunakan teknologi (tersebut). Skill-nya nambah,” paparnya.
Dia mengungkapkan Vokasi UI memiliki satu program studi yang berbeda dengan kampus lain, yakni produksi media. Di kampus lain, program studi ini basisnya rekayasa (engineering). “Hanya di kami yang bukan engineering. Artinya, anak sosial humaniora memanfaatkan itu. Kami satu-satunya di Indonesia. Kami lebih kuat di konten,” tegasnya.
Berdasarkan pengamatannya, generasi Z yang sekarang sedang menempuh pendidikan itu memiliki ide-ide yang lebih segar dan maju dibandingkan dunia industri dan usaha. “Apa penyebabnya? Karena industri itu (diisi) pimpinan-pimpinannya generasi (lama). Satu sisi (industri) mendapatkan feedback (yang bagus) dari anak-anak muda itu. Saya kira jadi saling mengisi,” klaimnya.
Vokasi saat ini seperti “jaminan” bagi anak-anak muda untuk bisa langsung masuk dunia kerja. Padang menyebut ada perusahaan di bidang kesehatan yang rela memberikan beasiswa kepada para mahasiswa. Jadi, mereka sudah diijon. Mereka magang di perusahaan tersebut dan setelah lulus, langsung direkrut. 30 persen lulusan Vokasi UI sudah bekerja dalam waktu 0-30 hari setelah lulus.
Padang mengaku kadang kesulitan memenuhi permintaan tenaga kerja dari perusahaan pada semester ganjil seperti saat ini. Sebab, sebagian besar sudah lulus pada semester genap lalu dan langsung diserap oleh industri. Bahkan, ada perusahaan yang meminta Vokasi UI untuk menambah daya tampung agar bisa memenuhi kebutuhan tenaga kerja terampil. Namun, Padang menolak hal tersebut. “Nanti enggak selektif. Kita enggak mau asal (banyak) mahasiswa. (Kita) mutunya dijaga,” ucapnya.
(muh)