UNS Prediksi Pertengahan Mei Puncak Infeksi COVID-19 di Indonesia
A
A
A
SOLO - FMIPA UNS memprediksi puncak infeksi virus Corona (COVID-19) diprediksi terjadi pada Mei 2020 mendatang. Semenjak WHO menetapkan pandemic COVID-19 pada Rabu, 11 Maret 2020, sebenarnya yang terjadi adalah perdebatan dua kubu ilmu, yaitu pengetahuan ekonomi dan pengetahuan kedoikteran.
Sehingga dari pemerintah Indonesia belum melakukan kebijakan lockdown seperti beberapa negara lain dengan berbagai pertimbangan. Pertimbangan yang paling besar adalah faktor ekonomi dimana ketika lockdown dilakukan stabilitas perekonomian akan terganggu, pertumbuhan ekonomi akan melambat bahkan berhenti. (Baca juga: Corona Kian Mengganas, 790 Orang Positif, 58 Meninggal Dunia)
Berbeda dengan harapan dari tim medis yang menghawatirkan ketika kebijakan penguncian total atau karantina tidak diambil, maka jumlah pasien yang terinfeksi COVID-19 akan terus membesar. Ditambah lagi dengan kapasitas rumah sakit dan pelayanan medis sangat terbatas, dikhawatirkan tidak bisa melayani pasien dengan baik. (Baca juga: Korban Corona Terus Bertambah, Jokowi Didesak Ambil Opsi Lockdown)
Dua perdebatan tersebut mengawali kuliah online yang dilakukan Sutanto dari Program Studi Matematika FMIPA UNS pada Selasa, 24 maret 2020, kemarin. “Saat ini tingkat kematian pasien yang terinfeksi COVID-19 sudah cukup tinggi yaitu sekitar 8,4%, bahkan sempat menyentuh angka 9%. Artinya orang yang sehat, hidup damai tibat-tiba terinfeksi tetapi yang bersangkutan tidak mengetahui kalau dirinya terjangkit COVID-19. Yang bersangkutan menyadari sudah terlambat, yaitu tatkala gejala atau sakit yang dirasakan sudah parah sehingga meninggal,” kata Sutanto.
Di saat yang bersangkutan terinfeksi dan belum diketahui maka penularan akan menyebar ke orang-orang yang sehat, dan ini cukup berbahaya. Artinya hubungan antara tingkat kematian pasien yang tinggi dengan tingkat penyebaran itu berkorelasi sangat kuat.
Sutanto juga menjelaskan kondisi secara matematis dinamika populasi COVID-19 ini dengan model SIQR. Penjelasan model ini adalah Susceptible (S) digambarkan sebagai orang yang sehat yang rentan terinfeksi, Infected (I) sebagai individu yang terinfeksi, Quarantine (Q) sebagai proses karantina dan Recovery (R) adalah individu/ kelompok yang telah sembuh dari COVID-19.
”Sucsceptible ini sangat dipengaruhi oleh laju kontak yang digambarkan dengan notasi Beta. Ketika Beta besar seiring dengan aktivitas bertemu, berkerumun dan event bersama maka potensi orang menjadi Infected,” ucapnya.
Menurut dia, ketika Infected (I) dilakukan Quarantine (Q) secara penuh, yang besarnya tergantung dari kemampuan Negara masing-masing (Alpha). Orang yang dikarantina tersebut juga mempunyai dua kemungkinan yaitu sembuh atau meninggal.
Bagi yang sembuh (Recovery) yang dinotasikan sebagai “R” kemungkinan juga masih rentan atau tidak terhadap penyebaran virus kembali, tergantung tingkat imunitas masing-masing individu. Sehingga ketika individu tersebut mempunyai imunitas yang bagus maka potensi tertular kembali (Theta) bisa saja bernilai nol.
”Dari hasil Model SIQR (Susceptible-Infected-Quarantie-Recovery) berupa sistem persamaan diferensial yang diselesaikan dengan Metode Numerik Runge-Kutta Order 4 dapat ditarik kesimpulan jika tidak ada perubahan dalam penanganan, diperkirakan puncak infeksi terjadi puncak pada pertengahan Mei 2020,” ucapnya.
Prediksi tersebut diambil berdasarkan data COVID-19 Indonesia data dari 2 Maret sampai 22 maret 2020. Prediksi tersebut dilakukan selama masa prediksi 100 hari mulai 2 Maret – 10 Juni 2020.
“Jika diterus-teruskan seperti ini maka jumlah yang terinfeksi puncaknya pada pertengahan Mei ini dengan jumlah 2,5% dari seluruh populasi di masing-masing wilayah (penduduk Indonesia) terinfeksi. Selama prediksi 100 hari penyebaran virus akan menurun pada Juni tetapi tidak serta merta hilang,” ujar Sutanto
Dia menambahkan, COVID-19 bisa musnah dari Indonesia tapi tergantung pada 2 parameter yaitu Alpha dan Beta. Angka terinfeksi COVID-19 ini bisa saja turun drastis bahkan sampai hilang jika laju karantina (Alpha) semakin besar daripada laju kontak penderita ke Sucsceptible (Beta).
Ada 3 skenario yang bisa dilakukan, pertama adalah strategi kuadran I yaitu dengan menaikkan laju karantina dan mempertahankan laju kontak di bawah angka 0.9, maka virus akan hilang sebelum 10 Juni 2020. Yang kedua, kalau Alpha dan Beta berada pada garis miring maka virus hilang pada 20 Juni. Tapi jika laju kontak lebih besar daripada laju karantina maka virus masih menginfeksi Indonesia.
Pemerintah harus segera melakukan rapid test untuk mengetahui individu yang terinfeksi dan yang sehat. Kemudian kelompok yang terinfeksi tersebut dipisahkan ke rumah sakit rujukan atau Wisma Atlet Kemayoran untuk kemudian diisolasi. Sementara yang sehat dibatasi pergerakkannya. Sehingga bisa memperbesar laju Alpha. Kemudian langkah selanjutnya yaitu menekan orang yang masih sehat untuk tetap di rumah sehingga bisa menekan laju Beta.
“Jika Beta sebesar 0.5, dalam simulasi ini maka virus akan hilang sebelum 10 Juni 2020, jika tidak kita akan berada di kuadran II dan ini kondisi yang sangat berbahaya. Tidak perlu berdebat, kita harus bekerja dan segera pilih Kuadran I ini lebih cepat, ekonomi juga akan tetap baik, dunia medis juga tidak akan capek,” kata Sutanto.
Sehingga dari pemerintah Indonesia belum melakukan kebijakan lockdown seperti beberapa negara lain dengan berbagai pertimbangan. Pertimbangan yang paling besar adalah faktor ekonomi dimana ketika lockdown dilakukan stabilitas perekonomian akan terganggu, pertumbuhan ekonomi akan melambat bahkan berhenti. (Baca juga: Corona Kian Mengganas, 790 Orang Positif, 58 Meninggal Dunia)
Berbeda dengan harapan dari tim medis yang menghawatirkan ketika kebijakan penguncian total atau karantina tidak diambil, maka jumlah pasien yang terinfeksi COVID-19 akan terus membesar. Ditambah lagi dengan kapasitas rumah sakit dan pelayanan medis sangat terbatas, dikhawatirkan tidak bisa melayani pasien dengan baik. (Baca juga: Korban Corona Terus Bertambah, Jokowi Didesak Ambil Opsi Lockdown)
Dua perdebatan tersebut mengawali kuliah online yang dilakukan Sutanto dari Program Studi Matematika FMIPA UNS pada Selasa, 24 maret 2020, kemarin. “Saat ini tingkat kematian pasien yang terinfeksi COVID-19 sudah cukup tinggi yaitu sekitar 8,4%, bahkan sempat menyentuh angka 9%. Artinya orang yang sehat, hidup damai tibat-tiba terinfeksi tetapi yang bersangkutan tidak mengetahui kalau dirinya terjangkit COVID-19. Yang bersangkutan menyadari sudah terlambat, yaitu tatkala gejala atau sakit yang dirasakan sudah parah sehingga meninggal,” kata Sutanto.
Di saat yang bersangkutan terinfeksi dan belum diketahui maka penularan akan menyebar ke orang-orang yang sehat, dan ini cukup berbahaya. Artinya hubungan antara tingkat kematian pasien yang tinggi dengan tingkat penyebaran itu berkorelasi sangat kuat.
Sutanto juga menjelaskan kondisi secara matematis dinamika populasi COVID-19 ini dengan model SIQR. Penjelasan model ini adalah Susceptible (S) digambarkan sebagai orang yang sehat yang rentan terinfeksi, Infected (I) sebagai individu yang terinfeksi, Quarantine (Q) sebagai proses karantina dan Recovery (R) adalah individu/ kelompok yang telah sembuh dari COVID-19.
”Sucsceptible ini sangat dipengaruhi oleh laju kontak yang digambarkan dengan notasi Beta. Ketika Beta besar seiring dengan aktivitas bertemu, berkerumun dan event bersama maka potensi orang menjadi Infected,” ucapnya.
Menurut dia, ketika Infected (I) dilakukan Quarantine (Q) secara penuh, yang besarnya tergantung dari kemampuan Negara masing-masing (Alpha). Orang yang dikarantina tersebut juga mempunyai dua kemungkinan yaitu sembuh atau meninggal.
Bagi yang sembuh (Recovery) yang dinotasikan sebagai “R” kemungkinan juga masih rentan atau tidak terhadap penyebaran virus kembali, tergantung tingkat imunitas masing-masing individu. Sehingga ketika individu tersebut mempunyai imunitas yang bagus maka potensi tertular kembali (Theta) bisa saja bernilai nol.
”Dari hasil Model SIQR (Susceptible-Infected-Quarantie-Recovery) berupa sistem persamaan diferensial yang diselesaikan dengan Metode Numerik Runge-Kutta Order 4 dapat ditarik kesimpulan jika tidak ada perubahan dalam penanganan, diperkirakan puncak infeksi terjadi puncak pada pertengahan Mei 2020,” ucapnya.
Prediksi tersebut diambil berdasarkan data COVID-19 Indonesia data dari 2 Maret sampai 22 maret 2020. Prediksi tersebut dilakukan selama masa prediksi 100 hari mulai 2 Maret – 10 Juni 2020.
“Jika diterus-teruskan seperti ini maka jumlah yang terinfeksi puncaknya pada pertengahan Mei ini dengan jumlah 2,5% dari seluruh populasi di masing-masing wilayah (penduduk Indonesia) terinfeksi. Selama prediksi 100 hari penyebaran virus akan menurun pada Juni tetapi tidak serta merta hilang,” ujar Sutanto
Dia menambahkan, COVID-19 bisa musnah dari Indonesia tapi tergantung pada 2 parameter yaitu Alpha dan Beta. Angka terinfeksi COVID-19 ini bisa saja turun drastis bahkan sampai hilang jika laju karantina (Alpha) semakin besar daripada laju kontak penderita ke Sucsceptible (Beta).
Ada 3 skenario yang bisa dilakukan, pertama adalah strategi kuadran I yaitu dengan menaikkan laju karantina dan mempertahankan laju kontak di bawah angka 0.9, maka virus akan hilang sebelum 10 Juni 2020. Yang kedua, kalau Alpha dan Beta berada pada garis miring maka virus hilang pada 20 Juni. Tapi jika laju kontak lebih besar daripada laju karantina maka virus masih menginfeksi Indonesia.
Pemerintah harus segera melakukan rapid test untuk mengetahui individu yang terinfeksi dan yang sehat. Kemudian kelompok yang terinfeksi tersebut dipisahkan ke rumah sakit rujukan atau Wisma Atlet Kemayoran untuk kemudian diisolasi. Sementara yang sehat dibatasi pergerakkannya. Sehingga bisa memperbesar laju Alpha. Kemudian langkah selanjutnya yaitu menekan orang yang masih sehat untuk tetap di rumah sehingga bisa menekan laju Beta.
“Jika Beta sebesar 0.5, dalam simulasi ini maka virus akan hilang sebelum 10 Juni 2020, jika tidak kita akan berada di kuadran II dan ini kondisi yang sangat berbahaya. Tidak perlu berdebat, kita harus bekerja dan segera pilih Kuadran I ini lebih cepat, ekonomi juga akan tetap baik, dunia medis juga tidak akan capek,” kata Sutanto.
(cip)