Apresiasi Langkah Mendikbud, Kampus Merdeka Kembangkan Skill Mahasiswa
A
A
A
JAKARTA - Program Kampus Merdeka yang diluncurkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim dinilai akan meningkatkan kompetensi serta kesempatan yang lebih luas kepada mahasiswa untuk berkembang dan menambah keilmuannya.
Apalagi mahasiswa bisa mengambil mata kuliah atau kegiatan di luar kampus untuk menambah kompetensi yang ingin dicapainya. “Jadi untuk mencapai kompetensi dan kelulusan suatu prodi tidak hanya dibatasi ruang-waktu. Apakah di program lain atau diinstitusi lain, untuk melakukan magang, internship, dan sebagainya yang penting terkait dengan kompetensi yang ingin dicapai,” kata Rektor Universitas Terbuka (UT) Ojat Darojat kemarin.
Menurut dia, kebijakan Kampus Merdeka di UT akan dilakukan dengan karakteristik khususnya terkait dengan kegiatan di luar prodi. Untuk kegiatan di luar itu, disesuaikan dengan kegiatan apa saja yang bisa diambil. Sebab berbeda dengan mahasiswa tatap muka pada umumnya yang memiliki fleksibilitas dengan waktu, mayoritas mahasiswa yang kuliah di UT adalah yang sudah bekerja dan berkeluarga yang waktunya terbatas untuk kantor dan rumah. “Dalam konteks ini UT harus diatur seperti apa nanti implementasinya agar kegiatan di luar prodi tidak kontra produktif dengan aktivitas sebagai anggota keluarga dan juga anggota institusi yang telah bekerja,” ujarnya.
Mengenai dorongan Kemendikbud agar semua PTN bisa berstatus badan hukum, Ojat mengatakan UT sudah didorong menjadi PTN BH sejak 2011. Saat ini pihaknya sedang mempersiapkan tahapan berikutnya untuk perubahan status tersebut. “Karena karakteristik UT berbeda dengan PTN, kami berharap parameter PTN BH bagi UTtidak sama dengan parameter perguruan tinggi konvensional,” tandasnya.
Lebih jauh Ojat mengatakan, kampusnya akan membuka seluas-luasnya pendaftaran mahasiswa baru. Dengan demikian jumlah mahasiswa yang saat ini sekitar 302.000 biasa bertambah menjadi 1 juta orang, baik di dalam maupun luar negeri. Saat ini ada enam program studi di UT, yakni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Fakultas Sains dan Teknologi, Program Pascasarjana, Fakultas Hukum, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, dan Fakultas Ekonomi. “UT pernah mencapai masa keemasan. Pada 2010, 650.000 mahasiswa, tetapi pada 2011 sampai 2017 tinggal 280.000,” ungkapnya.
Rektor Universitas Al Azhar Indonesia Asep Saefuddin mengapresiasi kebijakan Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka ini. Dia berharap, pimpinan perguruan tinggi mampu menjabarkan kebijakan ini sebaik-baiknya. Dia me -mahami jika dari 4.000-an kampus yang ada saat ini pasti ada yang sudah siap dan ada yang belum. “Kebijakan Merdeka Belajar itu bagus sehingga kampus-kampus yang bagus dan sudah siap malah ketarik ke bawah,” katanya.
Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian mendukung kebijakan Kampus Merdeka. Misalnya saja kebijakan perkuliahan di luar prodi, mahasiswa bisa saja mengambil ilmu-ilmu lain yang sebenarnya lebih relevan dengan cita-citanya. Artinya mahasiswa bisa mempelajari kondisi riil di industri yang diminatinya atau membantu pemerintah menyelesaikan permasalahan nyata di masyarakat.
Dia juga mengapresiasi perihal akreditasi perguruan tinggi yang kini sifatnya sukarela. Akreditasi, menurutnya, merupakan masalah menahun di dunia pendidikan. Sebab proses akreditasi diwarnai masalah birokrasi yang membebani stakeholder pendidikan dan menghambat inovasi bagi pembangunan SDM.
Apalagi mahasiswa bisa mengambil mata kuliah atau kegiatan di luar kampus untuk menambah kompetensi yang ingin dicapainya. “Jadi untuk mencapai kompetensi dan kelulusan suatu prodi tidak hanya dibatasi ruang-waktu. Apakah di program lain atau diinstitusi lain, untuk melakukan magang, internship, dan sebagainya yang penting terkait dengan kompetensi yang ingin dicapai,” kata Rektor Universitas Terbuka (UT) Ojat Darojat kemarin.
Menurut dia, kebijakan Kampus Merdeka di UT akan dilakukan dengan karakteristik khususnya terkait dengan kegiatan di luar prodi. Untuk kegiatan di luar itu, disesuaikan dengan kegiatan apa saja yang bisa diambil. Sebab berbeda dengan mahasiswa tatap muka pada umumnya yang memiliki fleksibilitas dengan waktu, mayoritas mahasiswa yang kuliah di UT adalah yang sudah bekerja dan berkeluarga yang waktunya terbatas untuk kantor dan rumah. “Dalam konteks ini UT harus diatur seperti apa nanti implementasinya agar kegiatan di luar prodi tidak kontra produktif dengan aktivitas sebagai anggota keluarga dan juga anggota institusi yang telah bekerja,” ujarnya.
Mengenai dorongan Kemendikbud agar semua PTN bisa berstatus badan hukum, Ojat mengatakan UT sudah didorong menjadi PTN BH sejak 2011. Saat ini pihaknya sedang mempersiapkan tahapan berikutnya untuk perubahan status tersebut. “Karena karakteristik UT berbeda dengan PTN, kami berharap parameter PTN BH bagi UTtidak sama dengan parameter perguruan tinggi konvensional,” tandasnya.
Lebih jauh Ojat mengatakan, kampusnya akan membuka seluas-luasnya pendaftaran mahasiswa baru. Dengan demikian jumlah mahasiswa yang saat ini sekitar 302.000 biasa bertambah menjadi 1 juta orang, baik di dalam maupun luar negeri. Saat ini ada enam program studi di UT, yakni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Fakultas Sains dan Teknologi, Program Pascasarjana, Fakultas Hukum, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, dan Fakultas Ekonomi. “UT pernah mencapai masa keemasan. Pada 2010, 650.000 mahasiswa, tetapi pada 2011 sampai 2017 tinggal 280.000,” ungkapnya.
Rektor Universitas Al Azhar Indonesia Asep Saefuddin mengapresiasi kebijakan Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka ini. Dia berharap, pimpinan perguruan tinggi mampu menjabarkan kebijakan ini sebaik-baiknya. Dia me -mahami jika dari 4.000-an kampus yang ada saat ini pasti ada yang sudah siap dan ada yang belum. “Kebijakan Merdeka Belajar itu bagus sehingga kampus-kampus yang bagus dan sudah siap malah ketarik ke bawah,” katanya.
Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian mendukung kebijakan Kampus Merdeka. Misalnya saja kebijakan perkuliahan di luar prodi, mahasiswa bisa saja mengambil ilmu-ilmu lain yang sebenarnya lebih relevan dengan cita-citanya. Artinya mahasiswa bisa mempelajari kondisi riil di industri yang diminatinya atau membantu pemerintah menyelesaikan permasalahan nyata di masyarakat.
Dia juga mengapresiasi perihal akreditasi perguruan tinggi yang kini sifatnya sukarela. Akreditasi, menurutnya, merupakan masalah menahun di dunia pendidikan. Sebab proses akreditasi diwarnai masalah birokrasi yang membebani stakeholder pendidikan dan menghambat inovasi bagi pembangunan SDM.
(ysw)