Dekan FSH UIN Jakarta: Banyak Produk Hukum Tak Sesuai Spirit Pancasila
Kamis, 23 Juli 2020 - 20:22 WIB
JAKARTA - Sejumlah produk hukum peraturan perundang-undangan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) termasuk oleh Mahkamah Agung (MA). Pembatalan norma oleh lembaga peradilan melalui proses judicial review ini menandakan produk hukum keluar dari bingkai Pancasila dan Konstitusi.
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta , Ahmad Tholabi Kharlie, memberi catatan serius atas banyaknya peraturan perundang-undangan yang berujung pembatalan di MK maupun di MA. (Baca juga: Mahfud Tak Perlu Repot Hidupkan TPK, Cukup Agresif Desak Aparat Tangkap Djoko Tjandra )
"Secara substanstial, pembatalan produk hukum baik di MK maupun di MA karena keluar dari spirit Pancasila dan Konstitusi. Pancasila sebagai norma fundamental (staat fundamental norm) negara harus menjadi pemandu dalam perumusan norma hukum," katanya saat menjadi pembicara kunci dalam diskusi webinar yang digelar Pusat Studi Konstitusi dan Legsilasi Nasional (Poskolegnas) FSH UIN Jakarta, Kamis (23/7/2020).
Doktor pemerhati hukum tata negara ini menegaskan tentang perlunya upaya serius untuk memastikan seluruh produk hukum yang berorientasi pengaturan terhadap hajat hidup orang banyak harus dipastikan sesuai dengan spirit Pancasila. "UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang telah diubah menjadi UU No 15 Tahun 2019 sebenarnya telah cukup kuat untuk menjadi pemandu dalam perumusan peraturan perundang-undangan agar sesuai dengan Pancasila dan Konstitusi," ujar Tholabi. (Baca juga: Prof Nyayu Khodijah, Rektor Perempuan Pertama di UIN Raden Fatah Palembang )
Hanya saja, sambung dia, dalam praktik pelaksanaannya baik dalam perumusan dan pembahasan produk peraturan perundang-undangan, para perumus peraturan perundang-undangan (law maker) mengabaikan persoalan susbstantif seperti landasan filosfis Pancasila. "Perlu ada upaya kuat untuk melakukan pribumisasi Pancasila melalui produk hukum," tegas Dekan termuda di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
Lebih lanjut, Ketua Forum Dekan Syariah dan Hukum Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) se-Indonesia ini menyebutkan perdebatan Pancasila mestinya ditempatkan dalam koridor apakah sebuah produk hukum telah sesuai dengan nilai-nilai Pancasila atau tidak. "Bukan seperti beberapa waktu lalu dengan mendorong lahirnya RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang justru mereduksi Pancasila yang sejatinya menempati posisi sebagai norma tertinggi," cetus Tholabi. (Baca juga: Melalui IConISE, Cara ITS Kembangkan Big Data )
Menurut dia, jauh lebih tepat jika negara merumuskan RUU Pembinaan Ideologi Pancasila (PIP) yang belakangan disuarakan oleh pemerintah sebagai upaya penguatan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan untuk memastikan pelaksanaan nilai Pancasila dalam produk hukum. "Namun, dalam hemat saya, saat ini bukan waktu yang tepat untuk mendorong RUU PIP, mengingat beberapa waktu lalu publik dibuat gaduh karena RUU HIP. Baiknya matangkan terlebih dahulu dari sisi konsep dan substansi," saran Tholabi.
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta , Ahmad Tholabi Kharlie, memberi catatan serius atas banyaknya peraturan perundang-undangan yang berujung pembatalan di MK maupun di MA. (Baca juga: Mahfud Tak Perlu Repot Hidupkan TPK, Cukup Agresif Desak Aparat Tangkap Djoko Tjandra )
"Secara substanstial, pembatalan produk hukum baik di MK maupun di MA karena keluar dari spirit Pancasila dan Konstitusi. Pancasila sebagai norma fundamental (staat fundamental norm) negara harus menjadi pemandu dalam perumusan norma hukum," katanya saat menjadi pembicara kunci dalam diskusi webinar yang digelar Pusat Studi Konstitusi dan Legsilasi Nasional (Poskolegnas) FSH UIN Jakarta, Kamis (23/7/2020).
Doktor pemerhati hukum tata negara ini menegaskan tentang perlunya upaya serius untuk memastikan seluruh produk hukum yang berorientasi pengaturan terhadap hajat hidup orang banyak harus dipastikan sesuai dengan spirit Pancasila. "UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang telah diubah menjadi UU No 15 Tahun 2019 sebenarnya telah cukup kuat untuk menjadi pemandu dalam perumusan peraturan perundang-undangan agar sesuai dengan Pancasila dan Konstitusi," ujar Tholabi. (Baca juga: Prof Nyayu Khodijah, Rektor Perempuan Pertama di UIN Raden Fatah Palembang )
Hanya saja, sambung dia, dalam praktik pelaksanaannya baik dalam perumusan dan pembahasan produk peraturan perundang-undangan, para perumus peraturan perundang-undangan (law maker) mengabaikan persoalan susbstantif seperti landasan filosfis Pancasila. "Perlu ada upaya kuat untuk melakukan pribumisasi Pancasila melalui produk hukum," tegas Dekan termuda di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
Lebih lanjut, Ketua Forum Dekan Syariah dan Hukum Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) se-Indonesia ini menyebutkan perdebatan Pancasila mestinya ditempatkan dalam koridor apakah sebuah produk hukum telah sesuai dengan nilai-nilai Pancasila atau tidak. "Bukan seperti beberapa waktu lalu dengan mendorong lahirnya RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang justru mereduksi Pancasila yang sejatinya menempati posisi sebagai norma tertinggi," cetus Tholabi. (Baca juga: Melalui IConISE, Cara ITS Kembangkan Big Data )
Menurut dia, jauh lebih tepat jika negara merumuskan RUU Pembinaan Ideologi Pancasila (PIP) yang belakangan disuarakan oleh pemerintah sebagai upaya penguatan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan untuk memastikan pelaksanaan nilai Pancasila dalam produk hukum. "Namun, dalam hemat saya, saat ini bukan waktu yang tepat untuk mendorong RUU PIP, mengingat beberapa waktu lalu publik dibuat gaduh karena RUU HIP. Baiknya matangkan terlebih dahulu dari sisi konsep dan substansi," saran Tholabi.
(mpw)
tulis komentar anda