Survei Pelaksanaan PJJ, Guru Punya Semangat Belajar Menguasai Teknologi Informasi
Selasa, 28 April 2020 - 17:10 WIB
JAKARTA - Pembelajaran jarak jauh (PJJ) selama pandemi COVID-19 ini dianggap hanya memindahkan ruang kelas ke ponsel pintar dan komputer. Pelaksanaan penuh dengan kendala dan keluhan, baik dari guru, siswa, dan orang tua.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti mengungkapkan lembaganya mendapatkan pengaduan dari siswa tentang PJJ yang memberatkan. Di saat bersamaan, para guru juga mengadukan KPAI melalui aplikasi LAPOR! milik Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB).
“Seolah-olah KPAI tidak adil terhadap guru. Guru tidak nyaman atas pengaduaan anak-anak. Akhirnya, tidak hanya siswa yang disurvei, tapi guru juga. Kami ingin mendapatkan benang merah dari permasalahan PJJ,” ujarnya dalam video conference di Jakarta, Selasa (28/04/2020).
Ketua KPAI Susanto mengatakan PJJ tidak bisa dielakkan karena menyesuaikan dengan kondisi saat ini yang sedang pandemi COVID-19. Dalam situasi darurat seperti ini, menurutnya, anak-anak memerlukan perlindungan khusus.
Namun, berdasarkan survei yang dilakukan KPAI dan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) ditemukan fakta bahwa anak-anak aktif ketika melaksanakan PJJ. “Prinsip survei KPAI ini semangatnya untuk perbaikan layanan pendidikan. Dalam situasi pandemi COVID-19, anak-anak tetap aman dan bahagia mendapatkan layanan pendidikan yang baik,” terangnya.
Kenyataan PJJ itu memiliki banyak masalah bagi guru. Masalah itu, antara lain, kepemilikan dan penguasaan teknologi yang ada dalam gawai, keterbatasan kemampuan penggunaan aplikasi pembelajaran daring, tidak adanya pedoman PJJ dari sekolah, dan sekolah tidak memberikan bantuan fasilitas.
Wasekjen FSGI Satriwan Salim mengatakan kabar baik untuk dunia pendidikan di tengah pandemi COVID-19 ini, para guru memiliki antusias untuk belajar teknologi baru dan mengajar kepada siswanya.
“Semangat para guru ini menjadi harapan pastinya. Rasa ingin tahu, terus belajar mengelola PJJ berbasis daring, dan tak apatis bahkan pesimis. Ini patut diapresiasi pemerintah, orang tua, siswa, dan publik umumnya. Hanya 6% guru yang merasa terbebani dengan PJJ,” paparnya.
Untuk itu, KPAI dan FSGI mendorong pemerintah daerah (pemda) untuk memberikan pelatihan kepada guru. Tujuannya, agar tujuan PJJ yang bermakna dan berorientasi kepada siswa tercapai. Rekomendasi lain, perlu adanya pelatihan pemanfaatan media pembelajaran berbasis teknologi informasi (TI).
Selain itu, Retno menegaskan pemda harus sungguh memetakan daerah, orang tua, dan siswa mana yang tidak memiliki akses penuh terhadap ponsel pintar, komputer, dan internet.
“PJJ secara prinsipnya tidak menyamakan (kemampuan). Masing-masing anak dan keluarga berbeda. Kondisi Covid-19 bisa bikin perubahan lagi, yang tadinya tidak miskin bisa jadi miskin. Ini memerlukan panduan yang jelas di lapangan,” pungkasnya.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti mengungkapkan lembaganya mendapatkan pengaduan dari siswa tentang PJJ yang memberatkan. Di saat bersamaan, para guru juga mengadukan KPAI melalui aplikasi LAPOR! milik Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB).
“Seolah-olah KPAI tidak adil terhadap guru. Guru tidak nyaman atas pengaduaan anak-anak. Akhirnya, tidak hanya siswa yang disurvei, tapi guru juga. Kami ingin mendapatkan benang merah dari permasalahan PJJ,” ujarnya dalam video conference di Jakarta, Selasa (28/04/2020).
Ketua KPAI Susanto mengatakan PJJ tidak bisa dielakkan karena menyesuaikan dengan kondisi saat ini yang sedang pandemi COVID-19. Dalam situasi darurat seperti ini, menurutnya, anak-anak memerlukan perlindungan khusus.
Namun, berdasarkan survei yang dilakukan KPAI dan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) ditemukan fakta bahwa anak-anak aktif ketika melaksanakan PJJ. “Prinsip survei KPAI ini semangatnya untuk perbaikan layanan pendidikan. Dalam situasi pandemi COVID-19, anak-anak tetap aman dan bahagia mendapatkan layanan pendidikan yang baik,” terangnya.
Kenyataan PJJ itu memiliki banyak masalah bagi guru. Masalah itu, antara lain, kepemilikan dan penguasaan teknologi yang ada dalam gawai, keterbatasan kemampuan penggunaan aplikasi pembelajaran daring, tidak adanya pedoman PJJ dari sekolah, dan sekolah tidak memberikan bantuan fasilitas.
Wasekjen FSGI Satriwan Salim mengatakan kabar baik untuk dunia pendidikan di tengah pandemi COVID-19 ini, para guru memiliki antusias untuk belajar teknologi baru dan mengajar kepada siswanya.
“Semangat para guru ini menjadi harapan pastinya. Rasa ingin tahu, terus belajar mengelola PJJ berbasis daring, dan tak apatis bahkan pesimis. Ini patut diapresiasi pemerintah, orang tua, siswa, dan publik umumnya. Hanya 6% guru yang merasa terbebani dengan PJJ,” paparnya.
Untuk itu, KPAI dan FSGI mendorong pemerintah daerah (pemda) untuk memberikan pelatihan kepada guru. Tujuannya, agar tujuan PJJ yang bermakna dan berorientasi kepada siswa tercapai. Rekomendasi lain, perlu adanya pelatihan pemanfaatan media pembelajaran berbasis teknologi informasi (TI).
Selain itu, Retno menegaskan pemda harus sungguh memetakan daerah, orang tua, dan siswa mana yang tidak memiliki akses penuh terhadap ponsel pintar, komputer, dan internet.
“PJJ secara prinsipnya tidak menyamakan (kemampuan). Masing-masing anak dan keluarga berbeda. Kondisi Covid-19 bisa bikin perubahan lagi, yang tadinya tidak miskin bisa jadi miskin. Ini memerlukan panduan yang jelas di lapangan,” pungkasnya.
(kri)
tulis komentar anda