Komersialisasikan Riset untuk Kesejahteraan Masyarakat
A
A
A
BANDUNG - Perguruan tinggi saat ini dituntut untuk memberikan nilai lebih kepada masyarakat. Zaman pun mengajukan tantangan serupa. Universitas Padjadjaran (Unpad) berupaya menjawab tantangan itu.
Di bawah kepemimpinan Rektor Tri Hanggono Achmad, Unpad menjawabnya dengan menjadi lembaga pendidikan tinggi berkonsep tranformative learning. Tri telah mengusung program komersialisasi riset dan akademik untuk kesejahteraan masyarakat. Sang rektor menjelaskan secara gamblang program tersebut dalam wawancara dengan KORAN SINDO beberapa hari lalu. Berikut petikan wawancara tersebut.
Unpad mendorong komersialisasi hasil riset untuk kesejahteraan masyarakat. Dapat Anda jelaskan apa maksudnya?
Sebetulnya begini. Itu dibahasa- Indonesiakannya tidak mudah. Pengertian sebenarnya enterprising. Enterprising itu apa kalau dibahasa- Indonesiakan? Sehingga orang cenderung memudahkannya berbicara tentang komersialisasi. Berbicara enterprising dalam hal ini adalah akademik.
Tidak semata-mata riset, karena proses akademik ini di perguruan tinggi tidak dapat dipisahkan antara pendidikan, riset, dan public service (pengabdian kepada masyarakat). Kami menyebutnya sebagai academic enterprising. Itu lebih dari sekadar public service atau pengabdian kepada masyarakat. Kalau public service saja, apa yang kami miliki, kami berikan.
Sedangkan academic enterprising ada nilai tambahnya, baik itu pendidikan, pengajaran, maupun riset. Nah, kenapa dikaitkan dengan kesejahteraan masyarakat? Karena pada akhirnya sekarang semua yang dilakukan perguruan tinggi, saya kira berbagai pihaklah, harus sekuat mungkin memberikan maslahat. Maslahat itu kan masyarakat, baik masyarakat internal perguruan tinggi, maupun masyarakat luas.
Bagaimana program ini bisa dilaksanakan?
Itu tidak bisa dilakukan sendiri. Kita harus kerja sama, ada kolaborasi, melibatkan berbagai pihak. Yang namanya enterprise itu tidak sekadar komersial, berarti dagang, kan nggak gitu. Harus lihat kebutuhan, demand seperti apa. Kita bisa nilai dari yang kita miliki cocok untuk demand-nya apa nggak, yang pada akhirnya itu akan menjadi masukan juga untuk mengembangkan diri.
Ini konsep dasarnya. Sementara itu, di sisi lain, karena tuntutan perkembangan yang luar biasa, lalu semua pihak makin mengefisienkan, makin mendorong produktivitas, dan makin hati-hati, termasuk pemerintah, perguruan tinggi harus berjuang lebih keras.
Tidak bisa mendapatkan sesuatu dengan mudah. Mendapat beasiswa, persaingan sudah semakin tinggi. Mendapatkan grant riset juga persaingannya semakin tinggi. Lalu kami ingin menghilirkan produk research. Industri juga makin hati-hati. Tak semata-mata semua produk perguruan tinggi itu mudah diserap.
Di sinilah sebetulnya kalau tidak mulai membuka diri, makin berat mendapat resource. Nah, enterprising ini sebetulnya bagian dari proses pendidikan yang sudah mulai transformative. Jadi program ini sesuai dengan visi misi saya untuk menjadikan Unpad sebagai transformative learning.
Mendorong transdicipline. Tidak hanya mendasarkan ilmu yang ada di perguruan tinggi, tapi bergerak dengan berbagai pihak, membangun strategi pentahelix, yakni antara akademik, bisnis (industri), government, masyarakat, dan media.
Sudah sejauh mana program enterprising riset dan akademik untuk kesejahteraan masyarakat itu dilaksanakan di Unpad?
Strategi dasarnya, pertama kita harus mampu memetakan kemampuan unggulan perguruan tinggi itu apa sebetulnya. Unpad berpegang kepada pola pokok ilmiah. Sekarang tantangan lingkungan itu luar biasa dan ini update sekali. Apalagi bicara tentang tujuan pembangunan yang berkelanjutan. Lalu bicara hukum. Bukan hanya berbicara aspek norma, tapi juga implementasi dan empowering-nya.
Dua hal ini harus punya dampak terhadap pembangunan nasional. Dua hal ini kami dorong. Sehingga, lini depannya berbagai kapasitas akademik kami dorong, disinergikan ke sana. Lalu kami lihat peta kebutuhan nasionalnya. Jelas tadi kuat. Hanya karena dimensinya begitu luas, kami pun harus memilih.
Paling tidak lingkup terdekat. Kami berpikir Jawa Barat. Kenapa? Jawa Barat bukan berarti berhenti di Jawa Barat. Ini wilayah dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia. Nilai investasi besar. Tantangan masalah lingkungan, besar. Disparitas masalah juga luas.
Maka kalau kita bisa menyelesaikan, atau setidaknya berkontribusi secara signifikan terhadap pembangunan di Jawa Barat, yakin ini akan signifikan punya kontribusi untuk Indonesia.
Pihak mana saja yang sudah diajak bekerja sama dan apa tanggapan mereka?
Banyak. Kan karena enterprising tadi, secara makro kami ingin memberikan dampak kepada pembangunan ekonomi dan sebagainya. Dari sisi mikronya, misalkan produk pupuk organik yang dikelola Fakultas Pertanian, ini sudah dikerjasamakan dengan PT Pupuk Kujang.
Itu tidak semata komersial, tetapi bagaimana dengan temuan ini bisa mendorong produk pupuk organik dan ramah lingkungan. Lalu kami kembangkan juga bagaimana mengolah buah-buahan menjadi suatu produk minuman dan mendorong beberapa startup company untuk para mahasiswa dan masyarakat.
Kami bersama Bank Indonesia (BI) mengembangkan dan membina petani di Lembang dan Pangalengan. Produk mereka disalurkan ke supermarket. Kami juga ikut mengembangkan kopi unggulan di Jawa Barat. Jadi tetap kuncinya, kami di sini mengajak teman-teman untuk ingat potensi di sekitar kita.
Menurut Anda, bagaimana hasil riset dan pemikiran para akademisi Unpad bisa berkontribusi bagi kesejahteraan masyarakat?
Salah satu keuntungan yang dimiliki Unpad itu karena bidang ilmunya yang relatif hampir lengkap. Dari ilmu eksakta, sosial, komunikasi, teknik, kesehatan, dan pertanian. Riset-risetnya dari riset dasar sampai riset yang sudah bisa diterapkan. Misalnya di bidang teknologi nano. Kami sudah mengembangkan.
Dengan teknologi nano, Unpad mengolah bahan menjadi tepung. Implementatifnya banyak. Tepung itu bisa untuk farmasi dan pangan. Saya kira, di samping produk-produk riset yang bisa rekognisi melalui publikasi di tingkat internasional, juga sudah cukup banyak yang tingkat kesiapan teknologinya memadai untuk dihilirkan.
Beberapa sudah siap untuk dikomersialkan. Kami telah mengumpulkan beberapa company dari Jepang yang siap membantu. Nanti kami punya satu kalatog yang memuat produk-produk riset yang telah dihilirkan.
Adakah kendala untuk melaksanakan program tersebut?
Tentu. Kendala pertama adalah kultur yang ada di perguruan tinggi itu sendiri. Kebanyakan kanada yang ahli di bidang riset, dia hanya fokus di riset. Padahal, riset ini harus bisa diimplementasikan untuk kemaslahatan masyarakat. Lalu bagaimana kita bisa negosiasi serta deal dengan dunia bisnis dan masyarakat.
Sementara di perguruan tinggi, juga punya tenaga-tenaga ahli di bidang itu (negosiasi). Nah untuk mempersatukan ini yang menghadapi kendala. Kedua, tidak mudah meyakinkan masyarakat. Selain itu, kendala eksternal lain adalah birokrasi atau perizinan dan regulasi yang belum fasilitatif.
Misalnya dalam penggunaan anggaran. Menghadapi birokrasi dan regulasi, butuh terobosan dan inovasi. Yang kami lakukan, untungnya sebagai perguruan tinggi berbadan hukum, Unpad bisa mengembangkan terobosan regulasi, sejauh tidak melanggar aturan.
Bagaimana Anda mendorong budaya riset di Unpad?
Pertama tadi, secara potensi saya percaya profesor dan doktor itu hebat. Sebagai pimpinan saya harus bisa memberikan fasilitas dalam bentuk grant riset. Itu sangat penting, selain peralatan. Kami, di Unpad, menggulirkan grant risetyang cukup besar.
Tahun ini total dana grant riset, belum termasuk fasilitas riset lain, dialokasikan sebesar Rp190 miliar. Itu ada yang kami gulirkan dari dana internal hampir Rp80 miliar, Rp30 miliar dari Kemenristek-Dikti, dan selebihnya berasal dari upaya kami bekerja sama dengan universitas di luar negeri, termasuk dengan industri di Indonesia.
Hasilnya seperti apa?
Karena kami berkomitmen, tidak boleh ada dosen di Unpad yang tidak melakukan riset. Dengan jaminan, kalau Anda mau riset, pasti akan kami biayai. Alhamdulillah, semua riset yang dilakukan terbukti meningkatkan publikasi internasional Unpad.
Tahun ini, sampai 11 Desember 2017, publikasi internasional pada jurnal bereputasi, sudah dua kali dari capaian tahun lalu. Selain itu, kami juga buat regulasi, ada insentif yang lebih baik. Sebab, tidak mudah melakukan riset. Tetapi, jika ada insentif membuat orang akan terdorong (melakukan riset).
Kami buat sistem remunerasi yang memberi keberpihakan kepada periset. Namun, riset yang dilakukan tidak boleh berdiri sendiri, harus melibatkan mahasiswa. Artinya, proses pendidikan terintegrasi. Lalu tadi, dorong riset itu agar dapat memberikan kemaslahatan bagi masyarakat dan menyelesaikan masalah di Jawa Barat.
Pengabdian sang Anak Polisi
Tri Hanggono kecil seperti anak-anak kebanyakan. Saat ditanya cita-citanya, dulu dia menjawab ingin jadi dokter, insinyur, meskipun orang tuanya bukan dari kalangan dokter.
Ayahnya seorang polisi. “Sebagai anak-anak melihatlah. Dulu presidennya Soekarno, insinyur, ingin jadi insinyur. Lihat dokter, ingin jadi dokter,” kata pria yang akrab disapa Tri. Pemilihan profesi sebagai akademisi yang ditekuninya saat ini berjalan secara alamiah.
Suami Tina Ratnawati ini anak ketiga dari lima bersaudara. Rentang usia Tri dengan kakak pertama dan kedua, berdekatan. Jadi mereka bertiga bergaul dan besar bersama-sama. Saat kakak nomor satu masuk SD III Tegallega, Tri dan kakaknya ikut.
Begitu juga saat SMP dan SMA. Kakak paling besar masuk SMA 3 Bandung, Tri pun melanjutkan pendidikan di SMA ternama di Kota Bandung itu. “Jadi saya otomatis terbawa. Saat kakak pertama masuk kedokteran, yang kedua juga begitu, ya saya palid (hanyut) kekedokteran juga. Ada keuntungan buat saya. Tidak perlu susah cari buku. Tahu ilmu kedokteran lebih mudah.
Berikutnya baru per jalanan agak berbeda,” ujar ayah Mochamad Cipto Sidik, Aditya Zufar Pradhana, dan Putri Prihatni Sabarina itu. Kakak pertama dan keduanya benarbenar menjalankan profesi sebagai dokter ahli penyakit dalam dan ahli bedah urologi.
Sementara Tri setelah lulus Fakultas Kedokteran Unpad pada 1987, justru berpikir harus ada yang mendidik dokter. “Mungkin ini bawaan bakat dari orang tua. Ayah saya walaupun polisi, tetapi guru polisi, ibu saya juga guru. Waktu saya lulus, ada panggilan ke situ (menjadi dosen),” ungkap putra pasang an Sayuti (almarhum) dan Siti Utami (almarhum) ini.
Menurut Tri, saat itu jika semua men jalankan profesi dokter, lalu siapa yang men didik? Kebetulan saat itu FK Unpad sedang membutuhkan tambahan dosen. “Kalau seorang dokter lulus kemudian menjalankan profesinya, mungkin yang mendapatkan keuntungan dari layanannya hanya masyarakat di wilayah dia praktik.
Tetapi, kalau saya jadi guru, saya bisa mendidik orang lebih banyak menjadi dokter. Insya Allah lebih banyak orang yang mendapatkan keuntungan. Sekarang mengelola perguruan tinggi. Artinya lebih dari ilmu dokternya, dosennya. Memang saya pikir, harus ada orang yang menjalankan peran seperti itu,” kata pria yang hobi olahraga ini.
Beruntung, pilihan profesi Tri sebagai akademisi didukung oleh keluarga, terutama orang tua. Lalu berkeluarga, keluarga juga mendukung. “Kebahagiaan itu kan memiliki beberapa dimensi. Saya berkeyakinan, saya bisa begini karena dukungan keluarga. Katakanlah saya punya keberhasilan dan menjadi amal ibadah, kan untuk mereka juga,” tutur Tri.
Di tengah kesibukannya sebagai rektor Unpad, Tri menyempatkan diri untuk dekat dengan keluarga. Baginya, pendidikan itu sangat penting, tetapi pilar keluarga, hubungan kebatinan, itu core. Untuk menjaga hubungan batin antara ayah, istri, dan anak, dia selalu menyempatkan salat berjamaah di rumah dan seminggu sekali mengaji bersama. Kalau weekend, makan bersama di luar.
“Ada amanah yang saya pegang secara pribadi, yakni keluarga. Masa depan kita itu ada di anak-anak,” kata dia. Dalam mendidik anak, Tri menerapkan pola pendidikan moderat bagi ketiga anaknya. Dia tak memaksakan anak-anak harus seperti dirinya. Tri sadar setiap orang memiliki potensi berbeda.
Seperti dalam satu Fakul tas Kedokteran, mereka men dapatkan ilmu dasar sama. Na mun, dalam tahap selanjutnya berbeda-beda. Ada yang ahli penyakit dalam, ada yang jadi manajer, dan lainlain, sesuai potensinya.
“Seperti anak saya yang besar. Dia kuliah di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Ya, saya bebas kan. Mungkin di situ potensinya. Yang penting, anak itu saleh,” ujar mantan atlet hoki Jabar itu. (Agus Warsudi)
Di bawah kepemimpinan Rektor Tri Hanggono Achmad, Unpad menjawabnya dengan menjadi lembaga pendidikan tinggi berkonsep tranformative learning. Tri telah mengusung program komersialisasi riset dan akademik untuk kesejahteraan masyarakat. Sang rektor menjelaskan secara gamblang program tersebut dalam wawancara dengan KORAN SINDO beberapa hari lalu. Berikut petikan wawancara tersebut.
Unpad mendorong komersialisasi hasil riset untuk kesejahteraan masyarakat. Dapat Anda jelaskan apa maksudnya?
Sebetulnya begini. Itu dibahasa- Indonesiakannya tidak mudah. Pengertian sebenarnya enterprising. Enterprising itu apa kalau dibahasa- Indonesiakan? Sehingga orang cenderung memudahkannya berbicara tentang komersialisasi. Berbicara enterprising dalam hal ini adalah akademik.
Tidak semata-mata riset, karena proses akademik ini di perguruan tinggi tidak dapat dipisahkan antara pendidikan, riset, dan public service (pengabdian kepada masyarakat). Kami menyebutnya sebagai academic enterprising. Itu lebih dari sekadar public service atau pengabdian kepada masyarakat. Kalau public service saja, apa yang kami miliki, kami berikan.
Sedangkan academic enterprising ada nilai tambahnya, baik itu pendidikan, pengajaran, maupun riset. Nah, kenapa dikaitkan dengan kesejahteraan masyarakat? Karena pada akhirnya sekarang semua yang dilakukan perguruan tinggi, saya kira berbagai pihaklah, harus sekuat mungkin memberikan maslahat. Maslahat itu kan masyarakat, baik masyarakat internal perguruan tinggi, maupun masyarakat luas.
Bagaimana program ini bisa dilaksanakan?
Itu tidak bisa dilakukan sendiri. Kita harus kerja sama, ada kolaborasi, melibatkan berbagai pihak. Yang namanya enterprise itu tidak sekadar komersial, berarti dagang, kan nggak gitu. Harus lihat kebutuhan, demand seperti apa. Kita bisa nilai dari yang kita miliki cocok untuk demand-nya apa nggak, yang pada akhirnya itu akan menjadi masukan juga untuk mengembangkan diri.
Ini konsep dasarnya. Sementara itu, di sisi lain, karena tuntutan perkembangan yang luar biasa, lalu semua pihak makin mengefisienkan, makin mendorong produktivitas, dan makin hati-hati, termasuk pemerintah, perguruan tinggi harus berjuang lebih keras.
Tidak bisa mendapatkan sesuatu dengan mudah. Mendapat beasiswa, persaingan sudah semakin tinggi. Mendapatkan grant riset juga persaingannya semakin tinggi. Lalu kami ingin menghilirkan produk research. Industri juga makin hati-hati. Tak semata-mata semua produk perguruan tinggi itu mudah diserap.
Di sinilah sebetulnya kalau tidak mulai membuka diri, makin berat mendapat resource. Nah, enterprising ini sebetulnya bagian dari proses pendidikan yang sudah mulai transformative. Jadi program ini sesuai dengan visi misi saya untuk menjadikan Unpad sebagai transformative learning.
Mendorong transdicipline. Tidak hanya mendasarkan ilmu yang ada di perguruan tinggi, tapi bergerak dengan berbagai pihak, membangun strategi pentahelix, yakni antara akademik, bisnis (industri), government, masyarakat, dan media.
Sudah sejauh mana program enterprising riset dan akademik untuk kesejahteraan masyarakat itu dilaksanakan di Unpad?
Strategi dasarnya, pertama kita harus mampu memetakan kemampuan unggulan perguruan tinggi itu apa sebetulnya. Unpad berpegang kepada pola pokok ilmiah. Sekarang tantangan lingkungan itu luar biasa dan ini update sekali. Apalagi bicara tentang tujuan pembangunan yang berkelanjutan. Lalu bicara hukum. Bukan hanya berbicara aspek norma, tapi juga implementasi dan empowering-nya.
Dua hal ini harus punya dampak terhadap pembangunan nasional. Dua hal ini kami dorong. Sehingga, lini depannya berbagai kapasitas akademik kami dorong, disinergikan ke sana. Lalu kami lihat peta kebutuhan nasionalnya. Jelas tadi kuat. Hanya karena dimensinya begitu luas, kami pun harus memilih.
Paling tidak lingkup terdekat. Kami berpikir Jawa Barat. Kenapa? Jawa Barat bukan berarti berhenti di Jawa Barat. Ini wilayah dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia. Nilai investasi besar. Tantangan masalah lingkungan, besar. Disparitas masalah juga luas.
Maka kalau kita bisa menyelesaikan, atau setidaknya berkontribusi secara signifikan terhadap pembangunan di Jawa Barat, yakin ini akan signifikan punya kontribusi untuk Indonesia.
Pihak mana saja yang sudah diajak bekerja sama dan apa tanggapan mereka?
Banyak. Kan karena enterprising tadi, secara makro kami ingin memberikan dampak kepada pembangunan ekonomi dan sebagainya. Dari sisi mikronya, misalkan produk pupuk organik yang dikelola Fakultas Pertanian, ini sudah dikerjasamakan dengan PT Pupuk Kujang.
Itu tidak semata komersial, tetapi bagaimana dengan temuan ini bisa mendorong produk pupuk organik dan ramah lingkungan. Lalu kami kembangkan juga bagaimana mengolah buah-buahan menjadi suatu produk minuman dan mendorong beberapa startup company untuk para mahasiswa dan masyarakat.
Kami bersama Bank Indonesia (BI) mengembangkan dan membina petani di Lembang dan Pangalengan. Produk mereka disalurkan ke supermarket. Kami juga ikut mengembangkan kopi unggulan di Jawa Barat. Jadi tetap kuncinya, kami di sini mengajak teman-teman untuk ingat potensi di sekitar kita.
Menurut Anda, bagaimana hasil riset dan pemikiran para akademisi Unpad bisa berkontribusi bagi kesejahteraan masyarakat?
Salah satu keuntungan yang dimiliki Unpad itu karena bidang ilmunya yang relatif hampir lengkap. Dari ilmu eksakta, sosial, komunikasi, teknik, kesehatan, dan pertanian. Riset-risetnya dari riset dasar sampai riset yang sudah bisa diterapkan. Misalnya di bidang teknologi nano. Kami sudah mengembangkan.
Dengan teknologi nano, Unpad mengolah bahan menjadi tepung. Implementatifnya banyak. Tepung itu bisa untuk farmasi dan pangan. Saya kira, di samping produk-produk riset yang bisa rekognisi melalui publikasi di tingkat internasional, juga sudah cukup banyak yang tingkat kesiapan teknologinya memadai untuk dihilirkan.
Beberapa sudah siap untuk dikomersialkan. Kami telah mengumpulkan beberapa company dari Jepang yang siap membantu. Nanti kami punya satu kalatog yang memuat produk-produk riset yang telah dihilirkan.
Adakah kendala untuk melaksanakan program tersebut?
Tentu. Kendala pertama adalah kultur yang ada di perguruan tinggi itu sendiri. Kebanyakan kanada yang ahli di bidang riset, dia hanya fokus di riset. Padahal, riset ini harus bisa diimplementasikan untuk kemaslahatan masyarakat. Lalu bagaimana kita bisa negosiasi serta deal dengan dunia bisnis dan masyarakat.
Sementara di perguruan tinggi, juga punya tenaga-tenaga ahli di bidang itu (negosiasi). Nah untuk mempersatukan ini yang menghadapi kendala. Kedua, tidak mudah meyakinkan masyarakat. Selain itu, kendala eksternal lain adalah birokrasi atau perizinan dan regulasi yang belum fasilitatif.
Misalnya dalam penggunaan anggaran. Menghadapi birokrasi dan regulasi, butuh terobosan dan inovasi. Yang kami lakukan, untungnya sebagai perguruan tinggi berbadan hukum, Unpad bisa mengembangkan terobosan regulasi, sejauh tidak melanggar aturan.
Bagaimana Anda mendorong budaya riset di Unpad?
Pertama tadi, secara potensi saya percaya profesor dan doktor itu hebat. Sebagai pimpinan saya harus bisa memberikan fasilitas dalam bentuk grant riset. Itu sangat penting, selain peralatan. Kami, di Unpad, menggulirkan grant risetyang cukup besar.
Tahun ini total dana grant riset, belum termasuk fasilitas riset lain, dialokasikan sebesar Rp190 miliar. Itu ada yang kami gulirkan dari dana internal hampir Rp80 miliar, Rp30 miliar dari Kemenristek-Dikti, dan selebihnya berasal dari upaya kami bekerja sama dengan universitas di luar negeri, termasuk dengan industri di Indonesia.
Hasilnya seperti apa?
Karena kami berkomitmen, tidak boleh ada dosen di Unpad yang tidak melakukan riset. Dengan jaminan, kalau Anda mau riset, pasti akan kami biayai. Alhamdulillah, semua riset yang dilakukan terbukti meningkatkan publikasi internasional Unpad.
Tahun ini, sampai 11 Desember 2017, publikasi internasional pada jurnal bereputasi, sudah dua kali dari capaian tahun lalu. Selain itu, kami juga buat regulasi, ada insentif yang lebih baik. Sebab, tidak mudah melakukan riset. Tetapi, jika ada insentif membuat orang akan terdorong (melakukan riset).
Kami buat sistem remunerasi yang memberi keberpihakan kepada periset. Namun, riset yang dilakukan tidak boleh berdiri sendiri, harus melibatkan mahasiswa. Artinya, proses pendidikan terintegrasi. Lalu tadi, dorong riset itu agar dapat memberikan kemaslahatan bagi masyarakat dan menyelesaikan masalah di Jawa Barat.
Pengabdian sang Anak Polisi
Tri Hanggono kecil seperti anak-anak kebanyakan. Saat ditanya cita-citanya, dulu dia menjawab ingin jadi dokter, insinyur, meskipun orang tuanya bukan dari kalangan dokter.
Ayahnya seorang polisi. “Sebagai anak-anak melihatlah. Dulu presidennya Soekarno, insinyur, ingin jadi insinyur. Lihat dokter, ingin jadi dokter,” kata pria yang akrab disapa Tri. Pemilihan profesi sebagai akademisi yang ditekuninya saat ini berjalan secara alamiah.
Suami Tina Ratnawati ini anak ketiga dari lima bersaudara. Rentang usia Tri dengan kakak pertama dan kedua, berdekatan. Jadi mereka bertiga bergaul dan besar bersama-sama. Saat kakak nomor satu masuk SD III Tegallega, Tri dan kakaknya ikut.
Begitu juga saat SMP dan SMA. Kakak paling besar masuk SMA 3 Bandung, Tri pun melanjutkan pendidikan di SMA ternama di Kota Bandung itu. “Jadi saya otomatis terbawa. Saat kakak pertama masuk kedokteran, yang kedua juga begitu, ya saya palid (hanyut) kekedokteran juga. Ada keuntungan buat saya. Tidak perlu susah cari buku. Tahu ilmu kedokteran lebih mudah.
Berikutnya baru per jalanan agak berbeda,” ujar ayah Mochamad Cipto Sidik, Aditya Zufar Pradhana, dan Putri Prihatni Sabarina itu. Kakak pertama dan keduanya benarbenar menjalankan profesi sebagai dokter ahli penyakit dalam dan ahli bedah urologi.
Sementara Tri setelah lulus Fakultas Kedokteran Unpad pada 1987, justru berpikir harus ada yang mendidik dokter. “Mungkin ini bawaan bakat dari orang tua. Ayah saya walaupun polisi, tetapi guru polisi, ibu saya juga guru. Waktu saya lulus, ada panggilan ke situ (menjadi dosen),” ungkap putra pasang an Sayuti (almarhum) dan Siti Utami (almarhum) ini.
Menurut Tri, saat itu jika semua men jalankan profesi dokter, lalu siapa yang men didik? Kebetulan saat itu FK Unpad sedang membutuhkan tambahan dosen. “Kalau seorang dokter lulus kemudian menjalankan profesinya, mungkin yang mendapatkan keuntungan dari layanannya hanya masyarakat di wilayah dia praktik.
Tetapi, kalau saya jadi guru, saya bisa mendidik orang lebih banyak menjadi dokter. Insya Allah lebih banyak orang yang mendapatkan keuntungan. Sekarang mengelola perguruan tinggi. Artinya lebih dari ilmu dokternya, dosennya. Memang saya pikir, harus ada orang yang menjalankan peran seperti itu,” kata pria yang hobi olahraga ini.
Beruntung, pilihan profesi Tri sebagai akademisi didukung oleh keluarga, terutama orang tua. Lalu berkeluarga, keluarga juga mendukung. “Kebahagiaan itu kan memiliki beberapa dimensi. Saya berkeyakinan, saya bisa begini karena dukungan keluarga. Katakanlah saya punya keberhasilan dan menjadi amal ibadah, kan untuk mereka juga,” tutur Tri.
Di tengah kesibukannya sebagai rektor Unpad, Tri menyempatkan diri untuk dekat dengan keluarga. Baginya, pendidikan itu sangat penting, tetapi pilar keluarga, hubungan kebatinan, itu core. Untuk menjaga hubungan batin antara ayah, istri, dan anak, dia selalu menyempatkan salat berjamaah di rumah dan seminggu sekali mengaji bersama. Kalau weekend, makan bersama di luar.
“Ada amanah yang saya pegang secara pribadi, yakni keluarga. Masa depan kita itu ada di anak-anak,” kata dia. Dalam mendidik anak, Tri menerapkan pola pendidikan moderat bagi ketiga anaknya. Dia tak memaksakan anak-anak harus seperti dirinya. Tri sadar setiap orang memiliki potensi berbeda.
Seperti dalam satu Fakul tas Kedokteran, mereka men dapatkan ilmu dasar sama. Na mun, dalam tahap selanjutnya berbeda-beda. Ada yang ahli penyakit dalam, ada yang jadi manajer, dan lainlain, sesuai potensinya.
“Seperti anak saya yang besar. Dia kuliah di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Ya, saya bebas kan. Mungkin di situ potensinya. Yang penting, anak itu saleh,” ujar mantan atlet hoki Jabar itu. (Agus Warsudi)
(nfl)