Kewirausahaan Calon Startup di Kampus Rendah
A
A
A
JAKARTA - Rendahnya jiwa kewirausahaan membuat banyak calon perusahaan pemula berbasis teknologi (CPPBT) atau calon startup di lingkungan Perguruan Tinggi (PT) tersungkur dan gagal naik kelas.
Calon startup ini sudah memiliki technology readiness level (TRL) atau tingkat kesiapan teknologi level 6. Selanjutnya Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) melakukan pembinaan agar TRL mereka naik menjadi level 9. Sehingga produk dari CPPBT ini siap dikomersialkan.
“Namun demikian karena memang pola pikir para peneliti atau dosen ini belum mengarah ke entrepreneur dan kemampuan ke arah situ, sehingga sebagain besar kurang berkembang atau mandiri,” kata Dirjen Penguatan Inovasi Kemenristekdikti Jumain Appe seusai CPPBT Boot Camp di Jakarta kemarin.
Sejak 2016 Kemenristekdikti memiliki program pengembangan inovasi teknologi dari perguruan tinggi melalui program CPPBT-PT. Program ini ditujukan untuk mendorong penyempurnaan produk inovasi teknologi yang sudah masuk kategori prototype dan fase pra-komersial untuk disiapkan menuju komersial.
Dia menjelaskan bahwa selama empat tahun Kemenristekdikti telah mendanai dan membina sebanyak 558 CPPBT. Dari jumlah tersebut, hanya 59 CPPBT atau 10,57% yang bisa naik kelas ke PPBT.
Jumain memaparkan, CPPBT yang didanai ini memang berasal dari peneliti, dosen dan mahasiswa. Maka teknologi yang dipakainya pun sudah maju. Meski demikian, mereka akhirnya tidak bisa naik kelas menjadi PPBT karena mereka tidak memiliki jiwa entrepreneur atau wirausaha dan tidak mempunyai juga jaringan bisnis yang baik. “Jadi kita harus asah jiwa bisnis mereka. Kita inkubasi supaya dia bisa menjadi entrepreneur. Semangat wirausahanya itu kurang,” katanya.
CPPBT Boot Camp 2019 ini diikuti oleh 132 peserta dari 70 perguruan tinggi. Agenda kegiatan selain seminar yakni workshop dan kisah sukses dari CPPBT yag berhasil naik kelas ke PPBT. Jumain menjelaskan, dari 800 proposal yang masuk di program ini hanya 132 yang diterima karena pemerintah ingin semua CPPBT ini bisa berhasil menjadi PPBT. Sebanyak 132 usaha ini mayoritas di bidang pangan, IT, kesehatan, energi, transportasi dan material maju.
Direktur PPBT Kemenristekdikti Retno Sumekar mengatakan, berkaca dari banyak CPPBT yang tidak naik kelas maka pihaknya menyeleksi lebih ketat proposal dengan menyesuaikanya dengan kebutuhan pasar. Sebagai contoh yakni teknologi pengasapan ikan yang sangat bermanfaat untuk membantu warga Papua untuk hasilkan ikan asap yang lebih higienis dan bebas karsinogen.
Retno mengungkapkan, proposal CPPBT yang masuk memang kebanyakan dari dosen dan peneliti, hanya 20% proposal yang datang dari mahasiswa.
Sementara itu, pakar perusahaan rintisan atau startup Kurnadi Gularso dalam sidang disertasinya berpendapat, bagi mahasiswa agar bisa mengembangkan startup maka mahasiswa harus memiliki mental kritis untuk mencari dan menciptakan peluang baru dalam berusaha.
“Jadi jangan melihat produk yang eksisting tetapi lihatlah customer yang potensial yang belum terlayani sampai sekarang,” kata Kurnadi yang dikukuhkan menjadi doktor ilmu manajemen di kampus BINUS Jakarta.
Saat ini bisnis mengalami disrupsi. sehingga meski startup menjamur namun banyak yang tidak bertahan lama. Kebanyakan mereka tidak memiliki karakter startup yang ditandai dengan usaha berbasis kebutuhan masyarakat. Lalu tidak berani beresiko tinggi dan yang paling penting adalah harus memiliki kemampuan merekonfigurasi berbagai sumber daya internal dan eksternal.
Kurnadi yang menyampaikan disertasi berjudul Peran Inovasi Model Bisnis yang Disruptif dalam Mencapai Keunggulan Transien dengan Moderasi Ikatan Komunitas, Studi pada Usaha Rintisan Digital di Indonesia menjelaskan, agar startup bisa bertahan lama maka startup harus membangun komunitas.
Misalnya saja salah satu startup pemesanan tiket membuat ajang penghargaan bagi hotel mitranya. Ataupun aplikasi karaoke yang membuat lomba karaoke agar semakin banyak yang mencintai aplikasinya. “Sebab mereka (customer) akan lari kalau ada yang baru dan lebih baik,” katanya. (Neneng Zubaidah)
Calon startup ini sudah memiliki technology readiness level (TRL) atau tingkat kesiapan teknologi level 6. Selanjutnya Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) melakukan pembinaan agar TRL mereka naik menjadi level 9. Sehingga produk dari CPPBT ini siap dikomersialkan.
“Namun demikian karena memang pola pikir para peneliti atau dosen ini belum mengarah ke entrepreneur dan kemampuan ke arah situ, sehingga sebagain besar kurang berkembang atau mandiri,” kata Dirjen Penguatan Inovasi Kemenristekdikti Jumain Appe seusai CPPBT Boot Camp di Jakarta kemarin.
Sejak 2016 Kemenristekdikti memiliki program pengembangan inovasi teknologi dari perguruan tinggi melalui program CPPBT-PT. Program ini ditujukan untuk mendorong penyempurnaan produk inovasi teknologi yang sudah masuk kategori prototype dan fase pra-komersial untuk disiapkan menuju komersial.
Dia menjelaskan bahwa selama empat tahun Kemenristekdikti telah mendanai dan membina sebanyak 558 CPPBT. Dari jumlah tersebut, hanya 59 CPPBT atau 10,57% yang bisa naik kelas ke PPBT.
Jumain memaparkan, CPPBT yang didanai ini memang berasal dari peneliti, dosen dan mahasiswa. Maka teknologi yang dipakainya pun sudah maju. Meski demikian, mereka akhirnya tidak bisa naik kelas menjadi PPBT karena mereka tidak memiliki jiwa entrepreneur atau wirausaha dan tidak mempunyai juga jaringan bisnis yang baik. “Jadi kita harus asah jiwa bisnis mereka. Kita inkubasi supaya dia bisa menjadi entrepreneur. Semangat wirausahanya itu kurang,” katanya.
CPPBT Boot Camp 2019 ini diikuti oleh 132 peserta dari 70 perguruan tinggi. Agenda kegiatan selain seminar yakni workshop dan kisah sukses dari CPPBT yag berhasil naik kelas ke PPBT. Jumain menjelaskan, dari 800 proposal yang masuk di program ini hanya 132 yang diterima karena pemerintah ingin semua CPPBT ini bisa berhasil menjadi PPBT. Sebanyak 132 usaha ini mayoritas di bidang pangan, IT, kesehatan, energi, transportasi dan material maju.
Direktur PPBT Kemenristekdikti Retno Sumekar mengatakan, berkaca dari banyak CPPBT yang tidak naik kelas maka pihaknya menyeleksi lebih ketat proposal dengan menyesuaikanya dengan kebutuhan pasar. Sebagai contoh yakni teknologi pengasapan ikan yang sangat bermanfaat untuk membantu warga Papua untuk hasilkan ikan asap yang lebih higienis dan bebas karsinogen.
Retno mengungkapkan, proposal CPPBT yang masuk memang kebanyakan dari dosen dan peneliti, hanya 20% proposal yang datang dari mahasiswa.
Sementara itu, pakar perusahaan rintisan atau startup Kurnadi Gularso dalam sidang disertasinya berpendapat, bagi mahasiswa agar bisa mengembangkan startup maka mahasiswa harus memiliki mental kritis untuk mencari dan menciptakan peluang baru dalam berusaha.
“Jadi jangan melihat produk yang eksisting tetapi lihatlah customer yang potensial yang belum terlayani sampai sekarang,” kata Kurnadi yang dikukuhkan menjadi doktor ilmu manajemen di kampus BINUS Jakarta.
Saat ini bisnis mengalami disrupsi. sehingga meski startup menjamur namun banyak yang tidak bertahan lama. Kebanyakan mereka tidak memiliki karakter startup yang ditandai dengan usaha berbasis kebutuhan masyarakat. Lalu tidak berani beresiko tinggi dan yang paling penting adalah harus memiliki kemampuan merekonfigurasi berbagai sumber daya internal dan eksternal.
Kurnadi yang menyampaikan disertasi berjudul Peran Inovasi Model Bisnis yang Disruptif dalam Mencapai Keunggulan Transien dengan Moderasi Ikatan Komunitas, Studi pada Usaha Rintisan Digital di Indonesia menjelaskan, agar startup bisa bertahan lama maka startup harus membangun komunitas.
Misalnya saja salah satu startup pemesanan tiket membuat ajang penghargaan bagi hotel mitranya. Ataupun aplikasi karaoke yang membuat lomba karaoke agar semakin banyak yang mencintai aplikasinya. “Sebab mereka (customer) akan lari kalau ada yang baru dan lebih baik,” katanya. (Neneng Zubaidah)
(nfl)