Program Studi Baru Terkendala Regulasi
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah mengizinkan kampus membuka program studi baru. Namun pembukaan program studi (prodi) baru ini terkendala regulasi yang dinilai belum fleksibel.
Permintaan pemerintah agar perguruan tinggi lebih responsif dan inovatif terhadap perkembangan zaman dengan cara membuka fakultas dan prodi baru yang sesuai dengan kebutuhan industri masih menemui ganjalan. Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Arif Satria mengatakan, permintaan itu tidak akan terealisasi selama peraturan tidak berubah.
Salah satu regulasi yang menghambat untuk membuka prodi baru adalah ketentuan adanya enam dosen untuk setiap prodi. ”Di era ini mestinya kan enam cukup per departemen. Kalau enam per prodi itu tidak mungkin dan sulit kita penuhi selama aturannya masih seperti itu,” katanya saat executive lecture dan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) dengan Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) di Kampus UAI, Jakarta, kemarin.
Arif menyampaikan, peraturan dosen ini melekat pada akreditasi yang dilakukan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Jika pemerintah berkali-kali mengatakan harus ada pembukaan prodi dan BAN-PT masih mengacu pada aturan tersebut, perguruan tinggi akan ketakutan untuk membukanya.
Sebab jika suatu perguruan tinggi tidak terakreditasi, dampaknya akan buruk. Bahkan jika mereka mengeluarkan ijazah bisa menjadi tindakan kriminal. Doktor bidang kelautan itu menjelaskan, regulasi kedua yang menjadi kendala adalah soal nomenklatur yang kaitannya dengan tenaga kerja.
Jika PTN boleh membuka prodi di luar nomenklatur Kemenristek Dikti, harus ada jaminan bahwa nomen klatur itu juga disetujui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB).
Sebab jika tidak ada nomenklatur baru yang disetujui Kemenpan-RB, lulusan prodi baru itu akan kesulitan diterima kerja di pemerintah dan swasta.
”Misalnya saja jika ada lulusan prodi baru yang akan direkrut Kementerian Pertanian, tapi pas mau rekrut harus liat lagi list di Kemenpan. Jika di daftar di Kemenpan tidak ada, kasihan sekali mahasiswanya,” jelasnya.
Maka dari itu, agar public policy dan perkembangan teknologi tidak terlalu jauh jaraknya, pemerintah harus segera membuat regulasi pembukaan prodi baru yang sangat fleksibel.
Menurut dia, perguruan tinggi sudah sangat menunggu kapan peraturan itu diubah. Peraturan ini pun harus dibuat secara lintas kementerian agar tidak terjadi benturan saat pelaksanaan di lapangan.
Diketahui, pada Februari lalu Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Konferensi Forum Rektor Indonesia meminta ada terobosan baru di bidang pengembangan sumber daya manusia.
Presiden mengimbau perguruan tinggi harus bergerak cepat dan responsif menghadapi perubahan zaman. Presiden meminta kampus membuka fakultas dan prodi sesuai dengan kebutuhan industri.
Dia mencontohkan, perguruan tinggi dapat membuka fakultas ekonomi digital, jasa industri, manajemen industri dalam olahraga, industri lifestyle, perkebunan jurusan kelapa sawit atau bahkan fakultas kopi.
Menristek Dikti Mohammad Nasir menyampaikan, demi menghadapi era digitalisasi Kemenristek Dikti akan terus memberikan pendampingan ke perguruan tinggi melalui ber bagai kebijakan. Di antaranya membebaskan nomenklatur prodi untuk mendukung pengembangan kompetensi di industri 4.0, membangun teaching factory industry 4.0, melaksanakan kuliah online.
Menanggai hal tersebut, Rektor UAI Asep Saifuddin menyampaikan, kampusnya pun akan membuka prodi baru, yakni gizi dan pangan yang bekerja sama dengan IPB. Asep menyampaikan, kedua prodi ini akan dibuka karena menjadi bidang kebutuhan manusia yang tidak bisa digantikan oleh perubahan teknologi.
Kedua prodi itu juga akan berkembang de ngan dasar sains, teknologi, engineering and mathematic (STEM). Selain itu UAI juga tertarik mengembangkan prodi S-2 betasains. ”Tapi untuk sementara yang akan dibina IPB adalah pembukaan prodi gizi dan pangan,” sebutnya. (Neneng Zubaidah)
Permintaan pemerintah agar perguruan tinggi lebih responsif dan inovatif terhadap perkembangan zaman dengan cara membuka fakultas dan prodi baru yang sesuai dengan kebutuhan industri masih menemui ganjalan. Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Arif Satria mengatakan, permintaan itu tidak akan terealisasi selama peraturan tidak berubah.
Salah satu regulasi yang menghambat untuk membuka prodi baru adalah ketentuan adanya enam dosen untuk setiap prodi. ”Di era ini mestinya kan enam cukup per departemen. Kalau enam per prodi itu tidak mungkin dan sulit kita penuhi selama aturannya masih seperti itu,” katanya saat executive lecture dan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) dengan Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) di Kampus UAI, Jakarta, kemarin.
Arif menyampaikan, peraturan dosen ini melekat pada akreditasi yang dilakukan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Jika pemerintah berkali-kali mengatakan harus ada pembukaan prodi dan BAN-PT masih mengacu pada aturan tersebut, perguruan tinggi akan ketakutan untuk membukanya.
Sebab jika suatu perguruan tinggi tidak terakreditasi, dampaknya akan buruk. Bahkan jika mereka mengeluarkan ijazah bisa menjadi tindakan kriminal. Doktor bidang kelautan itu menjelaskan, regulasi kedua yang menjadi kendala adalah soal nomenklatur yang kaitannya dengan tenaga kerja.
Jika PTN boleh membuka prodi di luar nomenklatur Kemenristek Dikti, harus ada jaminan bahwa nomen klatur itu juga disetujui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB).
Sebab jika tidak ada nomenklatur baru yang disetujui Kemenpan-RB, lulusan prodi baru itu akan kesulitan diterima kerja di pemerintah dan swasta.
”Misalnya saja jika ada lulusan prodi baru yang akan direkrut Kementerian Pertanian, tapi pas mau rekrut harus liat lagi list di Kemenpan. Jika di daftar di Kemenpan tidak ada, kasihan sekali mahasiswanya,” jelasnya.
Maka dari itu, agar public policy dan perkembangan teknologi tidak terlalu jauh jaraknya, pemerintah harus segera membuat regulasi pembukaan prodi baru yang sangat fleksibel.
Menurut dia, perguruan tinggi sudah sangat menunggu kapan peraturan itu diubah. Peraturan ini pun harus dibuat secara lintas kementerian agar tidak terjadi benturan saat pelaksanaan di lapangan.
Diketahui, pada Februari lalu Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Konferensi Forum Rektor Indonesia meminta ada terobosan baru di bidang pengembangan sumber daya manusia.
Presiden mengimbau perguruan tinggi harus bergerak cepat dan responsif menghadapi perubahan zaman. Presiden meminta kampus membuka fakultas dan prodi sesuai dengan kebutuhan industri.
Dia mencontohkan, perguruan tinggi dapat membuka fakultas ekonomi digital, jasa industri, manajemen industri dalam olahraga, industri lifestyle, perkebunan jurusan kelapa sawit atau bahkan fakultas kopi.
Menristek Dikti Mohammad Nasir menyampaikan, demi menghadapi era digitalisasi Kemenristek Dikti akan terus memberikan pendampingan ke perguruan tinggi melalui ber bagai kebijakan. Di antaranya membebaskan nomenklatur prodi untuk mendukung pengembangan kompetensi di industri 4.0, membangun teaching factory industry 4.0, melaksanakan kuliah online.
Menanggai hal tersebut, Rektor UAI Asep Saifuddin menyampaikan, kampusnya pun akan membuka prodi baru, yakni gizi dan pangan yang bekerja sama dengan IPB. Asep menyampaikan, kedua prodi ini akan dibuka karena menjadi bidang kebutuhan manusia yang tidak bisa digantikan oleh perubahan teknologi.
Kedua prodi itu juga akan berkembang de ngan dasar sains, teknologi, engineering and mathematic (STEM). Selain itu UAI juga tertarik mengembangkan prodi S-2 betasains. ”Tapi untuk sementara yang akan dibina IPB adalah pembukaan prodi gizi dan pangan,” sebutnya. (Neneng Zubaidah)
(nfl)