Pangkas Birokrasi, Menristekdikti Cabut 40 Peraturan Menteri
A
A
A
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginginkan adanya penyederhanaan birokrasi di semua lini. Hal ini dimaksudkan agar pelayanan semakin efektif dan tidak berbelit-belit.
Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohammad Nasir mengatakan, koordinasi antarlembaga selama ini menjadi permasalahan serius dalam pengembangan inovasi. Hal ini salah satunya karena adanya ego sektoral antarlembaga.
Karena itu, jalan satu-satunya yang harus dilakukan yaitu memangkas peraturan-peraturan yang dinilai menghambat birokrasi pemerintahan. Selama hampir lima tahun terakhir, Nasir mengaku telah mencabut sekitar 40 peraturan menteri (permen) yang dinilai tidak relevan.
"Ini banyak peraturan yang hanya mempersulit orang," ujarnya di Jakarta, Selasa (30/7/2019).
Dia mencontohkan, proses pengurusan program studi (prodi) baru di sebuah lembaga perguruan tinggi. Dulunya, waktu yang dibutuhkan bisa mencapai antara 2-3 bulan. "Saya punya pengalaman di Undip dulu tiga tahun enggak selesai. Ini harus bongkar ini. Caranya ya (menggunakan sistem) online," katanya.
Selain itu, syarat-syarat yang dipandang tidak relevan juga dihapus. Saat ini, syarat pendirian prodi yang semula ada sebanyak 17 syarat, kini tinggal lima syarat saja. Yakni, pertama, kelembagaannya. Jika status lembaganya jelas maka bisa diproses. Kedua, ketersediaan dosennya. "Kita membuat prodi kalau nggak ada dosennya ya susah," katanya.
Hal ketiga yakni ketersediaan infrastruktur. Keempat, apakah kurikulumnya adaptif atau tidak. Dan terakhir, apakah pendanaannya ada atau tidak. "Kalau lima syarat itu ada, oke nggak usah susah-susah," tuturnya.
Dulu sebelum dilakukan penyederhanaan birokrasi, kata Nasir, untuk mengajukan prodi syarat kelengkapan administrasinya sangat banyak dan dilakukan secara manual. "Dengan model sekarang, dua minggu bisa selesai, alhamdulillah jalan," katanya.
Contoh lainnya dalam mengurus ijazah kesetaraan dari luar negeri, masyarakat harus datang ke Kantor Kemenristekdikti di Jakarta. Hal ini selain menyusahkan, juga membutuhkan dana yang tidak sedikit.
"Kalau mahasiswanya di Papua atau Maluku, harus datang ke Jakarta hanya untuk mengurus persamaan ijazah, berapa biayanya? Berapa hari waktu yang dibutuhkan untuk mengurusi itu. Sekarang dengan sistem online, setelah disetujui, tinggal ambil hard copy-nya. Ke depan, kalau sudah acc, enggak usah datang ke Jakarta, tinggal dicetak di tempat masing-masing," tuturnya.
Namun, proses perizinan yang dipermudah bukan berarti proses pembelajarannya dipermudah. Menurutnya, kualitas atau mutu pendidikan harus tetap terjaga. Bahkan, menurutnya, untuk meningkatkan kualitas lulusan perguruan tinggi, ke depan, selain mendapatkan ijazah, juga harus mendapatkan sertifikat kompetensi dari Lembaga Sertifikasi Profesi yang disahkan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).
"Harapan saya ke depan semua prodi seperti itu, harus ada sertifikasi karena itu yang bisa 'dijual'," katanya.
Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohammad Nasir mengatakan, koordinasi antarlembaga selama ini menjadi permasalahan serius dalam pengembangan inovasi. Hal ini salah satunya karena adanya ego sektoral antarlembaga.
Karena itu, jalan satu-satunya yang harus dilakukan yaitu memangkas peraturan-peraturan yang dinilai menghambat birokrasi pemerintahan. Selama hampir lima tahun terakhir, Nasir mengaku telah mencabut sekitar 40 peraturan menteri (permen) yang dinilai tidak relevan.
"Ini banyak peraturan yang hanya mempersulit orang," ujarnya di Jakarta, Selasa (30/7/2019).
Dia mencontohkan, proses pengurusan program studi (prodi) baru di sebuah lembaga perguruan tinggi. Dulunya, waktu yang dibutuhkan bisa mencapai antara 2-3 bulan. "Saya punya pengalaman di Undip dulu tiga tahun enggak selesai. Ini harus bongkar ini. Caranya ya (menggunakan sistem) online," katanya.
Selain itu, syarat-syarat yang dipandang tidak relevan juga dihapus. Saat ini, syarat pendirian prodi yang semula ada sebanyak 17 syarat, kini tinggal lima syarat saja. Yakni, pertama, kelembagaannya. Jika status lembaganya jelas maka bisa diproses. Kedua, ketersediaan dosennya. "Kita membuat prodi kalau nggak ada dosennya ya susah," katanya.
Hal ketiga yakni ketersediaan infrastruktur. Keempat, apakah kurikulumnya adaptif atau tidak. Dan terakhir, apakah pendanaannya ada atau tidak. "Kalau lima syarat itu ada, oke nggak usah susah-susah," tuturnya.
Dulu sebelum dilakukan penyederhanaan birokrasi, kata Nasir, untuk mengajukan prodi syarat kelengkapan administrasinya sangat banyak dan dilakukan secara manual. "Dengan model sekarang, dua minggu bisa selesai, alhamdulillah jalan," katanya.
Contoh lainnya dalam mengurus ijazah kesetaraan dari luar negeri, masyarakat harus datang ke Kantor Kemenristekdikti di Jakarta. Hal ini selain menyusahkan, juga membutuhkan dana yang tidak sedikit.
"Kalau mahasiswanya di Papua atau Maluku, harus datang ke Jakarta hanya untuk mengurus persamaan ijazah, berapa biayanya? Berapa hari waktu yang dibutuhkan untuk mengurusi itu. Sekarang dengan sistem online, setelah disetujui, tinggal ambil hard copy-nya. Ke depan, kalau sudah acc, enggak usah datang ke Jakarta, tinggal dicetak di tempat masing-masing," tuturnya.
Namun, proses perizinan yang dipermudah bukan berarti proses pembelajarannya dipermudah. Menurutnya, kualitas atau mutu pendidikan harus tetap terjaga. Bahkan, menurutnya, untuk meningkatkan kualitas lulusan perguruan tinggi, ke depan, selain mendapatkan ijazah, juga harus mendapatkan sertifikat kompetensi dari Lembaga Sertifikasi Profesi yang disahkan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).
"Harapan saya ke depan semua prodi seperti itu, harus ada sertifikasi karena itu yang bisa 'dijual'," katanya.
(maf)