PJJ Masih Terkendala, Serikat Guru Minta Pemerintah Turun Tangan
Jum'at, 24 Juli 2020 - 05:30 WIB
JAKARTA - Kegiatan belajar mengajar di tahun ajaran baru telah dimulai sejak pertengahan Juli lalu. Namun, Federasi Serikat Guru Indonesia ( FSGI ) menyoroti persoalan pelaksanaan pendidikan jarak jauh ( PJJ ) di fase II ini ternyata masih sama dengan tiga bulan di fase pertama saat PJJ diterapkan karena pandemi corona di Indonesia, Maret silam.
Ada dua pokok persoalan yaitu PJJ daring (online) dan luring (offline). Bagi guru dan siswa yang tidak bisa melaksanakan pembelajaran secara daring, kendalanya karena tak memiliki wifi, jaringan internet yang belum masuk ke daerahnya. Kalaupun ada jaringan internet, tapi sinyalnya buruk bahkan tak ada listrik. (Baca juga: Tak Miliki Kuota Internet, Siswa Ini Terpaksa Numpang Belajar di Kelurahan)
“Ada 46.000 lebih sekolah yang tak merasakan PJJ daring tersebut. Ini terjadi mayoritas di daerah pelosok, pegunungan, khususnya di 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar),” kata Wasekjen FSGI Satriwan Salim kepada SINDOnews, Kamis (23/7/2020) malam.
Tidak hanya keterbatasan akses internet dan listrik, hambatan PJJ juga mencakup kepemilikan gawai pintar. Di Jabodetabek, FSGI mendapat laporan dalam masa PJJ fase II masih banyak siswa tak memiliki gawai pintar secara pribadi. (Baca juga: Terkendala Biaya, Ratusan Murid SD Terima Bantuan Kuota Internet Gratis)
“Punya gawai hanya satu, itupun dipegang orang tua. Alhasil, enggak bisa ikut pembelajaran daring bersama temannya di siang hari,” ungkapnya.
Keterbatasan itu membuat pembelajaran dilakukan dengan metode guru yang berkunjung ke rumah siswa. Hanya, metode tersebut dinilai tak efektif lantaran jumlah guru tak memadai jika harus melayani semua siswa tiga angkatan seperti di SMP dan SMA.
Selain itu, waktu mereka juga sangat terbatas. Bahkan, acap kali guru tak bisa berkunjung karena faktor geografis jauhnya rumah siswa di pegunungan yang sulit ditempuh guru. Fakta ini misal terjadi di beberapa kabupaten seperti Konawe Selatan, Bima, Halmahera Selatan, Ngada, Alor, Timur Tengah Utara, Timur Tengah Selatan, Jayawijaya, Keerom, dan lainnya.
Lantaran itu, Satriwan mendorong agar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan maupun Kementerian Agama mendata jumlah siswa dan guru yang terkendala selama PJJ, seperti tak memiliki gawai pintar dan tidak punya akses internet. Menurut dia, kebijakan negara sangat segera dibutuhkan untuk mengintervensi kualitas pembelajaran PJJ.
“Jika dibiarkan berlarut-larut, maka disparitas kesenjangan kualitas pembelajaran dan pendidikan kita makin timpang, makin besar antara siswa yang PJJ luring maupun daring. Kewajiban pemerintah memperpendek ketimpangan kualitas pendidikan tersebut,” tandasnya.
Ada dua pokok persoalan yaitu PJJ daring (online) dan luring (offline). Bagi guru dan siswa yang tidak bisa melaksanakan pembelajaran secara daring, kendalanya karena tak memiliki wifi, jaringan internet yang belum masuk ke daerahnya. Kalaupun ada jaringan internet, tapi sinyalnya buruk bahkan tak ada listrik. (Baca juga: Tak Miliki Kuota Internet, Siswa Ini Terpaksa Numpang Belajar di Kelurahan)
“Ada 46.000 lebih sekolah yang tak merasakan PJJ daring tersebut. Ini terjadi mayoritas di daerah pelosok, pegunungan, khususnya di 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar),” kata Wasekjen FSGI Satriwan Salim kepada SINDOnews, Kamis (23/7/2020) malam.
Tidak hanya keterbatasan akses internet dan listrik, hambatan PJJ juga mencakup kepemilikan gawai pintar. Di Jabodetabek, FSGI mendapat laporan dalam masa PJJ fase II masih banyak siswa tak memiliki gawai pintar secara pribadi. (Baca juga: Terkendala Biaya, Ratusan Murid SD Terima Bantuan Kuota Internet Gratis)
“Punya gawai hanya satu, itupun dipegang orang tua. Alhasil, enggak bisa ikut pembelajaran daring bersama temannya di siang hari,” ungkapnya.
Keterbatasan itu membuat pembelajaran dilakukan dengan metode guru yang berkunjung ke rumah siswa. Hanya, metode tersebut dinilai tak efektif lantaran jumlah guru tak memadai jika harus melayani semua siswa tiga angkatan seperti di SMP dan SMA.
Selain itu, waktu mereka juga sangat terbatas. Bahkan, acap kali guru tak bisa berkunjung karena faktor geografis jauhnya rumah siswa di pegunungan yang sulit ditempuh guru. Fakta ini misal terjadi di beberapa kabupaten seperti Konawe Selatan, Bima, Halmahera Selatan, Ngada, Alor, Timur Tengah Utara, Timur Tengah Selatan, Jayawijaya, Keerom, dan lainnya.
Lantaran itu, Satriwan mendorong agar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan maupun Kementerian Agama mendata jumlah siswa dan guru yang terkendala selama PJJ, seperti tak memiliki gawai pintar dan tidak punya akses internet. Menurut dia, kebijakan negara sangat segera dibutuhkan untuk mengintervensi kualitas pembelajaran PJJ.
“Jika dibiarkan berlarut-larut, maka disparitas kesenjangan kualitas pembelajaran dan pendidikan kita makin timpang, makin besar antara siswa yang PJJ luring maupun daring. Kewajiban pemerintah memperpendek ketimpangan kualitas pendidikan tersebut,” tandasnya.
(nbs)
tulis komentar anda