FSGI Kritisi Pidato Menteri Nadiem Makarim di Hari Guru Nasional
A
A
A
JAKARTA - Pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim saat peringatan Hari Guru Nasional dinilai suatu hal yang mustahil tanpa melakuan terobosan-terobosan baru di dunia pendidikan. Maka itu, Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriawan Salim mengkritisinya.
"Semilenial apa pun umurnya tanpa kebijakan milenial, percuma," ujar Satriawan dalam acara diskusi Bertajuk Mengorkestrasi Pendidikan dengan Sumber Daya Manusia (SDM) Masa Depan yang digelar Partai Golkar di Ground 57 Coffee, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (27/11/2019).
Dia mengungkapkan, sekitar 1,3 juta orang berprofesi guru di Indonesia. Separuhnya, lanjut dia, merupakan guru honorer.
Satriawan menjelaskan gaji guru honorer selama ini terutama di daerah tergantung pada anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). "Dalam Pasal 31 UUD 1945, sekurang-kurangnya penganggaran dari APBN dan APBD. Tapi kalau kita cek dari APBD. Argumen daerah itu sudah 20 persen tapi ternyata transfer darir APBN. Dari daerah cuma nol koma nol sekian," imbuhnya.
Maka itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri didorong untuk memerhatikan anggaran pendidikan untuk daerah. Sebab, guru honorer selamanya tidak sejahtera jika digaji dengan APBD.
"Jadi sehebat apa pun pidato Nadiem, jangan berharap pendidikan kita berubah," ucapnya.
Dirinya pun mendukung Nadiem Makarim melakukan deregulasi dan debirokratisasi terhadap aturan yang memberatkan guru. "Bayangkan guru dihantui oleh RPP (Rencana Persiapan Pembelajaran), kemudian dihantui oleh pengawas datang ke sekolah yang ternyata cara pandang mereka masih kolonial," pungkasnya.
"Semilenial apa pun umurnya tanpa kebijakan milenial, percuma," ujar Satriawan dalam acara diskusi Bertajuk Mengorkestrasi Pendidikan dengan Sumber Daya Manusia (SDM) Masa Depan yang digelar Partai Golkar di Ground 57 Coffee, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (27/11/2019).
Dia mengungkapkan, sekitar 1,3 juta orang berprofesi guru di Indonesia. Separuhnya, lanjut dia, merupakan guru honorer.
Satriawan menjelaskan gaji guru honorer selama ini terutama di daerah tergantung pada anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). "Dalam Pasal 31 UUD 1945, sekurang-kurangnya penganggaran dari APBN dan APBD. Tapi kalau kita cek dari APBD. Argumen daerah itu sudah 20 persen tapi ternyata transfer darir APBN. Dari daerah cuma nol koma nol sekian," imbuhnya.
Maka itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri didorong untuk memerhatikan anggaran pendidikan untuk daerah. Sebab, guru honorer selamanya tidak sejahtera jika digaji dengan APBD.
"Jadi sehebat apa pun pidato Nadiem, jangan berharap pendidikan kita berubah," ucapnya.
Dirinya pun mendukung Nadiem Makarim melakukan deregulasi dan debirokratisasi terhadap aturan yang memberatkan guru. "Bayangkan guru dihantui oleh RPP (Rencana Persiapan Pembelajaran), kemudian dihantui oleh pengawas datang ke sekolah yang ternyata cara pandang mereka masih kolonial," pungkasnya.
(kri)