Kemendikbud tambah jam ajar Agama dan Budi Pekerti
A
A
A
Sindonews.com - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyatakan salah satu syarat untuk meredam kasus kekerasan ialah dengan menambah jam mengajar mata pelajaran Agama dan Budi Pekerti di sekolah.
Mendikbud Mohammad Nuh mengatakan, tantangan terberat dalam dunia pendidikan ialah urusan sikap. Sementara, sikap ini adalah salah satu ukuran kualitas pendidikan selain pengetahuan dan kemampuan.
“Tentu kami sedih munculnya kekerasan di SD ini. Inilah tantangan terberat dalam dunia pendidkan yakni urusan kualitas yang dilihat dari sikap,” katanya usai mengunjungi pelaksanaan Ujian Nasional (UN) SMP di SMP 241 Pulau Tidung, Kepulauan Seribu, Senin (5/5/2014).
Mantan Menkominfo ini menyatakan, salah satu cara yang dilakukan Kemendikbud untuk menumbuhkan sikap ini ialah dengan menambah jam mengajar pendidikan agama dan budi pekerti dari dua jam menjadi empat jam. Dia beralasan, urusan sikap ini sangat terkait dengan budi pekerti.
Bahkan interaksi sosial anak didik pun ada kaitannya dengan budi pekerti. Oleh karena itu nama pelajarannya akan dinamakan pelajaran Agama tertentu yang diyakini siswa dan Budi Pekerti. Contohnya pelajaran Agama Islam dan Budi Pekerti dan seterusnya.
Mengenai sanksi kepada pelaku pembunuhan yang masih anak-anak, kata dia, pihaknya menyerahkan sepenuhnya ke kepolisian. Tentu sanksi yang harus dijalani pelaku harus menjamin hak si anak untuk mendapatkan pendidikan dan perlindungan sesuai dengan UU Perlindungan Anak.
Mendikbud mengharapkan anak yang ditetapkan menjadi pelaku ini tetap mendapatkan pembinaan dan pendampingan yang baik agar dia menyadari betul kesalahannya. “Pelaku harus didekatkan dengan bimbingan saling menghargai dan menghormati sesama kawannya,” terangnya.
Mantan Rektor ITS ini dia tidak setuju dengan opsi penutupan sekolah SD yang bersangkutan. Dia menjelaskan, sekolah tidak harus serta merta ditutup karena budaya kekerasan tidak ditanamkan di sekolah itu.
Justru yang mesti ditekankan ialah bagaimana pembinaan bagi sang pelaku. Akan tetapi dia meminta dinas pendidikan mengevaluasi kasus kekerasan yang terjadi dan pembinaan semacam apa yang tepat dilakukan di sekolah-sekolah.
Survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 2012 sangatlah mengejutkan. Dari 1.026 responden anak (SD/MI, SMP/MTs dan SMA/MA) yang tersebar di sembilan provinsi, 87,6 persen responden anak mengaku mengalami tindak kekerasan di lingkungan sekolah.
Sebanyak 66,5 persen total responden atau 628 anak pernah mengalami kekerasan yang dilakukan guru, 74,8 persen atau 767 anak pernah mengalami kekerasan yang dilakukan teman sekelas (74,8 persen), dan sebanyak 578 anak pernah mengalami kekerasan yang dilakukan teman lain kelas (56,3 persen).
Mendikbud Mohammad Nuh mengatakan, tantangan terberat dalam dunia pendidikan ialah urusan sikap. Sementara, sikap ini adalah salah satu ukuran kualitas pendidikan selain pengetahuan dan kemampuan.
“Tentu kami sedih munculnya kekerasan di SD ini. Inilah tantangan terberat dalam dunia pendidkan yakni urusan kualitas yang dilihat dari sikap,” katanya usai mengunjungi pelaksanaan Ujian Nasional (UN) SMP di SMP 241 Pulau Tidung, Kepulauan Seribu, Senin (5/5/2014).
Mantan Menkominfo ini menyatakan, salah satu cara yang dilakukan Kemendikbud untuk menumbuhkan sikap ini ialah dengan menambah jam mengajar pendidikan agama dan budi pekerti dari dua jam menjadi empat jam. Dia beralasan, urusan sikap ini sangat terkait dengan budi pekerti.
Bahkan interaksi sosial anak didik pun ada kaitannya dengan budi pekerti. Oleh karena itu nama pelajarannya akan dinamakan pelajaran Agama tertentu yang diyakini siswa dan Budi Pekerti. Contohnya pelajaran Agama Islam dan Budi Pekerti dan seterusnya.
Mengenai sanksi kepada pelaku pembunuhan yang masih anak-anak, kata dia, pihaknya menyerahkan sepenuhnya ke kepolisian. Tentu sanksi yang harus dijalani pelaku harus menjamin hak si anak untuk mendapatkan pendidikan dan perlindungan sesuai dengan UU Perlindungan Anak.
Mendikbud mengharapkan anak yang ditetapkan menjadi pelaku ini tetap mendapatkan pembinaan dan pendampingan yang baik agar dia menyadari betul kesalahannya. “Pelaku harus didekatkan dengan bimbingan saling menghargai dan menghormati sesama kawannya,” terangnya.
Mantan Rektor ITS ini dia tidak setuju dengan opsi penutupan sekolah SD yang bersangkutan. Dia menjelaskan, sekolah tidak harus serta merta ditutup karena budaya kekerasan tidak ditanamkan di sekolah itu.
Justru yang mesti ditekankan ialah bagaimana pembinaan bagi sang pelaku. Akan tetapi dia meminta dinas pendidikan mengevaluasi kasus kekerasan yang terjadi dan pembinaan semacam apa yang tepat dilakukan di sekolah-sekolah.
Survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 2012 sangatlah mengejutkan. Dari 1.026 responden anak (SD/MI, SMP/MTs dan SMA/MA) yang tersebar di sembilan provinsi, 87,6 persen responden anak mengaku mengalami tindak kekerasan di lingkungan sekolah.
Sebanyak 66,5 persen total responden atau 628 anak pernah mengalami kekerasan yang dilakukan guru, 74,8 persen atau 767 anak pernah mengalami kekerasan yang dilakukan teman sekelas (74,8 persen), dan sebanyak 578 anak pernah mengalami kekerasan yang dilakukan teman lain kelas (56,3 persen).
(kri)