Pendidikan Karakter Menjadi Salah Satu Solusi

Minggu, 17 Februari 2019 - 10:41 WIB
Pendidikan Karakter Menjadi Salah Satu Solusi
Pendidikan Karakter Menjadi Salah Satu Solusi
A A A
YOGYAKARTA - Adanya siswa yang berani terhadap guru, terutama di dalam kelas dan di hadapan para siswa lain seperti yang dilakukan siswa kelas IX SMP PGRI di Gresik, awal Februari 2019 lalu, tentunya sangat disayangkan.

Apalagi kejadian itu bukan kali pertama. Sebelumnya juga pernah ada, baik secara verbal maupun dalam bentuk kekerasan lainnya. Untuk itu, agar peristiwa demikian tidak terulang di masa-masa mendatang, harus segera diurai benang merahnya.

Selain dengan mencari akar permasalahan, juga dengan strategi dan langkah yang tepat untuk memecahkan permasalahan tersebut. Rektor Univeristas Negeri Yogyakarta (UNY) Prof Sutrisno Wibowo mengatakan, adanya siswa yang berani terhadap guru ini jelas harus mendapat perhatian bersama, baik pemerintah, institusi pendidikan, masyarakat maupun orang tua.

Ini penting, sebab adanya peristiwa tersebut tidak bisa dipisahkan dari semua stakeholder . “Seperti kejadian di Gresik, yang terjadi di dalam kelas, meski ada siswa yang menantang guru, siswa lain tidak bereaksi mencegah ataupun memberikan peringatan, tetapi malah terkesan membiarkan sehingga suasana kelas sangatlah disayangkan,” katanya.

Menurut Sutrisno, hal tersebut tentu ada yang kurang tepat, terutama dalam penerapan pendidikan, yaitu mengenai karakter. Untuk pendidikan karakter sekarang kurang diperhatikan dan lebih mengedepankan pendidikan akademik.

Karena pendidikan karakter penting, harusnya perlu digalakkan lagi, baik di dalam keluarga, masyarakat maupun institusi pendidikan. “Untuk institusi pendidikan, harus dimulai sejak pendidikan anak usia dini (PAUD) sebagai kelanjutan dari keluarga. Sebab pembentukan kepribadian harus sejak lahir oleh keluarga, bahkan sejak dalam kandungan dengan doa-doa yang dipanjatkan orang tuanya,” kata mantan Sekretaris Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemenristek Dikti tersebut.

Sutrisno menjelaskan, karena pendidikan itu menjadi tanggung jawab bersama keluarga, masyarakat, dan pemerintah, ketiga pemangku kepentingan itu harus bersinergi. Termasuk dalam pembentukan karakter. Sayangnya terkadang keluarga menyerahkan sepenuhnya kepada sekolah.

“Padahal adanya kenakalan itu merupakan bagian dari karakter dan karakter lebih tepat dibiasakan sejak kecil oleh kekuarga dan lingkungan sekitar. Jadi peran pembentukan karakter mesti dari keluarga. Peran sekolah tinggal melanjutkan, tidak memulai dari dasar,” ungkap dosen bahasa dan budaya lokal itu.

Solusinya, semua stakeholder harus segera bersinergi. Khusus untuk sekolah bersinergi dengan orang tua siswa, yakni dengan mengundang orang tua ke sekolah atau wali kelas berkunjung ke rumah untuk ikut bersama-sama sekolah mendidik dan mengawasi anak.

“Termasuk aktivitas ekstrakurikuler juga harus digalakkan serta dengan menggunakan berbagai model dinamika kelompok dalam pembelajaran,” katanya. Hal yang sama diungkapkan pengamat sosial Universitas Gadjah Mada (UGM) Hempri Suyatna.

Dia mengatakan, adanya peristiwa siswa yang berani kepada gurunya, itu dampak dari lunturnya nilainilai budi pekerti dan lemahnya pengembangan karakter anak. Lemahnya lingkungan pergaulan, televisi serta media sosial juga berdampak pada pengembangan karakter anak.

Di sisi lain, berkembangnya teknologi tersebut tidak diimbangi peran memadai dari orang tua yang cenderung makin berorientasi ekonomi. Sebab fungsi pendidikan tidak semata-mata tanggung jawab guru, tetapi juga keluarga dan masyarakat.

“Sebagai solusinya, harus ada sanksi, tapi sanksi yang mendidik ketika anak melanggar. Jangan sampai dengan alasan kebebasan dan hak tumbuh kembang anak, pelanggaran-pelanggaran anak tersebut diabaikan,” tuturnya. (Priyo Setyawan)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9045 seconds (0.1#10.140)