Kurangi Kekerasan Anak, Orang Tua Perlu Dibekali Literasi Digital
A
A
A
JAKARTA - Selain membawa perubahan positif, media sosial yang merupakan hasil kemajuan teknologi, juga bisa berdampak negatif. Kasus penganiayaan yang menimpa siswi SMP di Kota Pontianak, Kalimantan Barat, misalnya ternyata berawal dari medsos. Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA) Pribudiarta Nur Sitepu mengimbau masyarakat terutama orang tua, untuk menggunakan media sosial dengan lebih bijak.
“Tidak dapat dimungkiri bahwa teknologi memunculkan efek negatif dalam bentuk kekerasan melalui media online. Pemerintah dalam hal ini Kemen-PPPA telah mengingatkan pentingnya parenting digital dan peran pemangku kepentingan, terutama dari orang tua, sekolah, lingkungan, dan komunitas kepada anak agar menggunakan media dengan bijak,” kata Pribudiarta di kantor Kemen-PPPA, Jakarta, kemarin.
Dia mengungkapkan, pemahaman dan pengetahuan literasi digital masyarakat masih minim dan perlu ditingkatkan. Khususnya di kalangan para ibu yang banyak memiliki interaksi dan melakukan pengasuhan kepada anak.
”Para orang tua yang anaknya kini masuk era generasi milenial didorong untuk melek literasi digital. Dengan begitu, orang tua tidak perlu takut dianggap gagap teknologi atau tidak ‘kekinian’. Dari sinilah jadi kesempatan orang tua berdialog dan belajar bersama dengan anak yang secara umum lebih paham teknologi,” kata Pribudiarta.
Dia juga mengatakan bahwa orang tua sebaiknya memberikan hak akses internet kepada anak dengan memperhatikan kebutuhan serta memerlukan kewajiban yang telah disepakati bersama. Dengan begitu, penggunaan internet oleh anak akan lebih optimal dan memberikan manfaat.
“Selain pengawasan, pemberian hak akses internet kepada anak juga diperlukan. Apalagi internet dapat memberikan manfaat optimal bagi tumbuh-kembang anak secara pengetahuan dan kepribadian. Karena jangka panjangnya, penggunaan internet akan mendorong produktivitas dan kreativitas mereka dalam hidup bermasyarakat,” katanya.
Senada, praktisi anak dan pendidikan Indonesia, Roostien Ilyas mengungkapkan bahwa kemajuan teknologi yang begitu pesat harus diimbangi dengan literasi digital. Menurutnya, literasi digital kepada orang tua seharusnya sudah dilakukan sejak dini. Pasalnya, ibu-ibu bangga sekali kalau di desa-desa itu anak-anaknya sudah pegang gawai seharian karena itu merupakan prestise tersendiri.
“Ini merupakan agama baru yang dipanteng terus-terusan, dan itu hebat menurut ibu-ibu mereka, yang penting anaknya anteng, diam, enggak ganggu, dan bahkan dia cerita-cerita. Nah, ini yang salah kaprah,” ungkapnya.
Menurut Roostien, mendapatkan teknologi itu berarti mendapatkan sesuatu yang baru tapi tanpa aturan yang jelas, misalnya kapan anak boleh gawai dan kapan tidak. “Anak mungkin akan tahu semuanya lewat smartphone yang digenggamnya. Tapi kalau tidak didampingi, pengetahuan anak-anak itu tidak akan ada saringannya,” jelasnya.
Kemen-PPPA Kawal Proses Hukum
Sementara itu, Kemen-PPPA berkomitmen mengawal kasus penganiayaan yang menimpa siswi SMP, AY, di Pontianak, hingga selesai. Pemerintah juga akan mencari jalan terbaik bagi korban dan pelaku yang sama-sama masih berusia anak.
Pihak Kementerian PPPA menyatakan bakal berkoordinasi dengan sejumlah pihak terkait proses hukum di kasus ini. Bahkan, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinas PPPA) Provinsi Kalimantan Barat, Dinas PPPA Kota Pontianak, Polresta Pontianak, dan para psikolog telah turun langsung menangani dan mendampingi korban yang masih dirawat di RS Mitra Medika serta melakukan pendampingan hingga ranah hukum.
“Korban akan terus mendapatkan penanganan dalam bentuk trauma healing dari psikolog. Sementara pihak rumah sakit berencana akan melakukan hipnoterapi bagi korban. Kemen-PPPA berharap korban mendapatkan proses pemulihan terbaik,” ungkap Pribudiarta.
Saat ini pihak Polresta Kota Pontianak sendiri telah menetapkan tiga tersangka dalam kasus penganiayaan dan dikenakan Pasal 80 ayat (1) UU No. 35/2014 tentang Perubahan UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman tiga tahun enam bulan penjara. Berdasarkan hasil visum, kasus tersebut masuk kategori penganiayaan ringan.
Para pelaku juga akan diberikan pendampingan dalam bentuk pemulihan pola pikir atas tindakan salah yang telah dilakukan. “Kemen-PPPA menghargai setiap proses hukum yang berlaku, namun mengingat para pelaku masih dalam kategori anak-anak, Kemen-PPPA berharap semua pihak menangani proses ini dengan tidak gegabah. Semua pihak harus benar-benar memahami penyebab anak pelaku melakukan tindak penganiayaan,” jelas Pribudiarta.
Hal itu dilakukan agar anak pelaku bisa mendapatkan penanganan yang tepat, tentunya yang mengacu pada Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Menurutnya, prinsip mengedepankan kepentingan anak harus juga diutamakan.
“Kami masih menunggu proses penyidikan, tapi keberadaan kami di sana sebenarnya sesuai dengan mandat Pasal 94 dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, kaitannya dengan melakukan koordinasi lintas sektor. Koordinasi itu dilakukan untuk melakukan empat hal dalam sistem peradilan,” tambah Deputi Bidang Perlindungan Anak Kemen-PPPA Nahar.
Nahar mengatakan, pihaknya akan ikut memproses dari pencegahan hingga penanganan korban dan pelaku dilakukan secara benar sehingga tidak memunculkan pasal baru. Dia juga meminta semua pihak menahan dari dan mengikuti hasil pemeriksaan yang dilakukan polisi sebelum mengambil tindakan terkait kasus ini.
Nahar juga memastikan pihaknya akan memberi dukungan yang dibutuhkan dalam proses penanganan kasus ini, antara lain menyediakan psikolog untuk mendampingi korban dan tersangka pelaku dugaan kekerasan.
“Kemen-PPPA terus menekankan ini dan memastikan support-support, termasuk Dinas PPPA di Kota Pontianak untuk menyediakan beberapa psikolog guna mendampingi anak itu (korban) dan pelaku, sehingga kita harapkan apa pun yang dihasilkan tegas dan bertanggung jawab hingga saat ini,” katanya
“Tidak dapat dimungkiri bahwa teknologi memunculkan efek negatif dalam bentuk kekerasan melalui media online. Pemerintah dalam hal ini Kemen-PPPA telah mengingatkan pentingnya parenting digital dan peran pemangku kepentingan, terutama dari orang tua, sekolah, lingkungan, dan komunitas kepada anak agar menggunakan media dengan bijak,” kata Pribudiarta di kantor Kemen-PPPA, Jakarta, kemarin.
Dia mengungkapkan, pemahaman dan pengetahuan literasi digital masyarakat masih minim dan perlu ditingkatkan. Khususnya di kalangan para ibu yang banyak memiliki interaksi dan melakukan pengasuhan kepada anak.
”Para orang tua yang anaknya kini masuk era generasi milenial didorong untuk melek literasi digital. Dengan begitu, orang tua tidak perlu takut dianggap gagap teknologi atau tidak ‘kekinian’. Dari sinilah jadi kesempatan orang tua berdialog dan belajar bersama dengan anak yang secara umum lebih paham teknologi,” kata Pribudiarta.
Dia juga mengatakan bahwa orang tua sebaiknya memberikan hak akses internet kepada anak dengan memperhatikan kebutuhan serta memerlukan kewajiban yang telah disepakati bersama. Dengan begitu, penggunaan internet oleh anak akan lebih optimal dan memberikan manfaat.
“Selain pengawasan, pemberian hak akses internet kepada anak juga diperlukan. Apalagi internet dapat memberikan manfaat optimal bagi tumbuh-kembang anak secara pengetahuan dan kepribadian. Karena jangka panjangnya, penggunaan internet akan mendorong produktivitas dan kreativitas mereka dalam hidup bermasyarakat,” katanya.
Senada, praktisi anak dan pendidikan Indonesia, Roostien Ilyas mengungkapkan bahwa kemajuan teknologi yang begitu pesat harus diimbangi dengan literasi digital. Menurutnya, literasi digital kepada orang tua seharusnya sudah dilakukan sejak dini. Pasalnya, ibu-ibu bangga sekali kalau di desa-desa itu anak-anaknya sudah pegang gawai seharian karena itu merupakan prestise tersendiri.
“Ini merupakan agama baru yang dipanteng terus-terusan, dan itu hebat menurut ibu-ibu mereka, yang penting anaknya anteng, diam, enggak ganggu, dan bahkan dia cerita-cerita. Nah, ini yang salah kaprah,” ungkapnya.
Menurut Roostien, mendapatkan teknologi itu berarti mendapatkan sesuatu yang baru tapi tanpa aturan yang jelas, misalnya kapan anak boleh gawai dan kapan tidak. “Anak mungkin akan tahu semuanya lewat smartphone yang digenggamnya. Tapi kalau tidak didampingi, pengetahuan anak-anak itu tidak akan ada saringannya,” jelasnya.
Kemen-PPPA Kawal Proses Hukum
Sementara itu, Kemen-PPPA berkomitmen mengawal kasus penganiayaan yang menimpa siswi SMP, AY, di Pontianak, hingga selesai. Pemerintah juga akan mencari jalan terbaik bagi korban dan pelaku yang sama-sama masih berusia anak.
Pihak Kementerian PPPA menyatakan bakal berkoordinasi dengan sejumlah pihak terkait proses hukum di kasus ini. Bahkan, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinas PPPA) Provinsi Kalimantan Barat, Dinas PPPA Kota Pontianak, Polresta Pontianak, dan para psikolog telah turun langsung menangani dan mendampingi korban yang masih dirawat di RS Mitra Medika serta melakukan pendampingan hingga ranah hukum.
“Korban akan terus mendapatkan penanganan dalam bentuk trauma healing dari psikolog. Sementara pihak rumah sakit berencana akan melakukan hipnoterapi bagi korban. Kemen-PPPA berharap korban mendapatkan proses pemulihan terbaik,” ungkap Pribudiarta.
Saat ini pihak Polresta Kota Pontianak sendiri telah menetapkan tiga tersangka dalam kasus penganiayaan dan dikenakan Pasal 80 ayat (1) UU No. 35/2014 tentang Perubahan UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman tiga tahun enam bulan penjara. Berdasarkan hasil visum, kasus tersebut masuk kategori penganiayaan ringan.
Para pelaku juga akan diberikan pendampingan dalam bentuk pemulihan pola pikir atas tindakan salah yang telah dilakukan. “Kemen-PPPA menghargai setiap proses hukum yang berlaku, namun mengingat para pelaku masih dalam kategori anak-anak, Kemen-PPPA berharap semua pihak menangani proses ini dengan tidak gegabah. Semua pihak harus benar-benar memahami penyebab anak pelaku melakukan tindak penganiayaan,” jelas Pribudiarta.
Hal itu dilakukan agar anak pelaku bisa mendapatkan penanganan yang tepat, tentunya yang mengacu pada Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Menurutnya, prinsip mengedepankan kepentingan anak harus juga diutamakan.
“Kami masih menunggu proses penyidikan, tapi keberadaan kami di sana sebenarnya sesuai dengan mandat Pasal 94 dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, kaitannya dengan melakukan koordinasi lintas sektor. Koordinasi itu dilakukan untuk melakukan empat hal dalam sistem peradilan,” tambah Deputi Bidang Perlindungan Anak Kemen-PPPA Nahar.
Nahar mengatakan, pihaknya akan ikut memproses dari pencegahan hingga penanganan korban dan pelaku dilakukan secara benar sehingga tidak memunculkan pasal baru. Dia juga meminta semua pihak menahan dari dan mengikuti hasil pemeriksaan yang dilakukan polisi sebelum mengambil tindakan terkait kasus ini.
Nahar juga memastikan pihaknya akan memberi dukungan yang dibutuhkan dalam proses penanganan kasus ini, antara lain menyediakan psikolog untuk mendampingi korban dan tersangka pelaku dugaan kekerasan.
“Kemen-PPPA terus menekankan ini dan memastikan support-support, termasuk Dinas PPPA di Kota Pontianak untuk menyediakan beberapa psikolog guna mendampingi anak itu (korban) dan pelaku, sehingga kita harapkan apa pun yang dihasilkan tegas dan bertanggung jawab hingga saat ini,” katanya
(don)