Pembukaan Sekolah di Zona Kuning, Komisi X DPR Ingatkan Prinsip Kehati-hatian
Jum'at, 07 Agustus 2020 - 23:28 WIB
JAKARTA - Pemerintah memutuskan untuk membuka sekolah di zona kuning , namun tidak mewajibkan melakukan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) secara tatap muka. Kebijakan tersebut tercantum dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 menteri, yakni Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Menteri Kesehatan (Menkes), dan Menteri Agama (Menag).
Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian mengatakan, dapat memahami kebijakan 4 menteri yang bersifat multidimensional. Namun, dia menekankan bahwa kesehatan dan keselamatan tetaplah harus menjadi prioritas. (Baca juga; Kemendikbud Akhirnya Terbitkan Kurikulum Darurat Pandemi Covid-19 )
Untuk itu, harus ada mekanisme dari pemerintah untuk mengontrol sekolah yang akan dibuka benar-benar memenuhi daftar periksa. “Jangan sampai itu hanya menjadi formalitas dan di lapangan tidak dilakukan,” kata Hetifah kepada SINDO Media, Jumat (7/8/2020).
Hetifa juga berharap fasilitas pembelajaran jarak jauh (PJJ) tetap diadakan bagi orang tua yang memilih anaknya tidak belajar di sekolah. Semisal ada sekolah yang dibuka, tapi sebagian orang tua merasa belum nyaman anaknya berangkat ke sekolah, maka harus difasilitasi untuk tetap menjalankan PJJ.
“Misalnya, proses belajar mengajar di kelas divideokan atau siswa lain bisa mengikuti melalui aplikasi telekonferensi. Jangan sampai karena sekolah dibuka dan mayoritas siswa masuk sekolah, mereka yang memilih untuk tetap di rumah jadi terdiskriminasi,” papar Hetifah.
Selain itu, Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bidang Kesra ini berharap agar kurikulum adaptif ini dapat digunakan bukan hanya mereka yang melakukan pembelajaran jarak jauh, tapi juga yang melakukan pembelajaran tatap muka di sekolah. (Baca juga; Guru Usia 45 Tahun ke Atas Dilarang Mengajar Tatap Muka di Sekolah )
“Meski Kemendikbud memberikan opsi untuk menggunakan kurikulum sederhana atau tetap yang biasa, saya sarankan lebih baik sudah semuanya pakai yang sederhana saja. Yang tatap muka pun di kondisi seperti ini pasti akan stres kalau disuruh mengejar materi terlalu banyak. Guru-guru juga akan banyak sekali bebannya, karena harus mengajar lebih dari satu shift,” jelasnya.
Lebih dari itu, legislator Dapil Kalimantan Timur (Kaltim) ini berharap opsi menyekolahkan siswa menjadi opsi terakhir jika PJJ benar-benar tidak dapat dilaksanakan. Karena pemerintah tidak mewajibkan, tapi membolehkan, dia berharap kebijakan dari pemerintah daerah (pemda), kepala sekolah, dan orang tua untuk mempertimbangkan masak-masak keputusan ini.
“Kalau memang masih bisa di rumah, sebaiknya di rumah saja. Tapi kalau memang sulit dengan alasan keterbatasan internet, atau orangtua bekerja, barulah tatap muka ini dipilih sebagai opsi terakhir dengan protokol yang ketat,” tandasnya.
Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian mengatakan, dapat memahami kebijakan 4 menteri yang bersifat multidimensional. Namun, dia menekankan bahwa kesehatan dan keselamatan tetaplah harus menjadi prioritas. (Baca juga; Kemendikbud Akhirnya Terbitkan Kurikulum Darurat Pandemi Covid-19 )
Untuk itu, harus ada mekanisme dari pemerintah untuk mengontrol sekolah yang akan dibuka benar-benar memenuhi daftar periksa. “Jangan sampai itu hanya menjadi formalitas dan di lapangan tidak dilakukan,” kata Hetifah kepada SINDO Media, Jumat (7/8/2020).
Hetifa juga berharap fasilitas pembelajaran jarak jauh (PJJ) tetap diadakan bagi orang tua yang memilih anaknya tidak belajar di sekolah. Semisal ada sekolah yang dibuka, tapi sebagian orang tua merasa belum nyaman anaknya berangkat ke sekolah, maka harus difasilitasi untuk tetap menjalankan PJJ.
“Misalnya, proses belajar mengajar di kelas divideokan atau siswa lain bisa mengikuti melalui aplikasi telekonferensi. Jangan sampai karena sekolah dibuka dan mayoritas siswa masuk sekolah, mereka yang memilih untuk tetap di rumah jadi terdiskriminasi,” papar Hetifah.
Selain itu, Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bidang Kesra ini berharap agar kurikulum adaptif ini dapat digunakan bukan hanya mereka yang melakukan pembelajaran jarak jauh, tapi juga yang melakukan pembelajaran tatap muka di sekolah. (Baca juga; Guru Usia 45 Tahun ke Atas Dilarang Mengajar Tatap Muka di Sekolah )
“Meski Kemendikbud memberikan opsi untuk menggunakan kurikulum sederhana atau tetap yang biasa, saya sarankan lebih baik sudah semuanya pakai yang sederhana saja. Yang tatap muka pun di kondisi seperti ini pasti akan stres kalau disuruh mengejar materi terlalu banyak. Guru-guru juga akan banyak sekali bebannya, karena harus mengajar lebih dari satu shift,” jelasnya.
Lebih dari itu, legislator Dapil Kalimantan Timur (Kaltim) ini berharap opsi menyekolahkan siswa menjadi opsi terakhir jika PJJ benar-benar tidak dapat dilaksanakan. Karena pemerintah tidak mewajibkan, tapi membolehkan, dia berharap kebijakan dari pemerintah daerah (pemda), kepala sekolah, dan orang tua untuk mempertimbangkan masak-masak keputusan ini.
“Kalau memang masih bisa di rumah, sebaiknya di rumah saja. Tapi kalau memang sulit dengan alasan keterbatasan internet, atau orangtua bekerja, barulah tatap muka ini dipilih sebagai opsi terakhir dengan protokol yang ketat,” tandasnya.
(wib)
tulis komentar anda