Meredam Kekerasan dengan Kegiatan Ekstrakurikuler
A
A
A
JAKARTA - Kekerasan yang dikakukan oleh anak-anak usia sekolah kini bukan barang tabu. Tak hanya kepada sesama siswa atau yang seusia, kekerasan juga dilakukan terhadap mereka yang berusia lebih tua, bahkan terhadap tenaga pendidik.
Aksi berani yang dilakukan siswa di sekolah dengan melawan aturan serta berkonfrontasi dengan guru merupakan perkembangan subkultur anak-anak marginal. Sosiolog Anak Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Prof Bagong Suyanto menuturkan, dalam beberapa tahun terakhir ini ada perkembangan pesat dalam subkultur yang terjadi di tingkat anak-anak.
Mereka ingin menunjukkan eksistensi rasa jagoan yang dimiliki oleh kelompok marginal. “Penyebabnya tentu habitus sosialnya memengaruhi, seperti sosialisasi orang tua yang kurang pada anaknya,” ujarnya.
Pengaruh kebiasaan di rumah dengan pendidikan serta arahan dari orang tua sangat penting untuk diserap anak. Makanya mereka bisa menjadi apa saja ketika asupan arahan yang diberikan kurang ataupun terlalu ketat.“Ditambah lagi mereka harus berhadapan dengan teman sebaya yang memberikan pengaruh. Karena kelompok sebaya ini sangat berpengaruh juga bagi perangai mereka,” ucapnya.
Subkultur marginal, katanya, membuat anak-anak ingin dilihat lebih berani oleh teman-temannya. Semua itu menjadi identitas dan pengakuan yang memiliki arti besar bagi pedoman mereka.
Prof Bagong menjelaskan, situasi yang dihadapi saat ini membutuhkan kerja keras dari berbagai pihak untuk menekannya. Jadi, tidak ada lagi kasus serupa yang membuat daya kejut bagi masyarakat.
Salah satu langkah yang bisa dilakukan pada anakanak untuk meredam gejolak eksistensi kelompok marginal dengan cara menyalurkan energi sok jagoan mereka dalam kegiatan ekstrakurikuler di sekolah ataupun di berbagai tempat lainnya.
“Kegiatan ekstrakurikuler membuat mereka bisa menyalurkan bakat dan keinginannya,” jelasnya.
Selain itu, dukungan dari keluarga pada anaknya juga penting untuk menjadikan fondasi kuat bagi anaknya. Termasuk menanamkan nilai-nilai penting dalam kehidupan dan bersosial.
Dengan begitu, aksi bandel seperti yang dilakukan siswa di salah satu SMP di Kabupaten Gresik yang menantang gurunya ketika ditegur karena merokok, tidak lagi terjadi. Tenaga pengajar juga memiliki peran penting bagi masa depan anak dalam menanamkan etika dan kesopanan.
Kasus murid mem-bully atau melakukan perundungan dan melawan guru sering terjadi. Di Kota Bandung, meski kasus seperti itu (murid melawan guru) belum pernah terjadi, tetapi bukan tidak mungkin bakal terjadi.
Apalagi jika pihak berwenang terkait, seperti Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Bandung abai dan tak segera melakukan langkah tepat untuk mencegah kasus seperti itu terjadi. Terakhir, kasus bullying atau perundungan anak terjadi di SDN 023 Pajagalan, Kota Bandung pada Agustus 2018.
Kasus ini menjadi perhatian masyarakat dan Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung setelah tersebar video berdurasi sekitar 1 menit yang merekam peristiwa perundungan yang dialami seorang siswa oleh siswa lainnya.
Dalam video tampak seorang bocah SD dipegangi oleh beberapa temannya di dalam kelas. Bocah tersebut mendapat cacian bahkan dipukul oleh teman nya. Pada akhir video bocah tersebut menangis.
Guru Besar Pendidikan Sosiologi, Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung Prof Dr Elly Malihah MSi mengatakan, banyak faktor menjadi penyebab kekerasan yang dilakukan murid terhadap gurunya.
Pertama, faktor guru. Dalam hal ini, guru tidak memiliki kompetensi dasar yang memadai, baik kepribadian, sosial, pedagogis, ataupun profesionalitas.
Kedua, faktor siswa. Pengaruh negatif perkembangan zaman, antara lain contoh buruk dari beberapa bad news (pemberitaan buruk) media sosial ataupun media lain dan tayangan berita kekerasan, serta sikap permisif dari orang tua/dewasa.
Faktor ketiga, ada salah kaprah dalam konsep kekerasan di sekolah. Ketika guru tegas dianggap keras dan dilarang serta dapat diajukan ke pengadilan.
“Padahal guru bermaksud mendidik. Sikap guru yang tidak tegas menjadi celah kebebasan siswa. Bahkan menjadi sikap melawan. Kondisi tersebut semakin buruk lantaran kepedulian masyarakat semakin menurun,” kata Elly kepada KORAN SINDO.
Apa yang harus diperbaiki agar kasus murid membully atau melawan guru dan atau murid mem-bully temannya tidak kembali dan terus terjadi? “Hukum dalam arti pembinaan harus terus ditegakkan. Sanksi yang diberikan harus bersifat mendidik,” ujar Elly.
Dia menilai, peran pemerintah dalam kasus seperti ini perlu ditingkatkan. Terutama dari sisi tenaga pendidik dengan meningkatkan profesionalisme para guru.
“Kebijakan untuk meningkatkan profesionalisme guru terus dikuatkan,” tandas penulis buku Ilmu Sosial Budaya Dasar dan Pengantar Sosiologi: Pemahaman Fakta dan Gejala Sosial, Teori Aplikasi dan Pemecahannya ini. (Aan Haryono/Agus Warsudi)
Aksi berani yang dilakukan siswa di sekolah dengan melawan aturan serta berkonfrontasi dengan guru merupakan perkembangan subkultur anak-anak marginal. Sosiolog Anak Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Prof Bagong Suyanto menuturkan, dalam beberapa tahun terakhir ini ada perkembangan pesat dalam subkultur yang terjadi di tingkat anak-anak.
Mereka ingin menunjukkan eksistensi rasa jagoan yang dimiliki oleh kelompok marginal. “Penyebabnya tentu habitus sosialnya memengaruhi, seperti sosialisasi orang tua yang kurang pada anaknya,” ujarnya.
Pengaruh kebiasaan di rumah dengan pendidikan serta arahan dari orang tua sangat penting untuk diserap anak. Makanya mereka bisa menjadi apa saja ketika asupan arahan yang diberikan kurang ataupun terlalu ketat.“Ditambah lagi mereka harus berhadapan dengan teman sebaya yang memberikan pengaruh. Karena kelompok sebaya ini sangat berpengaruh juga bagi perangai mereka,” ucapnya.
Subkultur marginal, katanya, membuat anak-anak ingin dilihat lebih berani oleh teman-temannya. Semua itu menjadi identitas dan pengakuan yang memiliki arti besar bagi pedoman mereka.
Prof Bagong menjelaskan, situasi yang dihadapi saat ini membutuhkan kerja keras dari berbagai pihak untuk menekannya. Jadi, tidak ada lagi kasus serupa yang membuat daya kejut bagi masyarakat.
Salah satu langkah yang bisa dilakukan pada anakanak untuk meredam gejolak eksistensi kelompok marginal dengan cara menyalurkan energi sok jagoan mereka dalam kegiatan ekstrakurikuler di sekolah ataupun di berbagai tempat lainnya.
“Kegiatan ekstrakurikuler membuat mereka bisa menyalurkan bakat dan keinginannya,” jelasnya.
Selain itu, dukungan dari keluarga pada anaknya juga penting untuk menjadikan fondasi kuat bagi anaknya. Termasuk menanamkan nilai-nilai penting dalam kehidupan dan bersosial.
Dengan begitu, aksi bandel seperti yang dilakukan siswa di salah satu SMP di Kabupaten Gresik yang menantang gurunya ketika ditegur karena merokok, tidak lagi terjadi. Tenaga pengajar juga memiliki peran penting bagi masa depan anak dalam menanamkan etika dan kesopanan.
Kasus murid mem-bully atau melakukan perundungan dan melawan guru sering terjadi. Di Kota Bandung, meski kasus seperti itu (murid melawan guru) belum pernah terjadi, tetapi bukan tidak mungkin bakal terjadi.
Apalagi jika pihak berwenang terkait, seperti Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Bandung abai dan tak segera melakukan langkah tepat untuk mencegah kasus seperti itu terjadi. Terakhir, kasus bullying atau perundungan anak terjadi di SDN 023 Pajagalan, Kota Bandung pada Agustus 2018.
Kasus ini menjadi perhatian masyarakat dan Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung setelah tersebar video berdurasi sekitar 1 menit yang merekam peristiwa perundungan yang dialami seorang siswa oleh siswa lainnya.
Dalam video tampak seorang bocah SD dipegangi oleh beberapa temannya di dalam kelas. Bocah tersebut mendapat cacian bahkan dipukul oleh teman nya. Pada akhir video bocah tersebut menangis.
Guru Besar Pendidikan Sosiologi, Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung Prof Dr Elly Malihah MSi mengatakan, banyak faktor menjadi penyebab kekerasan yang dilakukan murid terhadap gurunya.
Pertama, faktor guru. Dalam hal ini, guru tidak memiliki kompetensi dasar yang memadai, baik kepribadian, sosial, pedagogis, ataupun profesionalitas.
Kedua, faktor siswa. Pengaruh negatif perkembangan zaman, antara lain contoh buruk dari beberapa bad news (pemberitaan buruk) media sosial ataupun media lain dan tayangan berita kekerasan, serta sikap permisif dari orang tua/dewasa.
Faktor ketiga, ada salah kaprah dalam konsep kekerasan di sekolah. Ketika guru tegas dianggap keras dan dilarang serta dapat diajukan ke pengadilan.
“Padahal guru bermaksud mendidik. Sikap guru yang tidak tegas menjadi celah kebebasan siswa. Bahkan menjadi sikap melawan. Kondisi tersebut semakin buruk lantaran kepedulian masyarakat semakin menurun,” kata Elly kepada KORAN SINDO.
Apa yang harus diperbaiki agar kasus murid membully atau melawan guru dan atau murid mem-bully temannya tidak kembali dan terus terjadi? “Hukum dalam arti pembinaan harus terus ditegakkan. Sanksi yang diberikan harus bersifat mendidik,” ujar Elly.
Dia menilai, peran pemerintah dalam kasus seperti ini perlu ditingkatkan. Terutama dari sisi tenaga pendidik dengan meningkatkan profesionalisme para guru.
“Kebijakan untuk meningkatkan profesionalisme guru terus dikuatkan,” tandas penulis buku Ilmu Sosial Budaya Dasar dan Pengantar Sosiologi: Pemahaman Fakta dan Gejala Sosial, Teori Aplikasi dan Pemecahannya ini. (Aan Haryono/Agus Warsudi)
(nfl)